Plastik Terbakar


 

Kalau dipikir dengan teliti, jadi anjing miskin itu memang menjengkelkan. Sekali waktu hendak menjadi imam masjid, tapi jamaah mengomentari tanpa perasaan bersalah kalau seekor anjing miskin tanpa keturunan jelas sepertiku sebaiknya tak boleh melantunkan ayat-ayat Allah. Jika masih memaksa, jamaah tak akan ragu untuk menendangku keluar masjid. Sambil barangkali berucap begini, “Sudah syukur diizinkan masuk masjid, ini malah pengin jadi imam.” Selanjutnya kata mereka, “Satu-satunya yang layak  jadi imam masjid di jaman amburadul seperti ini tak lain tak bukan hanyalah ia yang di dalam dirinya mengalir deras darah Kanjeng Nabi Muhammad, keturunan nabi agung tanpa cela.”

Aku memang miskin, dan aku tak pernah mengingkarinya. Benar aku pun hanyalah seekor anjing kampung tanpa keturunan jelas. Tak tahu siapa bapakku. Tak tahu siapa kakekku. Tak tahu siapa nenek moyangku. Tak tahu mereka jenis anjing pemburu tinggi besar berbulu lebat yang menguasai dunia belahan barat, atau jenis anjing kampung buduk yang mungkin berbagi betina yang bisa dipakai salome alias satu lobang rame-rame. Karena sekarang aku dianggap tak pantas oleh jamaah, aku pikir kalian telah bisa mengira-ngira jawabannya.

Padahal sering aku mendengar dari pengeras suara masjid Ajengan Oyong berkata begini, untuk jadi imam masjid, kau hanya perlu pandai membaca al quran dengan fasih. Artinya sesuai dengan makhorijul huruf dan hukum tajwid. Tak pernah Ajengan Oyong membicarakan keterangan yang mengharuskan bahwa imam masjid harus mereka yang tidak miskin dan berasal dari keturunan orang-orang besar atau bahkan seperti kata jamaah yang hendak menendangku, adalah mereka yang di dalam darahnya mengalir deras darah Kanjeng Nabi Muhammad. Ajengan Oyong tak pernah bilang begitu. Dan ini kenapa jamaah yang mengaku muridnya Ajengan Oyong sampai hati bisa ngomong asal begitu?

Sudahlah kalau memang tak boleh. Kalau memang tak berkenan diimami oleh seekor anjing miskin tanpa keturunan jelas sepertiku, aku akan mundur. Aku tahu diri. Dan aku pun mundur menggabungkan diri ke barisan jamaah yang tampak lega.

Jamaah saling lirik kiri-kanan depan-belakang. Belum ada orang yang maju mengisi posisi imam. Jamaah yang tadi mengataiku tak ada yang mau maju, malah saling menuding mengajukan nama-nama orang di sebelahnya. Anak-anak di barisan paling belakang celingak-celinguk karena salat magrib tak kunjung dimulai. Bukannya aku mau adigung, tapi jamaah yang mengata-ngataiku tadi juga sebenarnya tahu bahwa di antara seluruh jamaah yang sekarang sedang berdiri bersiap di dalam masjid untuk salat magrib, mafhum satu-satunya yang bisa membaca al quran secara fasih hanyalah diriku. Tapi pantang lelaki menarik ucapannya. Ibarat sebatang bambu bengkok, lebih rela patah daripada diluruskan.

Sebab tak ada satu pun orang yang berani mengisi kekosongan sekalipun mereka yang mengaku sebagai murid Ajengan Oyong, akhirnya para jamaah salat magrib masing-masing, salat magrib sendiri-sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...