Di Atas Mega


 

Jibril, aku tak menyangka patah hati bisa sesakit ini. Aku malah tak pernah menduga patah hati bisa semenjangkit ini. Merusak diriku. Merusak banyak bagian dalam tubuhku. Misalnya begini Jibril. Sejak patah hati menjangkiti otakku, setiap hari aku jadi tak bisa tenang. Pikiran dan bayangan kesakitan nyaris setiap malam menghantuiku. Datang kala aku sedang melamun merokok. Datang ketika aku sedang rebahan baca buku. Datang saat aku mendirikan salat isa atau subuh. Pikiran dan bayangan itu begitu kejam. Teramat kejam. Karenanya hari-hariku, kalau sudah seperti itu, tak pernah bisa tenang. Seharian bawaannya ingin menempeleng apa pun yang ada di sekitar. Bisa itu kucing kecil yang setiap hari kuberi makan, atau pengisi daya telepon pintarku, atau peci yang kerap kukenakan salat, atau sorban, atau sikat gigi, atau asbak, atau puntung rokok, atau botol minum, atau seperti yang telah kukatakan, apa pun yang ada di sekitarku.

Contoh lain misalnya. Sejak patah hati menjangkiti hatiku, aku menjadi bukanlah orang yang sama seperti dulu. Kau pun mengetahuinya Jibril. Aku yang dulu tidaklah sepengecut seperti sekarang. Dulu setiap aku punya kekasih, aku bukanlah tipikal seorang pasangan yang suka cemburu atau menuntut. Aku akan selalu percaya seratus persen padanya. Atau bahkan kalau perlu seribu persen. Atau sejuta persen pun aku tak akan pernah keberatan. Aku akan selalu percaya. Aku akan selalu percaya. Aku akan selalu percaya. Aku akan selalu memercayainya. Tak peduli kekasihku dekat dengan seribu atau sejuta atau semiliar lelaki, aku bukanlah lelaki rese yang suka cemburu, aku akan selalu memercayainya. Namun sejak kejadian itu. Sejak kejadian yang tiba-tiba menimpaku dan bikin patah hatiku, aku bagai kehilangan ruhku yang dulu. Aku mati, dan lantas terlahir kembali menjadi seorang lelaki pengecut seperti saat ini. Aku tak pernah ingin menjadi seperti ini. Aku benci menjadi seorang lelaki seperti ini. Tapi aku tak punya daya tak punya kuasa. Aku selalu kalah oleh perasaan atas kejadian itu. Aku selalu bisa dikalahkan olehnya. Dengan mudah.

            “Jibril, apa kau pernah hati?”

            “Mana pernah?!”

            “Jadi kau tak tahu rasanya patah hati?”

            “Mana pernah! Aku kan malaikat.”

            “Memangnya malaikat tak ada yang perempuan?”

            “Mana ada?!”

            “Terus kalo begitu, berarti malaikat melihat keseharian setiap perempuan di dunia dari bangun tidur sampai tidur lagi?”

            “Begitulah.”

            “Termasuk saat perempuan telanjang?”

            Jibril mengangguk.

            “Termasuk saat perempuan mandi?”

            Jibril mengangguk.

            “Termasuk saat perempuan masturbasi?”

            Jibril mengangguk.

            “Setiap hari kau bisa melihatnya dengan jelas?”

            “Setiap hari aku bisa melihatnya dengan jelas.”

            “Kau ngaceng tidak?”

            Dan Jibril mengeplak kepalaku sambil memisuhiku. “Ngaco antum!!!”

            Aku hanya nyengir, dan demi menghilangkan kecanggungan ini, aku menawarkannya melintingkan tembakau. Jibril setuju. Kami kembali merokok bersama.

            “Aku tak seperti dirimu,” katanya memulai setelah mengisap rokok untuk yang ketiga ribu tiga ratus delapan puluh lima.  Aku ini malaikat. Aku tak punya nafsu. Aku tak dibekali hasrat. Memang, memang benar. Kau tak salah. Setiap hari aku memang menyaksikan perempuan telanjang, melihat mereka mandi, dan mengamatinya saat mereka masturbasi. Tapi hanya sampai di situ, tak lebih daripada itu, dan tak akan lebih daripada itu. Walau setiap hari aku menyaksikan pemandangan yang menurutmu aduhai itu, wallahi, aku tak pernah ngaceng!

            Jibril memang selalu asyik buat diajak ngobrol. Walau tak selalu dapat solusi atas segala permasalahanku, tapi setidaknya ia adalah orang yang jujur, yang selalu berkata apa adanya, dan terutama bisa dipercaya untuk tidak menyebarluaskan apa-apa yang telah kuceritakan. Namun memang, begitulah risiko curhat kepada Jibril. Karena perbedaan aku manusia dan dia malaikat, jadinya kadang susah menemukan solusi. Jibril mungkin tahu apa itu cinta, tapi ia tak pernah merasakan yang namanya patah hati. Jibril mungkin tahu apa itu kasih sayang, tapi ia tak pernah merasakan pedihnya dikhianati. Jibril mungkin tahu apa itu komitmen dan kesetiaan, tapi karena ia seorang malaikat, lagi-lagi, ia tak mungkin merasakan bagaimana sakitnya diputus cinta.

            Di atas mega-mega cantik ini, kami duduk bersama. Jibril lekat memandangi dunia, dan aku larut membayangkan masa depan. Hingga setelah seratus tiga belas tahun lamanya kami mengaso di langit di atas mega-mega, setelah mengisap lintingan tembakau yang kesembilan belas ribu lima puluh lima, Jibril beringsut.

            “Mau ke mana?” tanyaku tak terima.

            “Ini sudah sore. Aku hendak menggembalakan senja.”

            Sebelum aku sempat bertanya kembali, dari tas kojanya ia mengeluarkan sebutir telur dan memberikannya kepadaku.

            “Masa depanmu ada di dalam telur ini. Rawatlah sampai ia menetas. Cintailah ia dengan tulus. Sayangilah dia tanpa akal bulus. Lima ratus tahun dari sekarang, saat telur ini menetas, hanya dia yang mampu menyelamatkan hidupmu.”

            Jibril meloncat dari atas mega mengepakkan sayapnya yang gagah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...