Perjalanan Singkat

 


Jika sore itu aku tak mencium ubun-ubun di kepalamu, barangkali sekarang, dan mungkin seterusnya hingga entah, atau barangkali bisa saja aku melaluinya tapi rasanya sulit benar, aku tak akan tiba dan berbaring di kelopak matamu.

Jika saja hari itu aku tak mengajakmu jalan ke riuhnya perkebunan jagung yang dipagari batang-batang pohon kelapa menjulang serta diiringi kicau burung bagai sebuah nyanyian seorang kekasih yang sedang dimabuk tali kasih, barangkali aku hanya akan diam di kamar, membusuk dengan belatung menggerogoti seluruh bagian tubuhku tanpa belas kasihan.

Jika saja saat itu kamu tak menggenggam tanganku dengan erat dan tak meniupkan desah-desah rindu dari bibirmu yang manis itu, barangkali aku, dan kali ini aku begitu yakin, hanya akan melangkah meniti sebilah mimpi buruk yang membentang di sepanjang nasibku yang hitam kelam.

Jika saja … jika saja … jika saja … kamu …. Aku begitu mencintaimu, Alina.

___

Kisahku adalah benih cabe ditanam di lahan tandus di sebuah padang pasir di tengah samudera yang dikelilingi pasukan Nyi Roro Kidul. Sulit dibayangkan dan tak bisa dijamah oleh tangan yang sering onani.

Ketika aku sedang menceramahi murid-murid di atas gunung belagu itu, aku merasa seperti Nabi Musa yang sedang menceramahi kaumnya. Aku merasa besar dan keren dan tak bisa dikalahkan siapa pun. Bahkan mungkin Nabi Khidir yang perkasa pun rasanya tak bisa menyentuh ujung kuku atau rambutku. Di hadapan mereka aku merasa digdaya. Di hadapan mereka, hanya Tuhan yang mampu menyentuh dan mungkin mengalahkanku.

Namun kamu yang kala itu sedang duduk di bawah pohon jeruk sembari mengunyah apel ditemani air seduhan lemon dingin dan rambut indahmu sedang dipermainkan angin-angin nakal tiba-tiba mendongak menatapku.

Bibirku berubah bergetar. Mulutku kaku. Lidahku kelu. Dadaku bergemuruh. Seluruh tubuhku dibanjiri keringat. Aku merasa bagai seekor anak ayam yang sedang mencari makan sendirian di luasnya halaman tetangga yang tak ramah dan tiba-tiba dipatuk ular berbisa paling mematikan dari dasar laut. Saat kamu menatapku, aku tak bisa berkutik.

___

Ketika kamu kemudian membiarkan bibirku mencium ubun-ubun di kepalamu sore itu hari itu saat itu, yang kupikirkan selanjutnya hanyalah … aku tak akan melakukan apa pun lagi selain akan menikahimu dan merayakan pesta pernikahan kita bersama dengan Jibril beserta seribu malaikat pengiringnya dan bersama Hanuman beserta seribu wanara setianya dan tentu dengan layung membara yang selalu berhasil membakar setiap keraguan kita pada waktu-waktu genting.

Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain daripada membaringkan seluruh usiaku di kelopak matamu yang bening itu, Alina.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...