Tepang Taun

 


Hari ini, Senin, 3 Juli 2022, adalah hari ulang tahunku yang kedua puluh tujuh. Aku bersyukur bisa kembali menginjak hari ulang tahunku. Aku bersyukur bisa bertambah muda. Kemarin aku berusia dua puluh delapan tahun, dan hari ini, Senin, 3 Juli 2022, aku merayakan ulang tahunku yang kedua puluh tujuh. Aku senang karena sekali lagi, masih diberi kesempatan untuk merayakan usia yang semakin muda. Puji syukur kehadirat Allah Sang Maha Segalanya.

Di usiaku yang kedua puluh tujuh ini, tak banyak yang kuharapkan. Aku tak ingin terlalu neko-neko. Aku hanya ingin hidup tenang dan sehat. Supaya kelak, masih bisa merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima, atau yang kesembilan belas, atau bahkan merayakan ulang tahunku yang kesepuluh. Doakan supaya aku bisa menjalani hidup tenang dan sehat. Doakan supaya aku bisa kembali merayakan ulang tahun di tahun-tahun mendatang. Supaya aku bisa terus bertambah muda. Doakan juga supaya aku bisa menginjak dan merayakan usia lima tahun. Jika aku hidup tenang dan sehat hingga bisa menginjak usia lima tahun, rasanya akan begitu gembiranya. Alangkah akan begitu nikmatnya hidup menjadi terus semakin muda dan tidak tahu apa-apa.

Tiga tahun yang lalu, saat aku menginjak usia tiga puluh tahun, hidup terasa begitu berat dan sulit dan teramat menjengkelkan. Di usiaku yang ketiga puluh, aku gagal menikah padahal tinggal selangkah lagi. Di usiaku yang ketiga puluh, aku masih disebut pengangguran oleh orang-orang karena kerjaku saban hari hanya menulis puisi. Di usiaku yang ketiga puluh, percayalah, hidup terasa begitu keparatnya. Penyakit di mana-mana. Orang makin pandai menipu. Garong tersedia di segala tempat. Bencana menimpa tak pandang bulu. Orang begitu menggandrungi perselisihan dan keributan. Dunia gonjang-ganjing. Dan omongan kyai, rasanya tak lebih penting daripada secangkir kopi.

Bayangkan aku hidup di masa itu. Rasanya benar-benar jangar. Jangar sekali. Rudet. Ruwet. Semrawut. Hidup terasa kering makna. Orang-orang hanya sibuk dengan dirinya, hanya sibuk mengurusi dirinya, hanya sibuk memperkaya dirinya. Tak peduli lagi pada anjing yang kelaparan. Tak peduli lagi pada pohon yang kehausan. Tak peduli lagi pada perempuan yang diperkosa di pinggir jalan di dekat tiang listrik. Semua sibuk mengurusi urusannya. Semua sibuk dengan dirinya masing-masing.

Akan kuceritakan satu cerita kenapa aku ogah dan jijik untuk menjadi dewasa. Bulan Desember 2026, usiaku tiga puluh satu tahun. Aku sedang berjalan di pinggir jalan raya saat seorang perempuan diperkosa beramai-ramai di pinggir jalan di dekat tiang listrik. Aku tak sempat menghitung berapa orang. Aku hanya melihat begitu banyak orang sedang memerkosanya. Aku berlari hendak menolong saat tiba-tiba seorang perempuan tua mencegatku. “Sampai sini saja,” ucapnya lembut.

            “Kenapa begitu?” protesku.

            “Kenapa tidak begitu?”

            “Perempuan itu butuh pertolongan!”

            “Perempuan itu tak butuh pertolongan.”

            “Perempuan itu perlu ditolong!”

            “Perempuan itu tak perlu ditolong.”

            “Tapi kenapa?”

            “Percayalah, perempuan itu memang pantas mendapatkannya.”

Aku terus protes tapi perempuan tua itu pandai berkelit. Perempuan tua itu mencoba membuatku tenang. Perempuan tua itu mencoba menjelaskan duduk perkaranya. Perlahan perempuan tua itu menuturkan mengapa perempuan itu bisa diperkosa beramai-ramai di pinggir jalan di dekat tiang listrik. Perempuan itu memang pantas mendapatkannya. Perempuan itu memang layak diperkosa. Katanya, perempuan itu terlalu banyak protes. Perempuan itu terlalu banyak cincong.

Sejam sebelumnya, perempuan itu datang ke toko sembako dekat situ. Ia hendak beli minyak goreng. Di toko sembako minyak goreng tinggal satu. Karena satu-satunya, si penjual seenaknya saja memasang harga. Saat si penjual menyebut minyak goreng itu bisa didapat dengan harga satu juta lima ratus, perempuan itu langsung memaki. Ia nyerocos mengata-ngatai si penjual. Tapi si penjual membela diri. Katanya, minyak goreng bisa semahal itu bukan ulahnya. Si penjual balik menghardik, minyak goreng jadi langka karena aturan pemerintah. Dan karena si penjual adalah warga negara yang baik, ia tak mau dan kalaupun mau, ia tak bisa protes. Perempuan itu lantas spontan memprotes dan mengata-ngatai pemerintah.

Dari sanalah masalah menjadi semakin rumit. Orang-orang sekitar berusaha menjelaskan kepada perempuan itu. Di tahun 2026 begini, minyak goreng sudah dan akan terus semakin langka. Kamu jangan terus protes. Jangan rewel. Jangan terus menyalahkan pemerintah. Kudunya kamu adaptif. Kudunya kamu pintar membaca keadaan. Kudunya kamu, saat tahu minyak goreng sudah dan akan terus langka seperti ini, belajar memasak dengan metode lain. Kamu harusnya belajar mengolah bahan makanan dengan membakarnya, dengan mengukusnya, dengan merebusnya. Jangan terus ngotot. Jangan terus rese. Jangan terus menggoreng. Sudah tahu minyak goreng sudah dan akan terus langka, tapi kamu malah ngotot tetap ingin menggoreng. Belajarlah mengikuti kemajuan zaman. Belajarlah jadi warga negara yang baik. Untuk mengenyangkan perut, kan bisa hanya dengan makan dua buah pisang saja?

Setelah dijelaskan begitu, perempuan itu bukannya mereda tapi malah mengamuk. Kemudian, begitulah cara orang-orang di tahun 2026 memberi pelajaran pada seseorang. Yakni dengan memerkosanya di hadapan umum. Yakni dengan mempermalukannya di hadapan khalayak luas.

Begitulah kenapa aku enggan dan jijik menjadi dewasa. Mau ngomong saja susah. Mau ngomong saja banyak aturannya. Makanya hari ini, Senin, 3 Juli 2022, aku sangat bersyukur bisa menginjak umur kedua puluh tujuh. Aku sangat berbahagia. Aku akan selalu berdoa kepada Allah biar diberi sehat dan umur panjang. Biar aku bisa terus menginjak usia muda. Biar aku bisa terus menjadi tidak tahu apa-apa. Biar aku bisa terus menjadi mentah. Biar aku, semoga Allah mengabulkannya, bisa mati pada usia tiga hari. Dan dengan begitu, bisa masuk surga tanpa seleksi.

           

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...