Reparasi Hari-Hari Buruk

 


Hidup monoton. Waktu menikam. Impian licin. Harapan kabur. Doa-doa tersesat di balik mega-mega.

Ada kalanya hidup mengasyikan. Tapi kali ini, lagi-lagi, hidup semonoton doa-doa. Waktu setajam lidah. Impian selicin janji-janji manis. Dan doa-doa tak lagi terasa hidup.

Aku membaca kembali hidupku. Lembar demi lembar, halaman demi halaman, bab demi bab, dan yang kutemukan hanyalah kekosongan di sana-sini.

“Apa yang pernah kukerjakan selain menuliskan kekosongan ke dalam hidupku?” tanyaku pada sekumpulan baut-baut ban vespaku.

Baut-baut hanya berkumpul dekat oli campur bensin yang berceceran. Sebagian oli ada yang telah kering, sebagian lagi terasa lengket, sebagian sisanya tercium bau bensin. Baut-baut hanya tiduran, tak punya selera untuk mengobrol dan apalagi menjawab pertanyaanku.

Aku kemudian menanyakan hal serupa kepada kedua ban vespaku, yang dengan penuh kasih sayang baru saja kubetulkan. Keduanya hanya berputar menggeleng. Tak mengerti apa maksud pertanyaanku.

Kutanyakan lagi hal serupa kepada selang bensin, keran bensin, tutup bensin, stang, rem depan, dan busi-busi baik yang terpasang maupun yang berada di dalam tepong, dan mereka semua sama bingungnya dengan diriku.

Sungguh-sungguh, kutanyakan untuk yang terakhir kalinya kepada vespaku, “Apakah aku harus pergi dari dunia ini?”

Ia berteriak kencang, siap dipacu menuju semesta anyar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...