Menanti Telur Menetas

 


Kau menunggu telurmu menetas. Telur yang kau temukan jauh di dasar mimpi. Kau resah menunggu. Kau resah menanti menduga-duga; akankah ada telurmu ketika menetas mencintaimu? Apakah akan ia mencintaimu sebagaimana kau mencintainya? Apakah mungkin, barangkali, ketika menetas, ia bisa menerima dirimu yang rongsok?

Kau menunggu telurmu menetas. Baru enam bulan, perlahan waktu melangkah, kau dibikin entah apa namanya. Tiap hari kau mendatangi telurmu. Kau melihatnya cantik sekali. Anggun, senyumnya manis, bulu matanya lentik, dan tatapannya, setiap kali kau mendapati tatapan matanya, seolah-olah kau bisa bercinta di dalamnya. Sesekali kau bahkan mengajaknya mengobrol memperbincangkan apa saja yang sekiranya bisa diperbincangkan. Kau kadang, dengan tak sabar, memintanya untuk cepat-cepat menetas. Tapi kau juga sadar jika ia menetas sebelum waktunya jadinya akan prematur, akan banyak kurangnya. Maka ia menasihatimu, bersabarlah, katanya. Ia selalu menyuruhmu bersabar. Waktu yang kau tunggu-tunggu pasti datang. Kau pasti akan menginjaknya. Kau pasti akan mengalaminya. Dan kau tak hanya akan mengalaminya, tapi kau akan mengalaminya bersamaku, katanya lagi. Hanya empat tahun. Kau hanya perlu menunggu empat tahun, dan segalanya akan berubah mudah, dan ia akan menetas.

Kau, saat ia berkata seperti itu, kadang bisa lumayan rada tenang, tapi banyaknya memang tetap saja khawatir. Kau khawatir ia dicolong orang. Kau khawatir ia menggelinding ke kandang yang salah. Kau khawatir ia pecah terinjak. Kau khawatir ia mati muda karena tak dierami dengan benar. Kau khawatir ia dimakan orang sebelum menetas. Kau khawatir, kau mengkhawatirkan segalnya.

Kau, jika sedang begitu, maka hanya akan–lagi-lagi–menatapnya lama sekali, mengajaknya mengobrol memperbincangkan apa saja yang sekiranya bisa diperbincangkan. Dengan begitu perasaanmu agak tenang, sebab kau tahu ia mencintaimu, dan ia pun tahu dirinya adalah segala-galanya bagimu.

Kau, untuk sementara ini, tak bisa melakukan apa pun kecuali hal tadi. Demikianlah kau harus tetap menjaganya–iika ia memang penting bagimu. Dan yang lainnya tak ada lagi kecuali bersabar. Empat tahun lagi. Empat tahun lagi. Empat tahun lagi. Empat tahun lagi. Dan ketika ia menetas, kalian berdua akan merayakannya di pelaminan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...