Haruskah Ia Berhenti Merokok?

 


Kau, apa kau malaikat? Barangkali kau memang malaikat, tapi ia tak menyangka saja bentuknya seorang nenek tua bertongkat menggendong buntelan seolah-olah pengembara. Ia tak meremehkanmu. Ia tak meremehkan seorang nenek tua bertongkat menggendong buntelan seolah-olah seorang pengembara. Sudah dibilang, ia hanya tak menyangka saja jika seorang malaikat sepertimu yang kadung dikenal sakti memilih merupakan diri sebagai seorang nenek tua bertongkat menggendong buntelan seolah-olah pengembara, padahal di saat yang sama kau bisa merupa siapa pun dan apa pun.

Ketika kau berjalan dengan bantuan tongkatmu menuruni ladang di kaki gunung Sagara, ia tengah berjalan hendak ke warung membeli sebungkus rokok. Bukan membeli, tapi menghutang. Ia bisa saja naik motor, tapi dipilihnya berjalan saja sekalian menghangatkan badan karena di tempat itu, akhir-akhir ini, jarang sekali matahari muncul. Ia sedang berjalan menuju warung hendak menghutang sebungkus rokok sekalian menghangatkan badan sambil memikirkan rencananya untuk memutuskan berhenti merokok. Kemarin rencana itu telah dijalankannya, tapi pagi ini, setelah sarapan, ia merasakan dirinya kekurangan sesuatu. Ia tak perlu mengambil banyak waktu buat berpikir. Ia tahu ia butuh rokok.

Kau melihat ia, dan jalanmu berubah rada ngebut. Kau menubruk ia yang tengah berjalan hendak ke warung menghutang sebungkus rokok yang sekalian sedang menghangatkan badannya sambil memikirkan rencananya buat berhenti merokok. Kau menabraknya, kau menabraknya, kau menabraknya, pelan saja. Tiba-tiba kau meraih tangannya, menggenggamnya erat, dan menariknya ke bibirmu buat dicium. Ia yang lebih tinggi dan jauh lebih muda dari kau tentu saja refleks membungkuk, kikuk atas perlakuanmu itu. Tapi kau tetap memaksa, dan memaksa, dan lantas memeluknya sembari nyerocos berkata-kata, “Asep, semoga Allah meridoimu. Semoga kau jadi Ajengan, Sep! Semoga kau jadi Ajengan! Semoga kau jadi Ajengan!”

Kau terus mengeluarkan kata-kata semacam itu, mendoakan ia supaya jadi orang baik, mendoakan ia supaya jadi orang sukses, terus mendoakan ia supaya jadi seorang Ajengan. Kau meyakinkan kalau ia akan jadi seorang Ajengan. Kau terus nyerocos kalau ia akan jadi seorang Ajengan. Seorang AJENGAN! Di ujung doa-doa baik itu, kau mengajukan satu permintaan, kau menceritakan dengan begitu cepatnya kalau kau sedang butuh uang untuk menebus beras.

Ia, saat mendengar kau menutupnya dengan mengajukan sebuah permintaan untuk memberinya uang guna menebus beras, langsung merinding. Ia merinding mendengar kau berkata begitu. Ia merinding sekaligus merasa bersalah. Di sakunya tak selembar uang pun dikantonginya. Di dompetnya yang selalu disimpan di dalam lemari pakaiannya tak selembar uang pun nyelip tersisa. Ia juga tak punya uang. Ia sedang tak memiliki uang bahkan hanya selembar. Tak ada uang tersisa bahkan untuk ia beri kepadamu buat menebus beras. Ia tak punya uang bahkan untuk sekadar menebus sekilo beras. Maka ia menjawab permintaanmu itu sejujur-jujurnya. Ia berkata ia tak punya uang. Ia berkata ia tak memiliki selembar pun uang. Ia berkata ia tak memiliki selembar pun uang sisa bahkan untuk sekadar menebus sekilo beras. Ia tak punya. Ia bokek. Ia merasa bersalah dan meminta maaf kepadamu. Ia meminta maaf dalam perasaan malu dan bersalah sebab tak bisa memberimu uang bahkan untuk sekadar menebus sekilo beras.

Kau memeluknya nyerocos berkata-kata. Kau memeluknya nyerocos berkata-kata serasa hendak menangis. Ia bisa merasakan hatimu pilu. Ia juga menebak barangkali perutmu lapar dan kau sedang menempuh perjalanan jauh berjalan kaki dengan tongkat menggendong buntelan. Kau lekas melepaskan pelukanmu dan buru-buru mengambil tangannya dan membungkuk menciuminya berkali-kali dan kembali mendoakannya supaya jadi orang baik jadi orang sukses dan jadi seorang Ajengan. Ia tak sempat bereaksi ketika kau melepaskan tangannya dan bergegas melanjutkan perjalananmu. Kau meninggalkan ia dalam keadaan bersalah. Kau meninggalkan ia dalam keadaan serba salah. Kau menenggelamkan ia ke dalam ketakutan.

Kau berlalu berjalan dengan tongkat menggendong buntelan menuruni jalan yang akan menuntunmu ke perkampungan sebelum kemudian ke jalan raya. Ia berlalu berjalan perlahan menunduk menuju warung hendak memenuhi keinginannya sembari mengatur nafas.

Ia, di kamar, setelah membakar rokok dan menyeruput kopi, dikepung adegan-adegan tadi. Ia dikepung adegan doa-doa. Ia dikepung adegan kau memeluknya. Ia dikepung adegan kau menciumi tangannya. Ia dikepung perasaan salah. Ia dikepung perasaan takut. Ia dikepung sebuah pertanyaan yang bukan apakah kau seorang malaikat dalam bentuk nenek dengan tongkat yang menggendong buntelan, melainkan, sepertinya ia harus benar-benar memikirkan dengan serius rencananya berhenti merokok.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...