Bangun Tidur

 


Kau bangun tidur. Kopi habis, rokok nyaris. Mulut pahit, tenggorokan kering. Malas kau menyamping, bangkit. Kau tenggak air putih dalam botol kumal hadiah kompetisi mancing. Mulut pahit dan tenggorokan kering mulai mendingan rasanya. Tapi kepalamu masih terasa pusing, nyeri, berdenyut. Kau tenggak lagi air dalam botol kumal hadiah kompetisi mancing itu sampai tandas. Kepalamu masih terasa pusing, tapi tak senyeri dan seberdenyut tadi. Kau angkat tangan ke mulut, mengembuskan nafas, dan mencium aroma mulutmu busuk. Busuk sekali sampai kepalamu mulai nyeri dan berdenyut kembali. Kau hendak menenggak air putih dalam botol kumal hadiah kompetisi mancing itu lagi tapi kemudian sadar airnya habis. Kesal kau melempar selimut dan duduk menyamping di ranjang, berdiri perlahan, berjalan malas ke dapur. Haram jadah, kau memekik, saat menyadari galon air di dapur habis. Kemarin kau ingat untuk mengisinya, tapi kau kemudian dibuat lupa karena harus berak mendadak. Setan! Haram jadah! Asu buntung! Kau berdiri lemas, tanganmu berpegangan ke sisi meja di dapur, kepalamu masih pusing. Kau pikir akan segar jika kepalamu yang rungsing itu kena air, maka kau pun menuju wastafel. Kau putar keran tapi air tak mengalir. Jengkel kau terus memutar keran terus memutar keran terus memutar keran sampai putarannya copot. Anak iblis! Kau menuju saklar, mengecek, walau sebenarnya kau sudah curiga, kau memencetnya dan, ternyata listrik mati. Itu artinya penampungan air kosong. Tapi harapan belum sepenuhnya hilang dari dirimu. Kau pergi ke kamar mandi, berpikir barangkali masih ada sisa sedikit air di bak mandi atau di ember cucian. Tak ada air di bak mandi, tapi syukurnya kau melihat ember cucian terisi air setengah. Penuh perhitungan dan hati-hati supaya tak menghambur-hamburkan air, kau cuci muka dan menggosok gigi. Lantas kau bawa sisa air yang sedikit ke dapur menuju kompor. Kau hendak menjerang air yang sebagian untuk diminum dan sebagian lagi buat menyeduh kopi. Kau memutar pemantik tapi kompor tak mau menyala, terus berulang sampai kau kembali jengkel. Mungkinkah ... benar saja, perkiraanmu tak meleset. Gas habis, kau lupa mengisinya kemarin. Padahal kemarin kau mengingatkan diri untuk mengisi tabung gas, tapi kau mendadak lupa saat kekasihmu tiba-tiba menelpon minta diantar belanja kebutuhan bulanannya. Babi! Babi! Babi! Kau, kesal, jengkel, dan dengan perasaan paling babi mengalah untuk pergi ke warung. Kau bergegas mengenakan pakaian, membereskan rambut dan mengambil dompet. Kau keluar berjalan kaki, warung terdekat kira-kira berjarak enam ratus meter. Kau benci harus berjalan ke warung. Itu tengah hari, matahari sedang panas-panasnya. Kau mulai dibanjiri keringat, tubuh mulai basah, kepala terasa gatal. Belum lagi tabung gas yang kau jinjing dengan tangan kananmu sementara galon yang kau jinjing dengan tangan kirimu terasa menjadi begitu berat meski kosong. Setan! Anak babi! Iblis! Tapi akhirnya kau sampai juga di warung, berkata kepada ibu penjual ingin membeli gas, galon, dan sebungkus rokok. Ibu penjual baik sekali, murah senyum, melayanimu sepenuh hati. Kau yang kesal rada terhibur. Ibu penjual menyebutkan total harga yang harus kau bayar, kau mengeluarkan dompet dari saku, membukannya, dan matamu hampir meloncat. Kau menarik nafas panjang di hadapan ibu penjual. Dompetmu kosong. Kau lupa menarik uang di ATM. Malu kau berkata kepada ibu penjual, kalau kau harus ke ATM dulu untuk menarik uang. Ibu penjual yang baik yang murah senyum yang melalyanimu sepenuh hati mengangguk memaklumi ketololanmu. ATM terdekat berada di selatan, kau harus menempuh empat ratus meteran berjalan kaki. Di siang panas terik kau berjalan setengah berlari. Kau ingin buru-buru sampai, menarik uang, kembali ke warung, dan cepat kembali ke tempat. Kau sampai di ATM dan kau lihat antrian mengular. Anak anjiiing!!!

Siang itu, dua jam kemudian, kau baru berhasil membereskan segala apa yang menimpamu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...