Cerita Malam Seribu Bulan: Memanjat Yggdrasil

 

Sepuluh tahun sebelum Haji Ahmadun menginjakkan kakinya di pegunungan Jӧtunheim, di hari ke dua puluh enam malam ke dua puluh tujuh ramadan sekira-kira pukul setengah tiga dini hari ketika tengah beritikaf di masjid dengan maksud untuk menjemput malam lailatulkadar, pada kalimat tahlil yang ke seribu enam ratus empat puluh tiga, ia tiba-tiba saja tergelincir ke dalam tidur dalam posisi bersila.

­­___

Seekor kijang menghampiri dirinya dan menyerahkan sebuah kotak kayu. “Ini untuk Haji,” ia memulai, lalu melanjutkan memberi penjelasan bahwa kotak kayu tersebut adalah, “hadiah dari Yang Mulia Heidrun dan Eikthyrnir,” dan menegaskan, “atas kerja keras dan ketekunan Haji.”

            “Atas kerja keras dan ketekunanku?”

            “Atas kerja keras dan ketekunan Haji.”

            Haji Ahmadun tentu terkejut, sebab itu pertama kalinya ia bisa memahami bahasa seekor kijang. Itu pertama kalinya ia bisa mengerti bahasa binatang dan bercakap-cakap dengannya. Tak ada angin tak ada hujan, tanpa pernah mempelajari dan apalagi menguasai bahasa binatang, di pegunungan Jӧtunheim, tiba-tiba saja ia bisa mengerti perkataan seekor kijang. Ia merasa seperti nabi Sulaiman.

Kemudian Haji Ahmadun bertanya pada si kijang, kenapa si kijang bisa tahu kalau dirinya tengah berada di pegunungan Jӧtunheim. Si kijang menjawabnya dengan bertanya balik, tahu dari mana kalau pegunungan yang sedang ia singgahi itu adalah pegunungan Jӧtunheim? Ditanya begitu oleh si kijang, Haji Ahmadun memilih untuk tidak meneruskan pertanyaannya. Sebab, sesungguhnya, ia juga memang tak tahu mengapa dirinya dapat mengetahui bahwa gunung yang tengah ia singgahi itu adalah pegunungan Jӧtunheim. Sebagaimana secara tiba-tiba Haji Ahmadun dapat memahami perkataan si kijang, seperti itulah cara ia mengetahui pegunungan yang disinggahinya itu adalah pegunungan Jӧtunheim.

            Haji Ahmadun penasaran. Hadiah macam apa yang dikirim oleh Heidrun dan Eikthyrnir dari Valhalla. Pertanyaan itu masih berada di dalam benaknya dan belum keluar dari lisannya, tapi si kijang telah menjawab:

            “Kotak kayu itu berisi madu.”

            “Madu?”

            “Madu. Madu yang selalu dimanfaatkan para kesatria untuk berlatih Ragnarok.”

            Ia tak hendak berlatih Ragnarok, Haji Ahmadun menegaskan. Ia datang ke pegunungan Jӧtunheim justru untuk menghindari Ragnarok, dan terutama untuk mencari kedamaian dalam bentuk lailatulkadar.

            “Apa itu lailatulkadar?” tanya si kijang.

            “Aku pun tak terlalu yakin. Yang pasti, katanya, ia adalah malam yang lebih baik daripada malam seribu bulan.”

            “Kupikir malam seribu bulan tak lebih baik daripada madu yang dikirimkan oleh Heidrun dan Eikthyrnir,” si kijang berpikir. “Kecuali,” sambungnya, tapi tiba-tiba si kijang berbalik bertanya, “Apa lailatulkadar itu semcam madu?”

            “Memang banyak yang mengatakan bahwa malam lailatulkadar itu rasanya manis.”

            “Berarti lailatulkadar itu bisa jadi madu?”

            “Lailatulkadar bisa menjadi apa saja. Dan kupikir, tak terlalu sulit pula untuk menjadi madu.”

            “Tapi, tak bakal ada madu yang mampu menandingi manisnya madu Heidrun dan Eikthyrnir.”

            “Madu dari suku Kanekes?” Haji Ahmadun mengajukan keberatannya.

            “Kuakui, madu dari suku Kanekes memang manis. Tapi masih jauh untuk dikatakan mendekati.”

            Haji Ahmadun dan si kijang terus memperbincangkan perkara madu. Mereka saling mengisi kekosongan satu sama lain. Saling melempar pertanyaan. Saling melempar jawaban. Saling beradu pendapat. Dan saling memuji satu sama lainnya. Di tengah keasyikannya memperbincangkan perkara madu, dari arah timur, langit tampak merangkak menuju kekelaman. Alangkah terkejutnya si kijang, sampai-sampai tubuhnya gemetar.

            “Kenapa?” tanya Haji Ahmadun.

            “Kita harus segera pergi dari sini. Nidhoggr–“ kata-kata si kijang terputus di kerongkongan.

            “Nidhoggr?”

            “Naga yang selalu menggerogoti akar Yggdrasil,” ratapnya. “Mari Haji, mari! Kita tak bisa berlama-lama berdiam di sini.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...