Perempuan yang Terlahir dari Kembang Kamboja

 


Tak pernah sebelumnya pikiran mampir ke dalam benak, kalau pada akhirnya kamu akan terlahir kembali setelah kematian panjangmu. Padahal aku saksinya. Aku sendiri yang memandikan senyummu. Aku sendiri yang mengafani namamu. Aku sendiri yang menyalati cintamu. Aku sendiri yang mengubur segala hal tentangmu. Dan aku pula yang menanam kembang kamboja di atas kuburmu. Namun setelah hampir sepuluh tahun, setelah melewati jutaan tangis, setelah menyelami dalamnya sesal, dan setelah mendaki terjalnya harap, kamu kembali. Kamu kembali terlahir dari kelopak kembang kamboja yang berguguran. Kamu kembali datang. Mengetuk mataku yang selama ini mati suri.

___

Kamu tetap, tetap menatapku dengan rasa marah. Dengan tatapanmu itu, kamu seolah hendak berkata bahwa aku kembali salah karena tak memperjuangkannya. Tatapanmu itu menuntut agar aku tetap memperjuangkannya. Kamu tak peduli apakah ia telah punya kehidupan baru. Kamu tak peduli bahwa ia tak lagi sehangat dahulu. Kamu tak peduli dengan kenyataan bahwa pelan-pelan, ia mulai melupakanku. Dan kamu tetap menyuruhku untuk memperjuangkannya. Kamu tetap menuntutku untuk merebut kembali dirinya.

“Papa, teruslah mencoba, tetaplah berusaha. Demi aku! Demi aku!”

Sayang, aku bukannya tak hendak mencoba, tapi lewat jalan mana lagi ia harus kutempuh? Aku telah menempuh ratusan dan bahkan jutaan jalan untuk menuju padanya. Aku telah menempuhnya, sebisaku, semampuku, sebanyak-banyaknya jalan. Aku telah melangkah menempuh jalan panjang untuk menuju padanya, aku telah melewati jalan-jalan terjal hingga hatiku lecet. Hanya saja, setiap langkahku itu bukannya membawanya lebih dekat kepadaku, tapi malah semakin menjauhkannya dari jangkauanku. Ketahuilah sayang, ia sudah terlalu jauh untuk kurengkuh. Bahkan ketika aku telah melewati jalan yang tak dilalui kata-kata, tetap saja ia semakin menjauh.

“Harusnya Papa bukannya melangkah, tapi berlari!”

Tapi sayang, aku pun sebenarnya telah mencoba untuk berlari mengejarnya, sekencang-kencangnya, sesanggupnya, dan tetap saja, ia tak  pernah berhasil kukejar apalagi kudekati.

“Kalau tak berlari, harusnya Papa terbang, atau menumpang pesawat jet, atau mengejarnya dengan mobil balap atau kuda pacu, atau dengan apa pun itu aku tak peduli. Yang penting Papa jangan berhenti. Yang penting Papa tak boleh menyerah. Papa harus tetap berusaha. Papa tak boleh lelah mencoba. Demi aku! Demi aku!”

Sayang, apa yang kau katakan padaku itu, percayalah, aku telah mencobanya jutaan kali. Tapi apa hendak dikata jika memang kenyataannya menjadi seperti ini? Aku bukannya berhenti atau apalagi menyerah untuk mengejarnya, aku hanya telah bertemu dengan kesadaran bahwa selain ia memang menginginkan jauh dariku, Tuhan pun memang menginginkan aku jauh darinya. Sejauh apa pun aku mencoba, jika ia dan Tuhan telah bersekongkol untuk merencanakan semua ini, aku bisa apa? Sekuat apa pun aku berusaha, jika ia dan Tuhan memang menginginkan semuanya menjadi seperti ini, aku bisa apa? Aku tak bisa melawannya, apalagi melawan-Nya.

“Jadi Papa lebih memilih menanam bunga baru daripada terus mengejar anggrek yang telah melahirkanku?”

“Mumpung cuaca dan musim sedang bagus. Benar, aku telah menanam bunga baru.”

“Dan bunga baru itu mencintai Papa?”

“Dan bunga baru itu kembali melahirkanku.”

“Jadi bunga baru itu begitu menyayangi Papa?”

“Jadi setidaknya, bunga baru itu mengetahui dan mengerti bahwa aku adalah seorang lelaki yang tengah sekarat oleh mimpi-mimpi.”

“Papa, jadi sekarang bunga baru itu adalah ibu tiriku?”

___

Ketahuilah, aku tak akan menggantikanmu dengan siapa pun, karena kamu memang tak akan pernah bisa diganti. Kamu tak perlu khawatir, ada atau tidaknya dirinya tak bakal memengaruhi cintaku padamu. Kamu akan tetap menjadi putri kecil kesayanganku. Kamu akan tetap istimewa untukku. Sebagaimana telah kukatakan, kamu tak akan pernah terganti dan tak akan bisa diganti oleh siapa pun.

            Kamu tentu kecewa ketika melihatku tak dapat berbuat sesuatu hal lagi untuk mengejar anggrek yang telah melahirkanmu. Dan kamu memang berhak kecewa, kamu berhak marah. Tapi jangan sampai kekecewaan dan kemarahanmu itu membuatmu lupa, bahwa aku masihlah terikat oleh dunia. Aku masih tak dapat melepaskan diri dari ikatannya, dan aku harus tetap menjalani sisa umurku sebaik mungkin.

            Bunga baru itu, aku telah menanamnya selama bertahun-tahun. Aku memupukinya dengan harapan. Aku menyiraminya dengan doa-doa. Setelah kurang lebih setahun mengurusinya, akhirnya bunga baru itu tumbuh dan mekar dan kelopaknya berguguran dan dari kelopak-kelopak tersebut kemudian lahir seorang perempuan jelita. Aku yakin kamu pasti menyukainya. Aku berani bertaruh, tak diperlukan banyak waktu buatmu bisa memanggilnya, “Mama.”

            Nirmala, aku adalah seorang lelaki yang sekarat oleh mimpi-mimpi, dan bunga baru itu adalah perempuan yang rela buat bersusah-susah untuk menyirami mimpi-mimpiku. Aku tak hendak melupakanmu, aku tak hendak melupakannya, aku hanya harus melanjutkan hidup bersama sekuntum bunga baru. Hanya itu. Hanya itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...