Kiat Menangkal Sesal

 


Setetes sesal jatuh dari kedua matamu. Lidahmu kelu dipatahkan sepi. Bibirmu bergetar merapalkan ayat-ayat harap. Kedua tanganmu mekar menuju langit. Hatimu lantas bersimpuh menghadap Sanghiang Keresa, “Ampuni aku. Ampuni aku. Ampuni aku.” Sajadah yang kau tumpangi lantas bangkit, dan melesat menuju masa lalu.

___

Pada suatu masa, kau sering mematahkan jiwa-jiwa perempuan tak berdosa. Kau menyiksa mereka dengan sikapmu yang keparat. Kau melukai mereka dengan nafsumu yang liar. Secara keji dan sadis, kau kumpulkan jiwa-jiwa yang patah tersebut untuk kemudian membakarnya dalam kobaran api pelampiasan. Kau senang melakukannya. Kau bangga mengulanginya. Dan kau mengakuinya, bahwa hal tersebut alangkah teramat nikmatnya.

            Ketika kau sedang mengembara di hutan belantara, sekali waktu, saat kau tengah putus asa diakibatkan nafsumu yang lapar, kau babat habis kuncup-kuncup bunga yang sedang bermekaran untuk mengenyangkannya. Kau pun mengisap manisnya sari-sari bunga tersebut dengan rakusnya, bagai seorang bayi yang tengah kehausan. Setelah nafsumu kenyang, dan berahimu tak lagi kehausan, tanpa rasa bersalah secuil pun, kau melanjutkan pengembaraanmu.

            Kemudian kau tiba di sebuah desa. Di sana, kau melihat betapa banyak kembang-kembang mekar dengan begitu indahnya. Kembang-kembang di desa yang sedang kau kunjungi itu alangkah begitu menggodanya. Ada yang berwarna merah dengan tangkainya yang putih mulus. Ada yang berwarna biru dengan tangkainya yang kuning langsat. Ada yang berwarna hijau dengan tangkainya yang cokelat terang. Ada juga yang berwarna emas dengan tangkainya yang membara serupa layung. Kau kemudian mendatangi sebuah rumah, bermaksud meminjam asahan untuk mengasah lidahmu. Setelah dirasa telah cukup, dengan lidahmu yang telah tajam, kau petiki kembang-kembang di desa tersebut. Kau kemudian menikmatinya satu per satu. Kau menjilati setiap warna dengan ketekunan seorang mahir. Kau mengupas setiap tangkai dengan kesabaran seorang telaten. Kau menyantap madunya yang manis, gurih dan kenyal. Setelah nafsumu puas, dan berahimu tuntas, tanpa rasa bersalah secuil pun, kau melanjutkan pengembaraanmu.

            Kau pun tiba di sebuah sawah, dengan gemercik tawanya yang merdu, dengan sejuk senyumnya yang ayu, dengan tubuh wanginya yang ranum. Kau tak ingin buru-buru lekas, dan hendak membaringkan lelahmu barang sejenak. Selama empat tahun, kau pun tertidur.

            Empat tahun berlalu, dan tiba-tiba sebuah suara menegurmu, “Bangunlah lelaki, bangunlah! Buka matamu. Sadarlah. Sadarlah. Sadarlah. Tahukah kau kalau selama empat tahun ini aku telah menantimu?”

            Kau terperanjat, menegakkan seluruh kesadaranmu. Meski kau telah berusaha untuk sadar, tapi kau masih merasa bahwa semuanya mungkin hanyalah mimpi. Bagaimana kau akan menyangka, jika setelah tidur panjangmu itu, kau kemudian dibangunkan oleh setangkai padi yang jelita, lengkap dengan senyum dan lekuk tubuhnya yang bahenol.

            “Kau siapa?”

            “Akulah Ratu Padi, dan aku telah mencintaimu selama empat tahun ini.”

            “Bagaimana bisa kau mencintaiku?”

            “Kau hanya perlu membuka matamu, dengan begitu maka kau akan segera mengerti. Dan sekarang, syukurlah, matamu telah terbuka sepenuhnya.”

            Kalian lalu menangis, saling memeluk, dan saling mengawini. Kalian berdua lalu hidup bersama, menggarap mimpi untuk bekal di masa depan. Dan hampir setahun berlalu, bukannya mendapat hasil dari apa yang sedang digarap, Ratu Padi menilai bahwa kau adalah lelaki yang tak becus merawatnya. Kau marah sejadi-jadinya. Kau mengutuknya dengan sumpah serapah. Dan kau membakarnya nyaris tanpa pikir panjang.

Kau melupakan satu hal, dan satu hal saja. Kau adalah seorang pengembara yang tak pernah bercocok tanam.

___

Pada akhirnya, sajadah yang kau tumpangi tak pernah benar-benar berhasil mengunjungi masa lalu. Sebab, setiap kali jarak telah semakin dekat, kau akan keburu tersungkur tersandung tangis.

 

Catatan:

Sanghiang Keresa: Yang Maha Kuasa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...