Kisah Kobong: Harak

 


AKU ADALAH seekor anak bungsu. Bapakku merupakan anjing berwarna hitam tinggi besar kukutan Guru Dayat, dan ibuku, sedari kecil telah dipelihara oleh Madsahdi. Tidak seperti bapak yang bulunya hitam, ibu–seperti kebanyakan anjing kampung lainnya–merupakan seekor anjing dengan warna cokelat dan moncong hitam. Dengan bapak, aku tak bisa dikatakan dekat. Bahkan sebenarnya, aku tak pernah mengenal dirinya secara langsung. Selama hidup aku tak pernah berhasil menjalin suatu ikatan emosional dengannya. Aku tak pernah mengobrol, atau mendengarnya bercerita, atau diajaknya berburu, atau merasakan karismanya yang kata anjing-anjing begitu luar biasanya, dan ataupun menyaksikan kegarangannya berduel melawan babi hutan.

            Ibu bercerita, bahwa bapak merupakan seekor anjing yang ganteng dan gagah. Bagaimana tidak, ketika hampir semua anjing di kampung berwarna cokelat bermoncong hitam, bapak hadir sebagai sebuah anomali. Bapak dikaruniai tubuh tinggi besar dengan otot-otot padat yang menjadikannya seekor anjing atletis. Bulunya hitam mulus tanpa corak, dan karena itulah kerupawanan dan kegagahannya semakin bertambah-tambah saja. Ibu juga sering berkata bahwa bapak merupakan seekor anjing dari jenis pemburu dan pengembara yang memiliki sejarah panjang di dunia. Bapak berasal dari keluarga terpandang. Leluhur-leluhurnya adalah anjing-anjing hebat yang disegani serta punya pengaruh besar baik terhadap dunia manusia, ataupun dunia anjing.

Hal tersebut kiranya memang tak terlalu berlebihan, sebab ketika bapak datang, jantan-jantan di kampung pada mengutukui dirinya sebagai anjing malang, dan suka berandai-andai bisa menjadi seperti dirinya yang tinggi besar, gagah, rupawan, berotot lecir, dengan karisma berlimpah. Kedatangannya menjadi buah bibir anjing-anjing di kampung, terutama bagi para betina. Para betina akan dibuat basah jika secara kebetulan bisa berpapasan langsung dengannya. Betina-betina dibuat terpukau oleh karismanya, betina-betina dibuat mabuk kepayang demi memandangi wajahnya, betina-betina dibuat jatuh ke dalam jurang berahi oleh kerupawanannya. Dalam waktu singkat, ia kemudian menjelma menjadi seekor anjing pujaan para betina di kampung.

“Termasuk ibu?”

“Termasuk ibu.”

Dengan segala kelebihan yang melekat pada diri bapak, tak ada betina di kampung yang tak memujanya. Tak ada betina di kampung yang tak dibuat ngiler demi membayangkan bisa bersetubuh dengannya. Betina-betina kerap membayangkan, akan seperti apakah rasanya bersetubuh dengan anjing tinggi besar sepertinya. Kenikmatan macam apa yang akan mereka rasakan jika mendapat anugerah disetubuhi olehnya. “Seperti yang ibu bilang, baru membayangkannya saja betina-betina telah dibuat basah.”

Bapak adalah primadona, pujaan para betina. Ia adalah kesatria yang datang untuk membebaskan para betina dari kuasa gelap jantan-jantan di kampung. Ia adalah juru selamat, tempat para betina menggantungkan harapan. Ia menjadi inti kehidupan baru para betina. Jika memang menginginkannya, ia sebenarnya bisa saja menyetubuhi seluruh betina di kampung dengan mudah. Sebab memang itulah yang diharapkan oleh para betina, mereka telah begitu tak sabar menunggu. Tak ada betina yang akan keberatan, dan apalagi menolak untuk disetubuhi. Ia kantun memintanya, dan setiap betina di kampung akan dengan senang hati langsung menungging dan memberikan apa pun yang dikehendakinya.

“Sampai sebegitunya?”

“Sampai sebegitunya.”

Namun meski begitu, bapak bukanlah jenis dari anjing yang silau dengan segala apa yang dimilikinya, apalagi menjadi adigung karenanya. Ia bukanlah anjing dari jenis yang demikian. Ia adalah seekor anjing yang sederhana, tidak macam-macam, dan setia seperti lazimnya seluruh anjing di alam semesta. Kegiatan sehari-harinya adalah mengiringi Guru Dayat, entah itu ke kebun, ke sekolahan, atau bahkan ke masjid. Singkatnya, ke mana pun Guru Dayat pergi, pasti ia selalu mengiringi dan menemaninya.

Bapak bukanlah seekor anjing yang senang membuang waktunya untuk urusan-urusan yang tak perlu. Sekiranya ada waktu luang, ia akan lebih memilih untuk berdiam diri di rumah, beristirahat, menyimpan tenaganya ke dalam tidur panjang. Itulah laku yang ternyata membikin reputasinya semakin populer di kalangan orang-orang dan anjing-anjing, terutama di antara para betina. Lakunya tersebut, membuatnya menjadi satu-satunya anjing di kampung yang mampu memenangi duel melawan babi hutan pada sebuah perburuan. Cerita mengenai keganasan seekor anjing yang mampu memenangi duel satu lawan satu melawan babi hutan, dan bagaimana anjing itu mengoyaknya habis, nyaris seperti sebuah legenda. Hanya saja, satu hal perlu diingat: meski bapak adalah jenis dari anjing pemburu yang terkenal ganas, tapi ia bukanlah seekor anjing liar tanpa aturan.

Konon kata anjing-anjing, bapak adalah seekor anjing ras yang di dalam tubuhnya mengalir darah ningrat. Leluhurnya adalah anjing-anjing pemburu yang sangat disegani dan dihormati, yang mendiami kawasan belahan bumi bagian barat. Selain dikenal sebagai ras dari anjing pemburu, leluhurnya juga terkenal karena memiliki sifat pengembara yang luar biasa. Malah ada yang bilang bahwa leluhurnya leluhur bapak yang paling luhur adalah anjing-anjing yang berasal dari kawasan Jazirah Arab, yang masih memiliki pertalian darah dengan keluarga Qithmir, anjing Ashabul Kahfi yang hingga detik ini katanya menjadi salah satu anjing yang mendapat jaminan surga karena keimanannya. Benar atau tidaknya, ibu tak tahu. Hal tersebut mungkin dapat menjelaskan asal usul dari mana bapak memiliki sifat-sifat berbeda dari anjing-anjing kampung.

Barangkali kamu bertanya-tanya mengapa anjing berdarah ningrat seperti bapak bisa-bisanya kemudian bermukim di kampung kecil seperti Citamiang. Dahulu ibu juga dikuasai pertanyaan tersebut, hingga kemudian pada suatu sore pertanyaan itu tersingkap dari benak.

 

SORE ITU, ibu tengah bergoler mengistirahatkan diri di pekarangan rumah setelah seharian menemani Madsahdi kerja di kebun Haji Elon. Cuaca cerah, langit bersih, udara pun segar. Ketika ibu tengah dengan nikmatnya berguling-guling di tanah, sembari sesekali menjilati kotoran di badan, seseorang bersiul menegur ibu. Ibu menoleh dan di kejauhan, melihat Guru Dayat berjalan mendekat ditemani seekor anjing hitam tinggi besar. Ibu kaget, dan lantas dengan sekejap langsung berdiri bersiaga. Bukan, bukan Guru Dayat yang mengharuskan ibu merubah diri ke dalam keadaan siaga, sebab ibu dan Guru Dayat sudah sejak lama telah saling mengenal. Anjing hitam tinggi besar itu membuat ibu merasa terintimidasi. Entah mengapa, ibu tak tahu.

Guru Dayat perlahan mendekat menghampiri ibu, lalu mengusapi kepala ibu perlahan. Ibu menjadi agak tenang walau tak mengendurkan sedikit pun kewaspadaan terhadap anjing hitam tinggi besar itu. Anjing hitam tinggi besar itu tampak tenang saja dan cenderung santai, lekat memerhatikan ibu. Demi menerima tatapan serta perlakuan seperti itu dari seekor anjing jantan, ibu dibuat malu dan menjadi salah tingkah. Syukurnya Guru Dayat segera berlalu saat melihat Madsahdi keluar dari rumah, dan duduk di bangku bambu. Tanpa diperintah, anjing hitam tinggi besar itu pun juga berlalu mengekori Guru Dayat.

Guru Dayat pergi setelah menyelesaikan urusannya dengan Madsahdi. Tentu anjing hitam tinggi besar itu pun mengikuti. Ibu kira, cuma ibu yang berhasil dibuat terpana oleh kedatangan anjing hitam tinggi besar itu, tapi ternyata tidak. Madsahdi pun merasakan hal yang sama. Madsahdi malah sempat berandai-andai bahwa alangkah akan begitu bersyukur dan berbahagia jika dirinya dikaruniai anjing hitam tinggi besar seperti itu. Pasti kerjaan cepat kelar, kebun aman dari hama, dan kalau diajak berburu pun bakal selalu hasil.

Ibu bertanya kepada Madsahdi, dari mana asalnya anjing hitam tinggi besar itu. Kelihatannya ia jenis anjing mahal yang tak mungkin dikukut orang kampung. Ia terlalu mewah, terlebih mencolok untuk hidup di Citamiang.

“Tidak keliru,” timpal Madsahdi.

Kemudian sambil mengusapi ibu, ia menceritakan bahwa Guru Dayat mendapat anjing hitam tinggi besar itu dari saudaranya yang kerja di kota. Saudaranya yang bekerja di sebuah perusahaan, mendapatkan anjing itu dari bosnya yang katanya sudah bosan mengukut anjing, dan ingin menggantinya dengan memelihara kucing. “Sialan! Betapa beruntungnya Guru Dayat,” serapahnya.

Kejadian tersebut membuat ibu seperti hilang arah. Tiap hari ibu menjadi susah buat fokus pada kerjaan lantaran selalu terbayang pada dirinya. Ibu jadi sering melamun membayangkan betapa ganteng dan gagahnya anjing hitam tinggi besar itu. Badannya yang tinggi, tubuhnya yang besar, ototnya yang lecir, dan wajahnya yang rupawan, betapa sangat menggiurkan. Ibu sering membayangkan seperti apa rasanya jika dapat berjalan berdua bersamanya mengelilingi kampung, entah untuk makan angin di pematang sawah, atau tamasya memandangi ikan-ikan di kolam Haji Elon. Tak jarang, ibu membayangkan tidur dengannya, berciuman, berpelukan, bersetubuh dengannya. Ah ... betapa akan indah jadinya hidup. Tiap hari lamunan ibu semakin bertumpuk saja, dari mulai membayangkan hal-hal yang tadi ibu sebutkan, sampai terpikir seperti apakah rasanya jika kelak bisa hamil dan mengandung anaknya. Ia menjadi seekor suami, ibu sebagai istri, dan hidup bahagia sebagai sebuah keluarga.

Sebab sejak saat itu setiap hari jadinya lebih banyak melamun daripada bekerja, kerjaan ibu pun jadi berantakan. Ibu jadi kesulitan untuk fokus, dan disiplin ibu pun lenyap. Ibu menjadi tak sesigap serta sewaspada biasanya. Gonggongan ibu jadi tak meyakinkan, lari pun kalau mengejar hama jadi tak sekencang seperti yang sudah-sudah. Dan atas semua itu, Madsahdi kerap mengomeli ibu sebagai anjing yang tak becus buat diajak kerja.

Selama berminggu-minggu ibu dirundung bayang-bayang anjing hitam tinggi besar itu. Wajahnya yang terkesan galak tapi dingin begitu menggetarkan hati. Bulunya yang hitam mulus, tubuhnya yang tinggi, yang berisi, yang berotot lecir. Sikapnya yang tenang, wajahnya yang rupawan, kegaranganya, begitu memesona. Jika sudah begitu, ibu hanya akan berbaring di tanah demi meredam hasrat yang meletup-letup untuk kemudian jatuh tertidur. Adapun ternyata, hasrat tersebut tetap tak dapat diredam. Sebab setiap kali begitu, ibu akan terbangun dalam keadaan basah.

Di saat yang sama, yang kerap membuat ulu hati ibu sakit adalah kenyataan bahwa ibu hanyalah seekor anjing kampung biasa. Ibu tak berbeda dari anjing-anjing kampung lainnya yang berwarna cokelat bermoncong hitam. Ibu tak seperti anjing hitam tinggi besar itu, yang memiliki sejarah panjang dalam dunia peranjingan. Ibu biasa-biasa saja, keluarga ibu biasa-biasa saja, leluhur ibu pun juga biasa-biasa saja. Tak istimewa apalagi punya pengaruh besar dalam dunia anjing. Jangankan berbicara sejarah keluarga, sejujurnya, ibu tak tahu apa pun mengenai siapa leluhur ibu, atau dari manakah asalnya, atau apakah mereka berasal dari keluarga ningrat. Jelas, ibu tak memiliki kesempatan memilikinya, bahkan jika dalam mimpi sekalipun.

Di kebun cengkih Haji Elon, Madsahdi kerap menasihati ibu untuk tidak menaruh harapan padanya. Jangan menaruh harap ketinggian, sebab akan terasa begitu menyakitkan kalau kelak tak kesampaian, katanya. Jauhkan harapanmu darinya. Buang segala angan tentangnya sesegera mungkin sebelum kamu jadi gila dan mati lemas. Ia adalah anjing ras, keturunan dari anjing-anjing perkasa yang berasal dari keluarga ningrat yang memiliki sejarah panjang baik dalam dunia anjing ataupun manusia. Sedangkan lihatlah dirimu! Kamu adalah anjing kampung yang biasa-biasa saja. Kampung ini tak kekurangan jantan, sebaiknyalah kamu memilih salah satu dari jantan-jantan tersebut. Jika kamu memilih seekor dari mereka, kamu tak akan sakit hati karena jantan-jantan itu sama denganmu. Jantan-jantan itu adalah anjing-anjing biasa, keturunan anjing-anjing biasa, dan hidup dalam keadaan biasa. Mungkin mereka juga hanyalah anjing kampung keparat yang tak menawarkan masa depan apa pun, apalagi menjanjikan kebahagiaan. Namun, hanya dengan menerima kenyataan itulah kamu bisa menghindarkan diri dari patah hati dan kematian akibat cinta bertepuk sebelah tangan. Tak usah murung seperti itu. Beginilah adanya, kenyataan memang selalu bikin hati perih. Keluarlah dari kesedihan dan katakan pada diri sendiri, “Baiklah, semua anjing kampung memang keparat. Maka, keparat mana yang akan jadi suamiku?”

Sejak saat itu, ibu semakin kehilangan gairah kerja, dan hilang sudah kecekatan dan keterampilan yang telah ibu asah sejak kecil. Di minggu-minggu tersebut, kegiatan ibu sehari-hari hanyalah bergoler di pekarangan rumah, atau meringkuk di kolong bangku bambu.

Perkataan Madsahdi memang tak keliru. Seharusnya ibu tak menaruh harapan ketinggian. Seharusnya ibu membuang segala mimpi untuk bisa hidup bersamanya. Seharusnya ibu berani untuk menghadapi kenyataan yang katanya selalu bikin hati perih itu. Ibu mestinya mencari seekor anjing kampung, karena hanya itulah pilihan yang paling masuk akal. Seperti kata Madsahdi, mereka mungkin tak segagah atau serupawan anjing hitam tinggi besar itu, dan mungkin mereka pun adalah anjing-anjing keparat yang tak punya budi pekerti atau akhlak jempolan. Tapi itulah kenyataannya. Itulah kenyataan yang kudu ibu hadapi. Itulah kenyataan yang kudu ibu lawan. Meski perih, walau sakit, tapi tak ada cara lain. Hanya itu satu-satunya jalan agar ibu bisa terbebas dari jerat kesedihan.

Namun, manakala ingatan mengenai anjing hitam tinggi besar itu tiba-tiba menyergap di dalam mimpi, atau mencuri waktu ketika sedang istirahat kerja, dan menyelinap kala tengah berbaring menghabiskan sore, maka ibu hanya bisa pasrah untuk kemudian kembali terjatuh ke dalam sosoknya.

Menangkap perubahan pada diri ibu, Madsahdi lalu menjadi sering berlama-lama mengamati ibu. Lama ia mengamati, memerhatikan gelagat ibu, menatap lekat ibu. Maksud hati ingin menghibur, tak jarang perhatiannya menjadi lebih dari biasanya. Ibu jadi sering dipangkunya, atau kalau tak sadar tertidur di tanah, maka ia akan menggendong ibu untuk kemudian dipindahkannya ke atas bangku bambu. Sembari merokok, Madsahdi lalu akan mengelusi, mengusapi kepala ibu yang rungsing dengan penuh perhatian dan welas asih. Ia tampak sedih meilhat ibu yang lemas begitu. Ditanya ibu tak menjawab, dipanggil ibu tak menyahut, dikasih makan ibu tak selera. Kalau sudah begitu, ia hanya akan diam, merokok, sembari terus mengusap. Melihat besarnya perhatian dirinya, ibu jadinya merasa bersalah. Karena ibu, Madsahdi jadi ikut-ikutan sedih begitu. Mungkin ia kangen pergi ke kebun ditemani ibu, atau mungkin merindukan perhatian ibu yang biasanya didapatnya tiap hari.

Mendapati Madsahdi yang dibuat sedih sampai sebegitunya, ibu lalu tersadar bahwa ada hal yang lebih penting daripada hanya sekadar memikirkan anjing hitam tinggi besar itu; yakni membuatnya kembali bahagia. Demi Madsahdi, ibu membulatkan tekad, dan berjanji pada diri akan melupakan anjing hitam tinggi besar tersebut. Ibu tak ingin mengecewakannya. Ia yang sedari kecil telah merawat dan membesarkan ibu, ia yang sedari dahulu telah menyayangi ibu. Ibu akan melakukan apa pun buat dirinya. Maka sore itu juga, untuk membikin pikiran jadi tenang dan jernih kembali, ibu memutuskan untuk pergi berjalan-jalan ke pematang sawah. Siapa tahu sejuknya angin pesawahan dapat setidaknya mengobati perasaan tak karuan ini.

Belum juga sampai ke pematang sawah, tiba-tiba saja tiga ekor anjing mencegat ibu. Mereka anjing-anjing kampung biasa, anjing-anjing liar tanpa pemilik yang hidup hanya dari memulung makanan atau menunggu pemberian orang-orang. Mereka melemparkan tatapan mesum, liurnya deras mengucur. Ketiganya berahi, dan sedang mencari mangsa. Anjing-anjing itu menyalak, mencoba meneror ibu. Dengan gerak tubuh tak sabar, secara serentak ketiganya bergantian mencoba meloncat menangkap tubuh ibu. Ibu meronta, terus berusaha melepaskan diri dan melawan dengan balik menyalak. Tapi hal itu tak membuat mereka mundur, dan justru malah membuat ketiganya terlihat semakin bersemangat. Ketiganya berangasan, tak kuat menahan berahi. Ibu mencoba lari, tapi mereka tak memberikan ruang untuk kabur. Ibu dikepung, bingung mesti berbuat apa. Liur kembali bercucuran dari mulut ketiganya demi melihat ibu yang telah semakin terpojok. Sekali lagi, mereka secara serentak bergiliran mencoba untuk menyetubuhi ibu, dan sekali lagi, sebisa mungkin ibu terus berupaya menghindar. Tapi apa daya, bagaimanapun mereka bertiga dan ibu hanya sendiri. Kemaluan mereka tampak memanjang, mengeras. Mereka tampak benar-benar telah kehabisan kesabaran. Nafsu telah sampai puncak, dan berahi telah mendidih di ubun-ubun.

“Sudahlah gadis, menyerah saja,” mereka mengolok.

“Tak sudi. Dasar kudis!”

“Ayolah gadis. Kamu pun telah basah, kan?”

“Borok!”

“Ayo ewe saja cepat!”

“Najis kamu!”

“Apa katamu?”

“Dasar buduk!”

“Sudah cepat, ewe saja!” si borok menyeru tak sabar.

“Cungur!”

“Heunceut kamu!” maki si kudis.

“Itil!” si buduk ikut memaki.

“Sampai koit aku tak sudi!”

Itu adalah ucapan terakhir ibu yang langsung dibalas oleh terjangan si buduk. Seketika, ia berhasil mencengkeram ibu. Si buduk mengangkat tubuhnya, bersiap menenggelamkan kemaluannya. Apa pun yang terjadi, maka terjadilah, ibu meringis pasrah. Namun percayakah kamu dengan apa yang kemudian terjadi? Jika saja tak mengalaminya sendiri, ibu pun mungkin tak akan memercayainya. Ketika kemaluan si buduk telah mencapai permukaan kemaluan ibu, dan lalu menggesek-geseknya, entah dari mana datangnya, sayup-sayup ibu mendengar seekor anjing menyalak galak. Suara keras tersebut menyambar udara seperti geledek, dan memecah konsentrasi si buduk. Si buduk bengong sesaat sebelum lantas menjadi waspada, menarik tubuhnya, dan melepas cengkeramannya. Di kejauhan, ibu melihat Guru Dayat dan anjing hitam tinggi besar itu berjalan. “Anjing hitam tinggi besar itu?” Benak ibu mencoba mencari sedikit kewarasan. Guru Dayat lalu terlihat menepuk anjing hitam tinggi besar itu, dan dengan kecepatan tinggi, ia berlari menuju ibu. Wajah ketiga anjing yang hendak menyetubuhi ibu berubah pucat. Meski mereka bertiga, ketakutan terang terpancar dari wajah ketiganya, apalagi dari wajah si buduk. Walaupun mereka menang jumlah tapi jelas, anjing hitam tinggi besar itu bukanlah lawan cetek. Anjing hitam tinggi besar itu bukan tandingan mereka. Ketiganya pun lari belingsatan saat melihat anjing hitam tinggi besar itu telah semakin mendekat. Ibu akhirnya selamat.

Anjing hitam tinggi besar itu mencoba menenangkan ibu. Ia menatap lekat. Sorot matanya seolah-olah berkata, “Sudah, tak perlu khawatir. Ada aku di sini.” Ibu mati kutu. Salah tingkah. Malu. Takut terlihat gemuk. Tapi ia seolah tak memedulikan ibu yang gerogi, dan terus saja melanjutkan tatapannya. Itulah untuk pertama kalinya, ibu bisa berada sedekat itu dengannya. Sebab selama ini ibu hanya mampu melihatnya dari jauh, dan sering kali, malah hanya mampu membayangkan sosoknya saja. Itu seperti mimpi; ia ada di hadapan ibu, menatap ibu, melindungi ibu. Ia kemudian berkata:

“Kamu tak apa?”

Pada awalnya ibu hanya celingukan.

“Kamu tak apa, Kayas?”

Kemudian ibu mulai gemetar.

“Guru Dayat memberitahuku,” lanjutnya.

Ibu menjadi semakin salah tingkah.

“Aku Bob, tapi Guru Dayat lebih sering memanggilku Hawuk.”

“Hawuk bukannya abu-abu?” akhirnya ibu menemukan kata.

“Entahlah.”

“Jadi, Bob atau Hawuk?”

“Suka-suka kamu saja,” ia tersenyum.

“Terima kasih, kang Hawuk.”

Ia mengangguk.

“Kayas bukannya merah muda?”

“Entahlah,” ibu tersenyum, dan kami lalu tertawa bersama.

Begitulah kemudian sore berakhir. Dipayungi langit cerah dan siraman cahaya layung, ibu dan bapak berjalan mengapit Guru Dayat yang ternyata hendak ke rumah Madsahdi. Hening mengiring sepanjang jalan. Ibu dan bapak sibuk dengan pikiran masing-masing.

Ibu pikir hari itu akan berakhir hanya sampai di situ, tapi nyatanya tidak. Ternyata Guru Dayat berencana untuk mengawinkan kang Hawuk dengan ibu, dan kedatangannya adalah untuk menanyakan apakah Madsahdi keberatan atau tidak terhadap rencananya tersebut. Guru Dayat menjelaskan bahwa dirinya kasihan melihat anjingnya yang masihlah sendiri, tak punya teman, apalagi betina untuk ditiduri. “Maka marilah kita kawinkan saja si Hawuk dan si Kayas, dan itu pun kalau mereka sama-sama saling menyukai,” kata Guru Dayat. Untuk itu, Guru Dayat berencana akan memukimkannya di rumah Madsahdi. Biar ibu dan kang Hawuk bisa saling lebih mengenal, katanya.

Madsahdi sempat bertanya kepada Guru Dayat, mengapa dari sekian banyaknya betina di kampung ini, yang dipilih malah anjing miliknya, yakni si Kayas. Padahal Kayas hanyalah anjing kampung biasa, tak ada istimewa-istimewanya.

“Itu menurutmu mang. Belum tentu si Hawuk berpikiran begitu,” kata Guru Dayat. “Lagi pula,” lanjutnya, “Si Kayas adalah betina gadis yang belum ternoda, belum pernah tesentuh anjing-anjing kampung. Aku penasaran bagaimana jadinya jika anjing ras dan anjing kampung dikawinkan. Akan seperti apakah rupa anaknya kelak?” tanyanya menutup percakapan.

Bapak bermukim selama seminggu di rumah Madsahdi, dan selama itu, bapak dan ibu memang menjadi saling lebih mengenal. Dari bapak, ibu jadi tahu bahwa sampai detik itu ia tak pernah mengetahui siapakah kedua orang tuanya. Ia tak pernah melihatnya sama sekali.

 

BAPAK bercerita, sedari kecil ia telah hidup sendiri tanpa orang tua dan apalagi teman. Ia tinggal di kota, di sebuah rumah yang sangat besar. Ia selalu makan enak, bergizi, serta tak pernah kekurangan makanan. Tak seperti di sini yang selalu berganti-ganti, di kota, menu makannya tiap hari adalah daging. Seringnya memang daging ayam, tapi kadang sesekali diselingi daging sapi. Selain karena ia adalah anjing berdarah ningrat, ternyata itulah salah satu alasan mengapa ia bisa memiliki tubuh yang sedemikian besarnya. Di rumah besar itu, ia sama sekali tak pernah bekerja. Lebih tepatnya, ia tak diperbolehkan buat bekerja. Kegiatannya sehari-hari hanyalah berbaring di sofa empuk, menemani majikannya tidur, atau mengiringinya lari pagi dan sore. Selebihnya, ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan melamun. Dan seminggu sekali, ia selalu dibawa ke salon; dimandikan dengan beragam sabun, kuku-kukunya dipotong, dibersihkan, dihaluskan. Ia sangat dimanjakan, dan mendapat perlakuan seolah-olah seekor raja.

“Menyenangkan sekali pastinya bisa hidup seperti itu,” komentar iri ibu.

Tapi bapak malah berkata begini:

Menyenangkan, katamu? Jika kamu menganggap hidup yang demikian itu adalah hidup yang menyenangkan, maka kamu belum pernah tahu apa artinya kesepian. Banyak anjing-anjing memang berpikir begitu, berpikir bahwa hidup yang demikian itu adalah hidup yang menyenangkan. Kenyataannya, memang tak sedikit dari anjing-anjing yang menginginkan kehidupan demikian. Tapi aku tak tergolong ke dalam anjing-anjing jenis itu.

Barangkali kamu pernah mendengar rumor yang menyebutkan bahwa aku adalah seekor anjing ras berdarah ningrat dari jenis pemburu, dan leluhurku adalah anjing-anjing yang mendiami belahan bumi bagian barat. Bahkan sebagian anjing menyebut bahwa leluhurnya leluhurku adalah anjing-anjing yang mendiami kawasan Jazirah Arab yang masih memiliki pertalian darah dengan keluarga Qithmir, anjing Ashabul Kahfi yang sampai sekarang masih menjadi salah satu anjing yang mendapat jaminan surga karena keimanannya.

Ibu mengangguk.

Rumor tersebut bukanlah sekadar isapan jempol belaka. Cerita itu benar. Sewaktu di kota, di waktu-waktu luang seperti saat tengah bersantai di sofa, atau hendak menjelang tidur, majikanku sering menceritakan perihal dari mana asal-usulku. Ia berkata bahwa leluhurku memanglah anjing-anjing jenis pemburu yang disegani yang mendiami belahan bumi bagian barat. Tapi, perkara apakah leluhurnya leluhurku yang paling luhur itu adalah anjing-anjing yang mendiami kawasan Jazirah Arab yang masih memiliki pertalian darah dengan keluarga Qithmir, anjing Ashabul Kahfi yang hingga kini masihlah tercatat sebagai salah satu anjing yang mendapat jaminan surga karena keimanannya, majikanku tak terlalu yakin. Satu-satunya yang dapat dipastikannya hanyalah: aku adalah anjing ras dengan harga selangit.

            Itulah sebab mengapa majikanku atau orang-orang kebanyakan memberi perlakuan istimewa, karena aku adalah anjing berharga mahal. Majikanku tak pernah–dan sepertinya memang tak pernah punya niat–menyuruhku untuk bekerja. Aku tak boleh keluar rumah seenak udel karena harga yang dibayar untuk perawatanku amatlah mahal, dan itu belum termasuk biaya yang dikeluarkan untuk makananku. Jika dihitung, biaya jatah makanku sebulan bisa lebih tinggi daripada gaji orang-orang yang seharian banting tulang kerja tak ada henti. Kamu berpikir hidupku menyenangkan, tapi percayalah, tak enak rasanya hidup seperti itu. Hidup sebagai boneka. Oleh karena itu, aku selalu merasa kesepian sebab tak pernah merasa diperlakukan sebagai seekor anjing. Aku hanyalah hiburan baginya. Aku hanya dijadikan pelampiasan ketika dirinya merasa bosan, ditanggap seperti wayang untuk sekadar lucu-lucuan. Dan tak jarang, alasan mereka memeliharaku adalah karena untuk sekadar dijadikan bahan pamer kepada orang-orang, dan bukan untuk dijadikan teman.

            “Begitukah?”

            Begitulah. Baru ketika pindah ke sini aku merasakan bagaimana rasanya menjadi seekor anjing secara utuh. Aku bisa bebas bergerak berkeliaran ke mana pun sekehendak hati. Guru Dayat tak pernah rewel melarang-larangku. Mau ke mana pun aku pergi, ia selalu membebaskanku. Yang penting, katanya, aku harus tahu waktu. Aku pun sangat senang jika Guru Dayat memintaku untuk menemaninya bekerja. Dengan begitu, kurasai bahwa insting memburu dan mengembaraku ternyata masihlah ada, dan semakin tajam seiring waktu berjalan. Kukira selama ini hal itu hilang dariku, akibat dari kehidupan yang kujalani di kota. Tapi ternyata kemampuan tersebut hanyalah tumpul, sebab tak pernah kuasah. Aku begitu berbahagia ketika diberi kerjaan menunggui kebun, menjaganya dari hama atau pencuri. Aku juga bersyukur ketika Guru Dayat mengajakku berburu babi hutan, bersama dengan sekelompok anjing-anjing–yang katanya–pemburu. Kemampuan yang selama ini terkubur, hasrat yang selama ini terpendam, menemukan tempat terbaiknya untuk bangkit.

            Jika dibandingkan dengan majikanku yang sebelumnya, bos Stephen, Guru Dayat mungkin tak ada apa-apanya. Ia mana mau menyajikan makanan mewah-enak-bergizi setiap hari, atau memanjakanku dengan mengajak pergi ke salon. Tapi, meski di sini aku makan seadanya, semisal entah itu hanya diberi tulang ikan, atau nasi sisa semalam, atau apa saja yang mungkin sekiranya tersisa dari meja makanan keluarga, buatku tak jadi soal. Aku akan menelan semuanya dengan perasaan bungah. Aku bahagia sekaligus bersyukur bisa menjalani hidup dengan menjadi diri sendiri. Bukankah aku adalah keturunan dari anjing-anjing pemburu yang mendiami belahan bumi bagian barat? Aku senang, aku bahagia, dan aku bersyukur bisa datang ke sini dan hidup bersama Guru Dayat. Apalagi setelah bertemu denganmu, lengkap sudah kebahagiaanku. Kamulah ternyata tulang yang selama ini kucari, Kayas.

            Sore itu, untuk pertama kalinya bapak mencium ibu. Ia terlihat bahagia, dan apalagi ibu. Kami lalu saling merangkul, saling menjilat, berguling-guling di halaman belakang rumah Madsahdi. Disaksikan layung membara, di atas puncak berahi, ia mengawini ibu; tanpa penghulu, tanpa wali, tanpa dua orang saksi, dan tanpa mas kawin. Kami kawin, semata-mata hanya atas nama cinta. Di sana, di atas bangku, senyum Madsahdi merekah.

            Sejak saat itu, ibu pensiun sebagai seekor gadis, dan kemudian menapaki jalan menuju seekor betina dewasa. Nyaris setiap hari ibu dan bapak menutup hari dengan bersetubuh. Bersetubuh, bersetubuh, dan bersetubuh. Seringnya, kami bersetubuh di halaman belakang rumah Madsahdi. Tapi dalam rangka melepas kebosanan, kadang kami bersetubuh di pematang sawah, atau di kolam ikan Haji Elon sembari memandangi ikan-ikan, atau di kebun cengkih di sela-sela istirahat kerja, atau jika memang berahi tengah berada di atas puncaknya, maka kami akan bersetubuh tak peduli itu di mana pun. Ibu sekarang bisa mengerti mengapa betina-betina di kampung sampai sebegitunya memuja bapak, dan betapa begitu inginnya untuk disetubuhi olehnya. Ibu sekarang merasakannya, merasakan keperkasaan seekor Hawuk. Perawakan tubuhnya yang tinggi dan besar ternyata punya pengaruh terhadap panjang dan besar barangnya, yang selalu memuaskan hasrat akan persetubuhan. Dalam satu ronde, ibu bisa disetubuhi oleh bapak selama berjam-jam. Persisnya, tak pernah kurang dari dua jam. Dan bapak mampu menyetubuhi ibu selama beronde-ronde. Ah ... ibu begitu berbahagianya, dan tentu sangat bersyukur atasnya.

            Ibu pikir kebahagiaan itu telahlah sempurna, tapi ternyata masihlah belum. Kebahagiaan itu barulah sempurna ketika beberapa minggu setelah masa persetubuhan yang membara tersebut, ibu menyadari bahwa ternyata telah hamil. Bapak juga sangat berbahagia ketika mendengar cerita dari ibu. Ia memeluk ibu, mencium ibu, menjilati ibu tanpa henti. Bahkan saking terharunya, dan demi membayangkan bahwa dalam beberapa bulan ke depan akan memiliki seekor anak, ia menangis haru. Ia terharu sekaligus merasa tenang bahwa kelak akan ada anak-anak penerus dirinya. Anak-anak yang akan meneruskan garis keturunannya yang panjang. Anak-anak dengan darah pemburu mengalir di tubuhnya. Anak-anak yang akan mengikuti jejaknya. Kini, ia tak lagi khawatir garis keturunannya yang panjang itu terputus.

Sembilan minggu kemudian kamu dan kedua abangmu lahir, walau nahasnya, bapakmu tak sempat melihat kalian.

 

KABAR kedatangan seekor anjing hitam tinggi besar sebenarnya tak hanya ramai diperbincangkan di kalangan anjing-anjing, tapi juga di kalangan orang-orang. Orang-orang sering bergerombol datang ke rumah Guru Dayat, untuk menyaksikan secara langsung seekor anjing yang katanya berharaga mahal itu. Setiap hari selama seminggu, rumah Guru Dayat tak pernah sepi dari kunjungan orang-orang. Kebanyakan yang datang memang orang-orang kampung situ saja. Tapi kemudian kabar semakin menyebar, melintasi batas-batas desa dan kecamatan di wilayah tujuh, yang pada akhirnya membuat orang-orang luar desa dan kecamatan pun berdatangan. Selain mengagumi sosok anjing hitam tinggi besar itu, setelah menyaksikannya langsung, orang-orang kemudian dibuat ngebet memilikinya.

Banyak orang bertanya kepada Guru Dayat, ia menginginkan harga berapa supaya anjing hitam tinggi besar itu bisa mereka miliki. Namun Guru Dayat hanya akan tersenyum, dan berkata tak berniat menjualnya. Ada juga orang yang langsung menawarnya dengan harga yang menurut Madsahdi tak masuk akal, yakni sepuluh juta. Guru Dayat kembali menggeleng. Di antara mereka ada juga yang merayu Guru Dayat untuk menukarkannya dengan sejumlah uang, ditambah motor dan mobil. Guru Dayat tetap bungkam. Sementara sisanya adalah orang-orang kampung yang tak punya banyak uang, yang kemudian hanya bisa berharap bahwa kelak siapa tahu Guru Dayat berkenan untuk membagi anak-anak dari anjing hitam tinggi besar itu kepada mereka. Dan untuk yang ini, Guru Dayat mengangguk ringan.

            Sepertinya orang-orang banyak dibikin kesal dan kecewa oleh kekeraskepalaan Guru Dayat. Karena sejak Guru Dayat banyak menolak tawaran untuk menjual anjingnya, kemudian ada orang-orang yang berusaha untuk mendapatkannya dengan mencurinya. Kejadian pertama terjadi di rumah Guru Dayat, ketika hampir pada jam sebelas malam, lima orang berusaha merusak gembok kandang dengan menggergajinya. Tentu maling-maling itu kurang cerdas, sebab hal yang demikian akan membangunkan si anjing, dan si anjing kemudian akan menyalak. Mendengar Hawuk yang ribut, Guru Dayat bangun dan memeriksa keadaan. Tentu Guru Dayat akan melihat lima orang maling, dan oleh karena itu, ia mengambil bedil anginnya, memompanya, dan secara diam-diam menembakkanya pada gerombolan maling yang langsung lari pontang-panting. Tapi, kisah tentang anjing hitam tinggi besar barulah berakhir pada kejadian kedua.

            Kejadian kedua terjadi beberapa hari sebelum kelahiranmu. Sore itu sehabis pulang kerja, bapak mengantar ibu pulang ke rumah Madsahdi. Di jalan, tak banyak yang kami bicarakan. Hari itu ia menjadi agak pendiam. Ibu bertanya mengapa seharian ini dirinya tak seperti biasanya, dan menjadi pendiam seperti itu. Itu karena akhir-akhir ini dirinya merasa gelisah, tak sabar menanti anak-anaknya lahir, jawabnya.

            “Kamu tak usah gelisah,” kata ibu.

            “Tak usah?”

            “Tak perlu.”

            “Tapi aku cemas. Takut, khawatir,” keluhnya.

            “Berdoa saja, banyak-banyak baca selawat supaya lancar.”

            “Selawat?”

            “Selawat.”

            “Seperti yang sering dikatakan Ajengan Dudukuy melalui pengeras suara?”

            “Seperti yang selalu dikatakan Ajengan Dudukuy melalui pengeras suara.”

            Setelah itu bapak tampak sedikit tenang, walau tetap saja masih banyak diam. Hari itu kami menghabiskan sore hingga malam dengan berdua-duan. Bergoler bersama di halaman belakang rumah Madsahdi, berpelukan, saling menjilat, saling menindih. Entah pukul berapa lalu ia berkata bahwa dirinya harus pulang. Ibu bilang, menginap saja di sini dan tak usah balik. Ibu masih ingin ditemani.

“Aku kudu balik, besok kan harus kerja?”

“Kan bisa berangkat bareng dari sini?” ibu merajuk.

“Kasihan Guru Dayat.”

“Lebih mengasihani Guru Dayat daripada aku?”

“Tidak begitu.”

“Terus gimana?”

“Aku harus pulang. Aku tak mau mengecewakan Guru Dayat.”

“Jadi kamu lebih memilih mengecewakanku?”

“Bukan begitu.”

“Lantas bagaimana?”

Bapak kelimpungan.

“Setidaknya temani sampai aku tertidur, ya?”

Bapak mengangguk.

            Esok paginya Madsahdi menceritakan kematian bapak pada ibu. Ia bercerita bahwa semalam, Ulum Getih dan Ujang Rohidin–mereka berdua begundal kampung–yang sedang mabuk tak sengaja berpapasan dengan bapak di jalan. Ulum Getih dan Ujang Rohidin memang dikenal sebagai pasangan emas yang mendalangi kejahatan-kejahatan kecil di kampung. Semisal ayam-ayam yang hilang, atau ikan-ikan di kolam, atau burung kukutan orang-orang, atau sepatu yang lupa dimasukkan ke rumah, atau apa pun yang sekiranya bisa dijual dengan cepat. Malam itu ketika berpapasan dengan bapak, otak kriminalnya yang mulai redup mendadak terang.

Ulum Getih dan Ujang Rohidin berpikir, bahwa mereka akan kaya mendadak jika berhasil melumpuhkan bapak. Mereka bisa menjualnya kepada orang-orang dengan harga tinggi. Demi membayangkan uang mengalir deras ke dalam kantong, Ulum Getih lalu mendesak maju. Ia bermaksud menjerat bapak dengan rantai motor yang selalu dibawanya ke mana pun sebagai bentuk tindakan antisipasi jika terjebak perkelahian atau situasi genting. Di saat yang sama, Ujang Rohidin pun maju mendesak bapak, dengan modal kayu yang entah dipungutnya dari mana. Bapak menyalak pada keduanya, tapi Ulum Getih dan Ujang Rohidin tak terlihat takut. “Maklum, sedang mabok,” kesal, Madsahdi mengomentari. Bapak terus melawan dan mencoba menghindar, tapi Ulum Getih dan Ujang Rohidin tak surut. Mereka terus mendesak, dan berhasil memojokkan bapak. Dalam situasi terpojok, Ulum Getih berhasil menjerat kaki bapak. “Tewak! Tewak!” teriak Ulum Getih. Ujang Rohidin maju, bermaksud membungkus kepala bapak yang tak kuasa bergerak dengan jaketnya. Ujang Rohidin melupakan satu hal: adalah fakta bahwa bapak adalah anjing ganas. Ketika hendak membungkus kepala bapak, Ujang Rohidin lengah. Celah itu langsung dimanfaatkan bapak untuk menggigit tangan kiri Ujang Rohidin. Tak sampai berapa detik, tangan Ujang Rohidin putus. Ujang Rohidin berteriak, melolong kesakitan. Ulum Getih panik melihat tangan Ujang Rohidin tergeletak di tanah. Dalam keadaan kalap, Ulum Getih melihat kayu bekas Ujang Rohidin dan mengambilnya. Ulum Getih memukuli bapak dengan brutal.

Bapak mati dengan kepala hampir pecah. Ulum Getih dipenjara. Ujang Rohidin dikirim ke akhirat. Guru Dayat dirundung duka. Madsahdi meraskan hal yang sama. Para betina sedih. Orang-orang juga sedih. Jangan tanya bagaimana hancurnya perasaan ibu ketika itu. Sebagai penghiburan, ketika ibu melahirkan, kedua abangmu kemudian dikukut oleh Guru Dayat, dan kamu beserta ibu tetap bersama Madsahdi.

“Kenapa namaku Harak, bu?”

“Kata Madsahdi, biar sama dengan kakekmu.”

“Kakekku?”

“Benar.”

“Siapa kakek?”

“Ajak kukutan Ajengan Dudukuy.”

            Setiap kali teringat cerita mengenai bapak, atau kala sedang melamun dan entah dari mana datangnya kemudian kenangan itu tiba-tiba lewat, aku selalu sedih. Andai aku bisa mengobrol dengannya, mendengarnya menceritakan leluhurnya, berlatih lari bersama, menemaninya berburu, menyaksikannya mengoyak babi hutan, atau membantu kerjaannya di kebun, atau untuk hanya sekadar berbaring menghabiskan sore bersama. Andai. Andai kau masih hidup. Semoga kalian tenang di alam sana.

 

SEJAK kematian ibu, praktis aku hanya hidup seorang diri. Hidup sebagai seekor anjing yatim piatu benar-benar tak mudah. Sedari kecil aku mesti belajar mandiri, dan melakukan segalanya sendiri. Bapakku meninggal beberapa hari menjelang kelahiranku, dan ibuku menyusulnya beberapa bulan setelahnya. Kadang aku merasa, kalau dipikir-pikir, alur cerita hidupku mirip seperti kisah hidup Kanjeng Nabi.

Kanjeng Nabi ditinggal ayahandanya Abdullah bin Abdul Muthalib, beberapa bulan menjelang kelahiran beliau, dan ibundanya Aminah binti Wahab, menyusul wafat setelah melahirkan beliau. Bukankah Kanjeng Nabi ditinggal ayahandanya dua bulan sebelum kelahirannya sedangkan aku hanya beberapa hari sebelum kelahiranku? Dan ibundanya Siti Aminah meninggalkan Kanjeng Nabi ketika beliau berusia enam tahun sedangkan ibuku meninggalkanku ketika usiaku belum genap tiga bulan? Kalau dipikir-pikir lagi, kisah hidupku dan Kanjeng Nabi memang memiliki kemiripan. Walau tak persis, dan apalagi serupa.

Aku adalah anjing keturunan pemburu yang di dalam tubuhku mengalir darah ningrat. Leluhurku adalah anjing-anjing yang mendiami kawasan bumi bagian barat, dan leluhurnya leluhurku adalah anjing-anjing yang mendiami kawasan Jazirah Arab, yang menurut cerita masih memiliki pertalian darah dengan keluarga Qithmir, anjing Ashabul Kahfi yang sampai saat ini masihlah menjadi salah satu anjing yang mendapat jaminan surga karena keimanannya. Bukankah Kanjeng Nabi juga terlahir dari jenis manusia-manusia pilihan baik itu leluhurnya ataupun leluhur leluhurnya? Bukankah leluhurnya leluhur Kanjeng Nabi Muhammad itu adalah Nabi Ibrahim, yang dikenal sebagai bapaknya para nabi, yang lahir dan tumbuh serta kemudian mendiami kawasan Jazirah Arab? Leluhurnya leluhurku pun merupakan anjing-anjing yang terlahir dan tumbuh serta mendiami kawasan yang sama, yakni Jazirah Arab. Sebuah kebetulankah kisah hidupku dan kisah hidup Kanjeng Nabi Muhammad bisa mirip hingga sedemikian rupa? Entahlah. Tapi kupikir bukan, hal itu bukanlah sebuah kebetulan.

Aku sering mendengar Ajengan Dudukuy berkata bahwa di dunia ini tak ada yang namanya kebetulan. Sekalipun sesepele daun yang jatuh, itu sudah diatur oleh Allah. Semua telah diatur oleh Allah, semua telah ditentukannya, segala hal ada dalam genggamannya. Namun meski demikian, meski kisah hidupku bisa dikatakan mirip dengan kisah hidup Kanjeng Nabi, tapi bagi kebanyakan orang aku tetaplah hanya seekor anjing yang najis, yang tak pantas buat disentuh apalagi dipelihara. Sedangkan Nabi Muhammad adalah seorang manusia, seorang nabi, seorang mulia, cahaya alam semesta.

            Ajengan Dudukuy kerap berkata bahwa Nabi Muhammad merupakan seorang nabi yang paling istimewa di antara para nabi lainnya. Nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang menjadi penutup para nabi. Nabi Muhammad mungkin tak terkenal karena kesaktiannya seperti Nabi Sulaiman yang bisa berbicara dengan hewan, atau seperti Nabi Musa yang dapat membelah lautan, ataupun seperti Nabi ‘Isa yang mampu menghidupkan orang mati. Nabi Muhammad juga bukanlah seorang nabi kaya raya yang punya kerajaan dan kekuasaan seperti Nabi Daud ataupun Nabi Sulaiman. Beliau adalah seorang nabi yang hidup dalam keadaan sederhana, tak banyak harta apalagi punya kerajaan. Kata Ajengan Dudukuy, ketika meninggal Kanjeng Nabi tak meninggalkan banyak harta, dan bahkan sebelum wafatnya, beliau hanya berbaring beralas tikar butut.

Namun justru di situlah letak keistimewaan Kanjeng Nabi, lanjut Ajengan Dudukuy. Beliau bisa memimpin tanpa pernah punya kerajaan, beliau bisa kaya tanpa gelimang harta, dan beliau bisa begitu sakti tanpa ilmu yang aneh-aneh. Apa yang membuat Kanjeng Nabi Muhammad menjadi seorang nabi yang luar biasa serta istimewa, adalah terletak pada kesederhanaan dan budi pekertinya. Nabi Muhammad menjadi istimewa karena keluhuran akhlaknya. Di situlah letak utama keistimewaan Kanjeng Nabi. Allah pun berfirman kepada manusia, bahwa kalau saja bukan karena Kanjeng Nabi Muhammad, Ia tak akan menciptakan dunia dan segala isinya ini. “Untuk itu, sering-seringlah membaca selawat kepada Kanjeng Nabi,” begitulah biasanya Ajengan Dudukuy menutup ceramahnya.

            Ketika ibu masih hidup, ia selalu menasihatiku dan mewanti-wanti agar tak lupa untuk membaca selawat kepada Kanjeng Nabi. Apa pun keinginanmu, semua bisa diwujudkan melalui laku selawat. Kamu ingin makan enak, bacalah selawat yang banyak. Kamu ingin disayang oleh Madsahdi atau orang-orang kampung, amalkanlah selalu selawat. Kamu ingin punya pasangan betina cantik nan panas di ranjang, resepnya sama: banyak-banyaklah membaca selawat.

            “Selawat?”

            “Selawat.”

            “Bagaimana bunyinya, bu?”

            “Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad.”

            “Bagaimana bisa?”

            “Ajengan Dudukuy yang mengajari ibu.”

            “Maksudku, bagaimana selawat bisa mewujudkan semua itu?”

            Sudah ibu bilang bahwa kedatangan bapakmu mengakibatkan semua betina di kampung seperti kena sirep. Semua betina menggilainya, semua betina ingin memilikinya, semua betina ingin merasakan disetubuhi olehnya. Di antara mereka yang menggilai bapakmu, memang terdapat betina-betina yang jelek, borokan, gembrot dan punya penyakit kulit, akibat tak terampil mengurus badan. Tapi hampir sepertiga dari para betina yang menggilai bapakmu, adalah betina-betina yang masih gadis, yang memiliki kulit mulus, dengan bulu halus, berkaki jenjang, dan bertubuh montok. Ibu berada di antara mereka, di antara betina-betina yang kurang terampil mengurus badan, dan di antara betina-betina cantik nan montok. Ibu berada di tengah-tengah: tidak cantik, tapi juga tidak jelek.

Ibu menyadari bahwa jika bersaing secara terbuka dengan mereka, ibu tak akan punya kesempatan apalagi peluang untuk meraih kemenangan. Maka demi bisa bersaing untuk mendapatkan bapakmu, ibu haruslah menempuh jalan yang tak dilalui oleh kemolekan fisik semata. Sejak saat itu, ibu mulai menggugu ajakan Ajengan Dudukuy. Ibu ingin membuktikan apakah selawat itu memanglah seampuh dan secanggih-canggihnya senjata sebagaimana selalu digembar-gemborkan oleh Ajengan Dudukuy. Ibu mulai menempuh jalan selawat.

Di setiap waktu pada setiap kesempatan, ibu mulai untuk sesering mungkin membaca selawat. Selazimnya sebagai seekor pemula, awalnya ibu ragu apa benar hanya dengan membaca selawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad segala keinginan kita dapat terpenuhi begitu saja. Tapi, ibu tak punya pilihan lain selain mencobanya. Sebab seperti yang telah ibu bilang, tak ada kesempatan untuk bersaing secara terbuka dengan betina-betina lainnya. Waktu kian kencang berlari, tapi sejauh itu ibu hanya jalan di tempat, tak melakukan upaya apa pun untuk sekadar mendapat perhatian bapakmu. Jika ingin memiliki bapakmu, maka mau tak mau, ingin tak ingin, ibu harus beradu cepat dengan betina-betina di kampung. Ibu tak boleh ketinggalan, dan apalagi sampai lengah.

            Selain tulang ikan asin dan sisa-sisa makanan lainnya, mulai saat itu selawat kemudian menjadi menu wajib harian dari mulai sarapan, makan siang, dan makan malam. Ibu menanamkan selawat dalam-dalam di hati dan pikiran, mencoba untuk terus istikamah membacanya, mendawamkannya. Sampai jadi darah jadi jadi daging jadi tulang dalam diri, sebagaimana selalu dikatakan Ajengan Dudukuy. Biarlah selawat jadi darah yang mengaliri diri, biarlah selawat jadi daging yang mengisi diri, biarlah selawat jadi tulang yang menyangga diri.

“Begitu kata Ajengan Dudukuy.”

“Begitukah, bu?”

“Begitulah, jang.”

“Memangnya boleh sato mengikut manusia?”

“Memangnya tidak boleh sato mengikut manusia?”

“Jadi boleh?”

“Tentu saja.”

“Kan kita sato, bukan manusia?”

“Sato itu sama dengan manusia.”

“Tapi manusia bukannya berbeda, lebih tinggi dan lebih mulia?”

“Banyak dari mereka memang kepedean, suka merasa lebih tinggi dan mulia.”

“Maka dari itu ibu membaca selawat?

“Maka dari itu ibu membaca selawat.”

“Berhasilkah?”

Kira-kira dua mingguan lebih, dan ibu baru merasakan khasiatnya. Merasakan bahwa selawat memang seampuh dan secanggih-canggihnya senjata. Tiba-tiba saja sore itu, bapak menyelamatkan ibu dari gerombolan anjing keparat yang ingin menyetubuhi ibu. Setelah kejadian tersebut, Guru Dayat pun tiba-tiba memiliki rencana untuk mengawinkan bapak dengan ibu. Dan demi memuluskan rencananya, Guru Dayat hendak menginapkan bapak di rumah Madsahdi. Lalu beberapa minggu setelahnya, dan ibu telah kawin dengan bapak, merasakan disetubuhinya, tidur bersamanya setiap malam, dan berhasil memiliki dirinya seutuhnya.

Ibu telah membuktikannya, membuktikan bahwa selawat memang seampuh dan secanggih-canggihnya senjata. Ajengan Dudukuy benar. Ajengan Dudukuy tak membual mengenai selawat. Maka, turutlah kepada Ajengan Dudukuy. Apa pun yang diucapkannya, turutilah saja. Dan selalu baca selawat, sampai jadi darah jadi daging jadi tulang dalam diri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...