Cerita Malam Seribu Bulan: Pendakian Menuju Jibril

 


HAJI AHMADUN menemui Jatayu yang sedang tapa di atas pohon beringin. Ia bertanya kepadanya, apakah mungkin Jatayu bersedia membantunya untuk mengantarkannya ke lapisan langit kelima buat menemui Jibril. Haji Ahmadun meyakinkan Jatayu: jika ia bersedia membantunya, maka ia berjanji akan membelikannya pakan burung terbaik sebagai imbalan. Ketika ditanya begitu, Jatayu hanya tersenyum, dan lalu berkata:

“Aku tak bisa mengantarkanmu ke sana, Haji.”

“Masa tak bisa? Kamu kan burung hebat? Rahwana yang perkasa sakti mandraguna saja bisa kamu patuk sampai hangus. Masa buat mengantarku bertemu Jibril kamu tak bisa?”

“Itu beda cerita.”

“Apa bedanya?”

“Ini Jibril, Haji. Bukan Rahwana,” kata Jatayu memberi jeda. “Untuk bertemu Jibril, Haji kudu mengusahakannya sendiri, dan yang berarti tanpa pertolonganku.”

“Kalau begitu, aku kudu bagaimana?”

“Perkara itu tak usah Haji risaukan. Aku akan memberitahu Haji bagaimana caranya.”

Jatayu lalu menyuruh Haji Ahmadun naik ke tubuhnya, dan membawanya terbang ke sebuah saung rindang di atas huma. Sebab, mengobrol di atas pohon beringin terlalu berisiko untuk keselamatan Haji Ahmadun, katanya. Di saung rindang di atas huma Jatayu menjelaskan kepada Haji Ahmadun, ada beberapa langkah yang harus ditempuh sebelum dirinya bisa bertemu dengan Jibril. Pertama-tama, Haji Ahmadun harus belajar bersuci dengan benar.

“Maksudmu abdas?” potong Haji Ahmadun.

Jatayu menggeleng kecut. Abdas memang merupakan salah satu cara untuk bersuci, tapi abdas hanya menyucikan tubuh luar saja. Ada tiga hal yang harus disucikan selain daripada sekadar tubuh luar. Pertama, Haji harus menyucikan mulut dari perkataan kotor. Kedua, Haji harus menyucikan pikiran dari kehendak-kehendak najis. Ketiga, Haji harus menyucikan hati dari penyakit-penyakit hati seperti ujub, sirik, riya, takabur, dengki dan yang lain-lainnya.

Untuk belajar bersuci, Haji kudu menempuh jalan puasa. Selama tiga tahun Haji harus Puasa Daud, dan tak boleh putus Puasa Senin-Kamis. Selama tiga tahun pula, kata yang boleh keluar dari mulut Haji hanya kata “Hu.” Setelah selesai melakoni puasa dan berzikir dengan “Hu,” Haji harus menyedekahkan separuh dari jumlah total harta yang Haji miliki kepada anak-anak yatim dan fakir miskin.

“Apakah Haji siap?”

Haji Ahmadun mengangguk.

Yang kedua, untuk bisa bertemu dengan Jibril, Haji harus belajar bersabar dengan benar. Supaya Haji bisa belajar bersabar dengan benar, maka selama tiga tahun Haji harus bertapa di atas batu datar di bawah naungan pohon beringin di atas Gunung Halimun. Selama bertapa, Haji tak boleh melukai hewan apa pun yang mungkin datang menganggu Haji; dari mulai nyamuk yang mengisap darah Haji, ular yang hendak menggigit Haji, atau bahkan Harimau yang mungkin hendak menjadikan Haji sebagai santapan makan siang.

Selain tak boleh melukai, Haji pun tak boleh membunuh hewan untuk dijadikan santapan. Selama bertapa, Haji hanya diperbolehkan memakan dedaunan, dan hanya boleh meminum air hujan dan embun yang terdapat di rerumputan atau dedaunan. Haji tak boleh menampung air hujan dan embun tersebut, Haji harus meminumnya secara langsung. Itu artinya, Haji hanya bisa minum ketika hujan turun atau ketika embun mulai terbentuk. Dan ini yang sulit: Haji hanya diperbolehkan makan dan minum hanya dalam dua waktu, yakni di waktu ketika matahari sedang menyenandungkan tembang-tembang kehidupan, dan di waktu ketika rembulan sedang menyenandungkan tembang-tembang kehilangan.

“Apakah Haji siap?”

Haji Ahmadun mengangguk.

Ketiga, untuk bertemu dengan Jibril, Haji harus mempelajari ilmu meniti hampa. Untuk menguasai ilmu meniti hampa, Haji harus pergi ke daerah dingin Bayongbong menuju sebuah pesantren bernama Paojan yang letaknya persis di tengah-tengah antara Gunung Cikuray dan Gunung Papandayan. Haji harus menemui seorang ajengan; ia biasa disebut dengan Ajengan Dudukuy. Ajengan Dudukuy adalah satu-satunya orang yang tersisa di dunia yang bisa mengajari ilmu meniti hampa. Normalnya, Haji akan mempelajari ilmu meniti hampa selama tiga tahun. Tapi kalau ternyata otak Haji kurang cergas, bisa dipastikan bahwa butuh babak tambahan waktu untuk mempelajarinya.

Terakhir, untuk bertemu dengan Jibril, Haji harus mengunjungi tiga masjid dan mendirikan seribu rakaat salat di setiap masjid. Pertama, Haji akan mendirikan salat seribu rakaat di Masjidil Haram, dan lalu memungkasinya dengan membaca selawat kamilah sepuluh ribu kali di hadapan Ka’bah. Kedua, Haji akan mendirikan salat seribu rakaat di Masjid Nabawi, dan memungkasinya dengan membaca selawat kamilah sepuluh ribu kali di hadapan makam Kanjeng Nabi Muhammad. Ketiga, Haji akan mendirikan salat seribu rakaat di Masjidil Aqsa, dan memungkasinya dengan membaca selawat kamilah sepuluh ribu kali seraya ikut berjuang bersama rakyat Palestina melawan penindasan Israel.

“Apakah Haji siap?”

Haji Ahmadun tampak berpikir keras.

“Terakhir dari yang terakhir,” lanjut Jatayu tanpa menunggu jawaban Haji Ahmadun.

“Gila! Masih ada?”

“Masih, Haji.”

Haji Ahmadun menggaruk kepala menepuk jidat mengelus dada dengan tertib.

“Terakhir dari yang terakhir, Haji Harus banyak-banyak membaca buku.”

“Buat apa banyak-banyak baca buku?”

“Buat mengisi waktu luang, dan sekaligus mengisi otak yang kosong.”

Haji Ahmadun akhirnya mengangguk. Berkata kepada Jatayu bahwa ia akan melakoni segala cara demi bisa bertemu dengan Jibril. Sebab urusannya dengan Jibril masih belum kelar, dan tak bisa dibiarkan begitu saja. Jatayu pun berpesan kepada Haji Ahmadun, supaya melakoni segala langkah-langkah tersebut dengan ikhlas. Tanpa keikhlasan, semua usaha hanya akan bernilai sia-sia belaka. “Kalau sudah kelar, temui aku kembali di pohon beringin,” Jatayu menutup percakapan.

 

DI TAHUN KESEMBILAN, Haji Ahmadun telah menguasai bersuci, bersabar, dan ilmu meniti hampa. Di tahun kesepuluh, Haji Ahmadun telah mendirikan salat seribu rakaat dan memungkasi membaca selawat sepuluh ribu kali di masing-masing Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Separuh dari total hartanya, sudah ia sedekahkan pula kepada anak-anak yatim dan para fakir miskin. Ia pun ikut membantu perjuangan rakyat Palestina melawan penindasan Israel dengan menjadi pasukan garda belakang, sebagai pengumpul batu. Kini Haji Ahmadun kembali, mengunjungi Jatayu yang sedang tidur siang di dalam sarangnya di atas pohon beringin.

            “Sampurasun!” Haji Ahmadun mengucap salam.

            Jatayu menguap menggeliat dari tidur siangnya. Matanya perlahan menyingkirkan berat kantuk yang menggelayutinya. Jatayu kaget ketika melihat Haji Ahmadun berada di hadapannya dengan bersarung berbaju koko berkopiah hitam bertasbih kayu kelapa. Jatayu tak menyangka Haji Ahmadun akan kembali menemuinya. Sebab biasanya, orang-orang yang ingin bertemu dengan Jibril akan mati ketika ikut serta dalam perjuangan bersama ribuan rakyat di Palestina. Tapi Haji Ahmadun terlihat telah begitu tak sabar menunggu, dan Jatayu pun bangkit sembari melebarkan sayapnya seraya menjawab, “Rampes!”

            “Ternyata Haji kembali,” ujar Jatayu memulai.

            “Tentu. Sekarang apa?”

            “Haji tampak tak sabar.”

            “Sebab waktu semakin menipis.”

            “Marilah Haji, naik ke punggungku!”

            Haji Ahmadun menaikinya perlahan, dan Jatayu melesat terbang ke arah barat dengan kecepatan cahaya. Tak perlu waktu lama, dan keduanya telah sampai di hadapan sebuah pohon beringin yang gagah di samping sungai dengan air jernih dan gemercik merdunya. Haji Ahmadun tampak seperti hendak membuka mulutnya buat bertanya, tapi Jatayu memberi isyarat kepadanya untuk bersabar. Haji Ahmadun pun diam, dan lekat memandang Jatayu yang kemudian mulai merapal mantra yang terdengar seperti selawat. Tapi ia tak berani menyela untuk bertanya. Haji Ahmadun melompat kecil ke belakang ketika matanya mendapati pohon beringin di hadapannya itu menggeliat, dan lalu berputar untuk beberapa lama. Setelah itu, terlihat sebuah lubang seukuran pintu terbuka. Cahaya merambat keluar dari lubang tersebut.

            “Ini gerbangnya, dan Haji sudah tahu apa yang harus dilakukan.” ujar Jatayu.

            “Yaa jabbarut petak gelap saketing,” ucap Haji Ahmadun sembari melangkah perlahan menuju cahaya.

            Jatayu tersenyum mengangguk, melihat tubuh Haji Ahmadun mulai menyatu dengan cahaya dari dalam pohon beringin. Perlahan-lahan pohon beringin tersebut kembali menggeliat, berputar, dan lubang di tubuhnya pun tertutup. Pohon beringin itu kembali tertidur.

 

NORMALNYA, untuk mencapai pos sabana awan, setidaknya diperlukan waktu seratus hari mendaki udara. Maka atur dengan baik tenagamu, Ajengan Dudukuy sekali waktu berpesan. Haji Ahmadun mengingat pesan gurunya tersebut, dan lantas mulai mendaki udara secara perlahan. Dalam mendaki udara, Haji Ahmadun haruslah memiliki kejelian seorang mahir. Sebab jika tidak, bisa saja dirinya terpeleset dan jatuh ke dalam awan. Atau kalau tak terpeleset, bisa saja Haji Ahmadun tersandung kakinya atau menginjak duri-duri beracun yang tak kasat mata. Atau kalau tak begitu, bisa saja Haji Ahmadun dihantam angin yang sering datang tiba-tiba, atau disengat matahari, atau dipatuk cahaya rembulan yang dapat membekukan pembuluh darah. Meski Haji Ahmadun telah menguasai ilmu cuaca dan telah mahir membaca arah angin serta tanda-tanda, tapi dirinya haruslah tetap waspada. Sebab tak jarang, di malam hari bintang-bintang dapat berubah menjadi liar, dan kalau sudah begitu, dirinya bisa saja menjadi santapan mereka.

Dalam waktu sembilan puluh enam hari, Haji Ahmadun telah sampai di pos sabana awan.

            Haji Ahmadun rada terkejut ketika sampai di pos sabana awan. Pikirnya hanya dirinya saja yang mencoba untuk bertemu dengan Jibril, tapi ternyata tidak. Ketika ia sampai, pos sabana awan telah ramai oleh orang-orang yang juga hendak bertemu Jibril. Haji Ahmadun lalu memilih duduk dan berteduh di bawah pohon ketapang. Seorang di sampingnya bertanya:

            “Baru pertama kali, kang?”

            “Benar, kalau akang?”

            “Ini kali kedua. Yang pertama gagal di pos lintas matahari; kepanasan.”

            “Akang tak berhasil menjinakkan awan?”

            “Begitulah,” timpal orang di sampingnya lirih.

            Haji Ahmadun mengangguk. Membuka buntalannya, mengeluarkan perbekalan untuknya makan siang. Setelah makan siang, rencananya Haji Ahmadun akan tidur siang barang sejam atau dua jam. Sebelum kemudian kembali bersiap mendaki untuk menuju pos lintas matahari sehabis magrib. Untuk mencapai pos lintas matahari, Haji Ahmadun mesti mendaki layung membara tanpa alas kaki, dan pendakiannya itu akan memakan waktu seratus hari pula.

Seratus hari mendaki layung membara, dan kini Haji Ahmadun telah sampai di pos lintas matahari. Haji Ahmadun tiba di pos lintas matahari sebelum fajar menyingsing, sesuai dengan perhitungannya. Sebabnya, Haji Ahmadun hanya bisa menjinakkan awan-awan liar di waktu antara setelah subuh dan sebelum zuhur. Jika sebelum zuhur ia belum berhasil menjinakkan awan, dan siang kemudian telah matang dengan sempurna, maka dipastikan dirinya akan menderita dehidrasi parah. Kalau sudah begitu, mau tak mau Haji Ahmadun harus kembali ke titik nol; yang berarti ia harus belajar kembali bersuci, bersabar, dan menguasai ilmu meniti hampa, serta kembali harus mendirikan salat seribu rakaat serta membaca selawat sepuluh ribu kali di masing-masing Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Setelah subuh datang, maka Haji Ahmadun bergegas mencari alat musik yang akan dimainkannya.

            Haji Ahmadun lantas mengambil gitar, dan memainkan tiga lagu Iwan Fals sebagai pembuka; yakni Ambulance Zig-Zag, Bunga-Bunga Kumbang-Kumbang, dan Hio. Tapi awan-awan liar yang sedang merumput tampak tak tertarik. Ia lalu memainkan tiga lagu dari Dewa 19; Kirana, Persembahan dari Surga, dan Mistikus Cinta. Tapi lagi-lagi, awan-awan liar tampak tak tertarik. Selanjutnya, Haji Ahmadun kemudian memberondong awan-awan liar dengan lagu-lagu: Queen-Don’t Stop Me Now, Led Zeppelin-Dream On, The Who-The Seeker, Bob Marley-I Shot The Sheriff, The Strokes-Reptilia, Coldplay-Shiver, Rage Against The Machine-Guerilla Radio, Eric Clapton-Tears in Heaven, Arctic Monkeys-Tranquility Base Hotel & Casino, John Mayer-Something Like Olivia, The Beatles-Michelle, Metallica-The Day That Never Comes, Radiohead-High & Dry, Nirvana-Where Did You Sleep Last Night, Sigur Ros-Olsen Olsen, Of Monsters and Men-Love Love Love, Cake-I Will Survive, James Blunt-You’re Beautiful, dan Guns N’ Roses-Estranged. Awan-awan liar tak bereaksi.

            Haji Ahmadun kemudian menuju piano, dan memainkan lagu-lagu dari mulai Louis Armstrong, Bix Beiderbecke, hingga Norah Jones. Awan-awan liar tak peduli. Haji Ahmadun mengambil harmonika, dan memainkan lagu-lagu dari mulai Robert Johnson, BB King, hingga Ray Charles. Awan-awan liar tak peduli. Haji Ahmadun menggesek biola, memainkan lagu-lagu Wolfgang Amadeus Mozart, Ludwig Van Beethoven, hingga Johann Sebastian Bach. Awan-awan liar tak peduli. Haji Ahmadun memetik harpa, meniup seruling, menggesek tarawangsa, meniup didgeridoo, menepak kendang, dan memukul karinding, tapi awan-awan liar tak peduli. Dua jam lagi menuju zuhur, tapi Haji Ahmadun masih belum berhasil menjinakkan awan-awan liar yang sedang merumput. Haji Ahmadun menjatuhkan diri, mencoba melepas lelah barang sejenak dengan duduk dan menyender pada pohon kelapa. Sembari istirahat, Haji Ahmadun memikirkan dengan lagu apa dirinya bisa menjinakkan awan-awan liar yang sedang merumput tersebut. Perlahan dari selatan, angin sepoi-sepoi naik merayapi tubuhnya. Haji Ahmadun menguap dalam, dan seperti kena sirep, seketika dirinya langsung tertidur.

            Rasanya belum sampai sepuluh menit tertidur, dan Haji Ahmadun terperanjat terbangun. Sebabnya, sebuah kelapa kering jatuh beberapa jengkal saja dari tubuhnya. Haji Ahmadun mengembuskan nafas panjang membuang lega. Ia bangkit, berjalan mendekati sekumpulan alat-alat musik untuk melanjutkan upayanya dalam menjinakkan awan-awan liar yang sedang merumput. Ada satu hal yang belum dilakukannya, pikir Haji Ahmadun. Ia lantas mengambil kecapi, memetiknya di bawah pohon ketapang rindang, menyenandungkan tembang Cianjuran. Tembang yang disenandungkannya itu berjudul Mupu Kembang, sebuah tembang kesukaan istrinya tercinta, Bu Haji Weny. Tak ayal, Haji Ahmadun memetik kecapi dengan begitu khusyuk dan penuh kerinduan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya seolah-olah menerbangkan seluruh kerinduannya kepada Bu Haji Weny. Haji Ahmadun melebur bersama angin, sayup-sayup, naik-turun, menari-nari dalam riuhnya semesta. Air merembes dari sela-sela kedua matanya. Kerinduan Haji Ahmadun luruh mewujud tangisan. Ketika dirinya selesai menembang dan membuka matanya, di hadapannya tampak sebuah awan.

            “Aku siap mengantar Haji ke pos gemerlap cahaya,” ucap awan tersebut.

            Haji Ahmadun mengangguk, “Kamu tak seperti awan-awan liar lainnya.”

            “Aku pemimpin kawanan awan-awan di sini.”

            “Siapa namamu?”

            “Mega Mendung.”

            “Ah begitu, pantas saja.”

            “Mari, naiklah Haji!”

            “Secepat apa kamu bisa mengantarku?”

            “Naiklah dulu, dan Haji akan mengetahuinya.”

            Haji Ahmadun perlahan menaiki Mega Mendung, duduk bersila. Belum sempat ia mengedipkan mata, dan dirinya telah sampai di pos gemerlap cahaya. “Masyaallah,” puji Haji Ahmadun. Mega Mendung hanya tersenyum ringan, dan pamit undur diri seraya berucap, “Titip salam buat Jibril.” Haji Ahmadun mengangguk.

            Di pos gemerlap cahaya, Haji Ahmadun pun tak bisa berlama-lama. Jika dirinya belum berangkat dari sana sampai setelah magrib, maka dirinya akan terserang hipoternia. Ada dua hal yang harus dilakukan Haji Ahmadun. Pertama, ia harus membaca selawat kamilah sebanyak satu juta kali sebelum asar untuk mengundang selembar daun yang nantinya akan mengantarkannya ke lapisan langit kesatu. Kedua, ia harus merajut baju hangat dari pecahan cahaya rembulan, dari kerlap-kerlip cahaya bintang, dari warna-warni cahaya pelangi, dan dari cahaya layung yang membara, untuk menjaga suhu tubuhnya agar tetap seimbang. Asar belum datang, tapi Haji Ahmadun telah menyelesaikan membaca selawat kamilah sebanyak satu juta kali. Haji Ahmadun lantas bergegas mengumpulkan pecahan-pecahan rembulan, memunguti kerlap-kerlip cahaya bintang, mengurai warna-warni cahaya pelangi, dan menjaring cahaya layung yang membara.

Haji Ahmadun menyelesaikan merajut baju hangatnya ketika malam kemudian menjemput sore.

            Sebelum berangkat ke lapisan langit kesatu, Haji Ahmadun terlebih dahulu mendirikan salat di atas cincin saturnus. Selesai salat, dan dirinya langsung terbang di atas selembar daun menuju langit kesatu.

 

LAPISAN LANGIT KESATU.

Di lapisan langit kesatu, rombongan Ramayana telah menanti. Semuanya ada di sana. Terlihat ada Sri Rama dan Dewi Sinta, Raja dan Ratu Ayodya. Laksmana, kesatria perkasa Ayodya yang juga adalah adik dari Sri Rama pun ada. Terdapat juga Raja Wibisana, adik Rahwana, sang raja Alengka pengganti saudaranya. Raja Sugriwa penguasa Gua Kiskenda, beserta para panglimanya yang buas; Hamongga Si Kepala Macan, Kapisraba Si Kepala Buaya, Cucakrawa Si Kepala Burung, Harimenda Si Kepala Kambing, Hanila Si Wanara Ungu, dan Hanggada Si Wanara Kelabu. Di antara mereka, ada juga Sang Hanuman, pertapa dari Gunung Kendalisada, sang wanara agung yang memiliki tugas menjaga kebudayaan. Bahkan Rahwana sang pembangun negeri Alengka yang sakti mandraguna yang menguasai ilmu manusia, ilmu siluman, dan ilmu dewa-dewa juga tampak sedang duduk di salah satu kursi, sedang menenggak berkendi-kendi arak sembari cekakakan menonton siaran sepak bola. Tak ketinggalan, Walmiki, penulis Ramayana pun hadir.

            Di langit kesatu, Haji Ahmadun harus menjawab tiga pertanyaan dari tiga tokoh Ramayana. Jika dirinya berhasil menjawab, dan jawabannya memuaskan para penanya, maka dirinya baru boleh mendaki menuju langit kedua. Tanpa membuang waktu, Sri Rama, Raja Ayodya, maju untuk melemparkan pertanyaan pertama.

            “Negeri-negeri mana saja yang berhasil dibumihanguskan balatentara Ayodya dalam peristiwa Persembahan Kuda, Haji?”

            Haji Ahmadun tampak berpikir. Kemudian menjawab:

            “Matsya, Kasi, Magada, Angga, Campa, Mantura, Bangga, Malini, Kalingga, Widarba, Gandawana, Mahismali, Mahismati, Bojakata, Dasarna, Windya, Salwa, Pratici ...” ingatan Haji Ahmadun mendadak redup, ia lanjut berkata, “Saya hanya ingat segitu, Sri Rama.”

            “Segitu pun lumayan. Bagus, Haji.” Sri Rama kembali duduk di singgasana kehormatan.

            Walmiki, penulis Ramayana bangkit dari duduknya. Ia berjalan pelan menembusi kerumunan, menuju Haji Ahmadun, hendak melemparkan pertanyaan kedua. Tapi sebelum Walmiki membuka mulut, dari belakang tiba-tiba saja Rahwana meloncati kerumunan tersebut. Tubuhnya yang raksasa membikin alam semesta gonjang-ganjing menahan getaran. “Biar aku! Biar aku yang bertanya!” ucapnya keras sembari menyemburkan tawa tak karuan. Mulutnya yang menyebarkan bau arak dan asap rokok itu berkata begini:

            “Di Alengka, aku membangun sebuah taman indah. Taman apa namanya itu, Haji? Huahahahahaha.”

            “Taman Argasoka.”

            “Rahwana goblok!” maki Raja Wibisana. “Ngasih pertanyaan enteng begitu!”

            “Heh, kok?” Rahwana keheranan mendapati Haji Ahmadun bisa menjawab pertanyaannya semudah itu. Ia tak terima, dan bertanya lagi dengan mangkel:

            “Siapa saja perempuan yang pernah jatuh ke pangkuanku?”

            “Bidadari swargaloka Banondari, atau dikenal juga sebagai Dewi Tari. Kemudian Ratu Siluman Krendawati, Ratu Buaya Banggawati, Ratu Kepiting Rekatayaksi, Ratu Siluman (lain) Kutawati, dan seorang anak pendeta, yakni Dewi Kresnasih.”

            “Bajingan!” Rahwana membanting arak di cawan peraknya.

            “Rahwana goblok!”

            “Rahwana goblok!”

            “Rahwana goblok!”

            Hadirin pada menertawakan Rahwana. Ia tak terima, dan kembali bertanya:

            “Ini yang terakhir, bajingan!” desis Rahwana. “Siapa ibu dari anak kembarku, Sondara-Sondari?”

            “Dewi Kresnasih.”

            Rahwana menepuk jidat. Kembali meloncat ke belakang, melanjutkan minum arak dan menonton bola.

            “Hua! Hua! Hua!” hadirin menyoraki menertawakan Rahwana.

            Seketika keadaan menjadi tenang kembali, ketika para hadirin menyaksikan Hanuman, pertapa dari Gunung Kendalisada, sang wanara agung penjaga kebudayaan yang perlahan maju dengan tenang. Sang Hanuman melangkah dengan penuh wibawa dan karisma. Haji Ahmadun saja dibuat gemetar, demi mendapati kenyataan bahwa kini ia harus menghadapi Hanuman sang wanara agung. Berbeda dari yang lain, sebelum melemparkan pertanyaan Hanuman berkata begini:

“Haji bisa memilih untuk ditanya mengenai apa; ekonomi, politik, sejarah, kebudayaan, fisika, matematika, kimia, agama, antropologi, psikoanalisis, dan atau selebihnya Haji bisa sebutkan sendiri.”

“Agama,” jawab Haji Ahmadun percaya diri.

“Agama yang mana? Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, Kejawen, Sunda Wiwitan, atau apa?”

“Islam saja.”

“Haji ingin ditanya perkara apa; tauhid, aqidah, perbedaan mazhab, politik, sejarah, fiqih, tasawuf, ilmu falaq, ilmu hadits, al-qur’an, atau tentang kehidupan Kanjeng Nabi Muhammad?”

“Sejarah.”

“Baiklah,” Hanuman menghela nafas. “Ini pilihan Haji sendiri.” Hanuman kemudian bertanya, “Dalam kisah tujuh pemuda beriman yang bersembunyi di sebuah gua demi melindungi diri dari kejaran penguasa zalim, ada seekor anjing yang ikut bersama para pemuda tersebut. Anjing beriman itu, siapa namanya, Haji?”

Keringat dingin keluar dari tubuh Haji Ahmadun. Ia tampak panik sebab kebingungan tak tahu harus menjawab apa. Haji Ahmadun tak menyangka Hanuman akan bertanya begitu. Ia tak siap. Ia kelimpungan. Ia tak tahu harus menjawab apa. Keringat semakin deras mengucur dari keningnya, dari ketiaknya, dari perutnya, dari selangkangannya. Haji Ahmadun mencoba membuka mulut, tapi mulutnya terasa lengket serta berat untuk dibuka. Haji Ahmadun semakin gemetar dibuatnya. Bayangan kegagalan tampak jelas dalam benaknya.

“Qithmir,” ucap Hanuman.

Wajah Haji Ahmadun memerah akibat tak kuasa menahan malu sebab tak dapat menjawab. Hanuman mafhum keadaan Haji Ahmadun. Maka ia berkata begini, “Kuberi Haji satu kesempatan lagi: silakan Haji pilih ingin ditanya perkara apa.”

Haji Ahmadun tampak berpikir. Ia berpikir, berpikir, dan berpikir. Ia pun menjawab ingin ditanya mengenai Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

“Baiklah,” kata Hanuman seraya tersenyum. “Di tahun keenam hijrah, sebagai balasan atas surat dari Nabi Muhammad yang disampaikan oleh Hathib bin Abi Balta’ah, Cyrus, atau juga dikenal oleh masyarakat Arab sebagai Al-Muqauqis, Koptik Agung Mesir di Alexandria, mempersembahkan kepada Nabi sekian hadiah, yang di antaranya terdapat dua orang gadis Mesir bersaudara. Ketika utusan Nabi kembali ke Madinah, Nabi memberikan satu gadis tersebut yang bernama Sirin kepada penyair kenamaan Hassan bin Tsabit. Satu lagi diambil Nabi sebagai hamba sahayanya, dan darinya Nabi dikaruniai seorang putra yang diberi nama Ibrahim yang kemudian meninggal sebelum umurnya mencapai dua tahun. Siapakah nama gadis Mesir yang diambil Nabi sebagai hamba sahaya, saudara kandung dari Sirin yang diberikan kepada Hassan bin Tsabit, ibu yang melahirkan putra Nabi bernama Ibrahim tersebut?”

“Ia istri Nabi?” tanya Haji Ahmadun tak mengerti.

“Tidak termasuk. Dengarkan dengan seksama, Haji! Gadis tersebut adalah hamba sahaya yang dihadiahkan Koptik Agung Mesir di Alexandria.”

“Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Nabi memiliki anak dari perempuan yang bukan istrinya? Kamu jangan ngaco begitu, Hanuman!” protes Haji Ahmadun.

Hanuman tersenyum, menjawab tenang. “Apa Haji tak mengetahuinya? Pada masa awal Islam, Allah membolehkan seseorang memiliki hamba sahaya, baik lelaki maupun perempuan. Dan perempuan yang dimiliki itu boleh digauli oleh tuannya.”

Haji Ahmadun terkejut sekaligus malu. Wajahnya kembali mendadak pucat akibat tak kuasa menanggung malu sebab penjelasan Hanuman tersebut. Keringat semakin mengucur deras dari seluruh bagian tubuhnya. Haji Ahmadun kelimpungan. Kepalanya pening. Pikirannya kusut. Perutnya merasakan mual. Kakinya mulai goyah. Tubuhnya terasa berat. Matanya agak menjadi kabur.

“Jadi siapakah gadis Mesir saudara Sirin yang diambil Nabi sebagai hamba sahaya dan yang darinya Nabi memiliki seorang putra yang diberi nama Ibrahim itu, Haji?” tanya Hanuman sekali lagi.

Haji Ahmadun disergap gemetar hebat.

“Bukankah Jatayu telah mengingatkan supaya Haji kudu banyak-banyak membaca?” goda Hanuman.

Haji Ahmadun nyaris kehilangan kesadarannya ketika Hanuman berkata begitu. Tapi ia terus mencoba berdiri. Terus mencoba menahan tubuhnya sekuat tenaga agar tidak semaput.

“Dasar Haji goblok!” dari belakang Rahwana memaki sembari cekakakan.

Haji Ahmadun sempoyongan, lantas tubuhnya ambruk dalam keadaan lemas dan gemetar. Tapi bagaimanapun, Haji Ahmadun tak kehilangan kesadaran. Matanya hanya terasa berkunang-kunang. Tubuhnya kini telah basah kuyup. Nafasnya tersengal. Salah satu panglima dari Gua Kiskenda, yakni Hanggada tampak hendak meloncat menolong. Tapi Hanuman segera memberi isyarat tangan, agar Hanggada membiarkannya dan biar ia yang mengurusnya. Melihat Haji Ahmadun terkapar begitu, Hanuman yang menguasai ilmu manusia, ilmu siluman, dan ilmu dewa-dewa menjentikan jarinya. Seketika, Haji Ahmadun merasa tenaga kembali menyergapnya. Tubuhnya mendadak segar kembali. Ia bangkit, menghadap Hanuman kembali.

“Meskipun aku beragama Islam, dan Nabi Muhammad adalah nabiku, tapi jujur, aku memang tak bisa menjawab pertanyaanmu itu, wahai Hanuman sang wanara agung.” Haji Ahmadun memulai perkataannya dengan ajrih. Ia meneruskan, “Kukira, sampai di sinilah perjalananku.”

Mendengar Haji Ahmadun berkata begitu, Hanuman menjawab seraya tertawa, “Aku tadi hanya bercanda, Haji. Jangan diambil serius!” Seisi langit kesatu pun tertawa terbahak, menertawakan Haji Ahmadun yang kemudian tampak kikuk kebingungan. Sejenak, tawa menguasai langit kesatu, sebelum kemudian Hanuman memberi isyarat agar hadirin hening.

“Aku juga bercanda, Haji! Huahahahahaha.” teriak Rahwana dari belakang.

Hanuman lalu menjelaskan: “Begini, Haji. Ujian di langit kesatu sebenarnya tidak mewajibkan Haji untuk menjawab seluruh pertanyaan. Barangkalli Haji memang bisa menjawab pertanyaan dari Sri Rama dan Rahwana, tapi bagaimanapun kerasnya Haji berusaha, Haji tak akan pernah bisa menjawab pertanyaan dariku. Sebab, aku hanya akan memberi pertanyaan yang hanya aku sendiri yang bisa menjawabnya. Itu bukan berarti aku mengetahuinya segalanya, tapi, aku bisa mengetahui apa yang Haji tidak ketahui.” Haji Ahmadun mengangguk, wajahnya tak sepucat tadi. Hanuman meneruskan, “Ujian sebenarnya, apakah Haji bisa bertahan untuk tidak semaput atau tidak setelah mendapat pertanyaan dariku. Sesederhana itu.”

Haji Ahmadun menunduk, kentara dirinya masih tak dapat mengenyahkan perasaan malu dari wajahnya.

“Haji lulus, dan silakan Haji melanjutkan pendakian menuju lapisan langit kedua.”

Haji Ahmadun bersiap untuk mendaki, tapi sebelum melangkah, ia masih penasaran akan satu hal, “Siapakah nama gadis Mesir hamba sahaya Kanjeng Nabi itu, wahai Hanuman sang wanara agung penjaga kebudayaan?”

“Haji baca itu buku Quraish Shihab, judulnya Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw. Jawabannya ada di situ.”

Haji Ahmadun mengangguk, dan lantas meneruskan mendaki menuju lapisan langit kedua.

LAPISAN LANGIT KEDUA.

Di lapisan langit kedua, para musisi legendaris dari segala aliran telah menanti. Berbeda dari lapisan langit kesatu, di lapisan langit kedua Haji Ahmadun tak perlu menjawab tiga pertanyaan, tapi hanya satu. Di antara banyaknya musisi legendaris, di antaranya terdapat Kurt Cobain pentolan Nirvana. Terdapat juga Farroukh Bulsara alias Freddie Mercury. Ada juga John Lennon, Chester Bennington, Chrisye, Bob Marley, Michael Jackson, BB King, dan yang lain-lain yang tak dapat dikenali satu per satu oleh Haji Ahmadun.

            Haji Ahmadun mendapati betapa di lapisan langit kedua ini, orang-orang pada begitu santai. Suasananya pun tak semencekam seperti di lapisan langit kesatu. Ia melihat Bob Marley dan Kurt Cobain sedang tertawa-tawa sembari mengganja di sebuah bangku di kebun ganja. Freddie Mercury terlihat sedang bermain-main dengan kucing kesayangannya. Sementara John Lennon, Chrisye, dan BB King tampak sedang terlibat dalam sebuah perdebatan seru. Sedangkan Chester Bennington dan Michael Jackson tampak mengobrol santai, sembari menonton acara khitanan yang dimeriahkan oleh grup dangdut koplo. Sisanya, orang-orang yang tak dapat dikenali Haji Ahmadun, punya urusannya sendiri-sendiri. Dari mulai membaca buku, memasak, main tenis meja, main kartu, berlatih gitar, menyanyi dan sebagainya.

Melihat tak seorang pun menyadari kehadirannya, Haji Ahmadun mengucap salam, “Sampurasun!”

Dengan seketika secara serentak, orang-orang yang tadinya sibuk dengan urusannya masing-masing menoleh memandanginya dan menghentikan apa yang sedang mereka perbuat atau kerjakan. “Rampes!” Serempak yang disalami menjawab salam.

“Kaukah orangnya, kawan? Yang lulus dari rombongan Ramayana?” tanya Bob Marley dengan aksen Jamaikanya yang kental.

            “Begitulah,” jawab Haji Ahmadun takzim.

            “Mari kemari, kawan! Mengganjalah bersamaku.”

            “Bob!” John Lennon mengingatkan.

            “Ah ya, ya. Aku mengerti,” angguk Bob kepada John, dan ia memberi isyarat tangan kepada Haji Ahmadun, “Silakan kawan lanjutkan!”

            John Lennon maju ke muka, memangku tugas sebagai perwakilan dan pelempar pertanyaan. Kegugupan merambati Haji Ahmadun. Wibawa dan karisma John Lennon sama berbobotnya dengan wibawa dan karisma sang wanara agung Hanuman.

“Haji siap?” tanya John.

Haji Ahmadun mengangguk.

            “Apa artinya itu desa, Haji?”

            Haji Ahmadun mengagetkan hadirin. Alih-alih menjawab pertanyaan dari John Lennon, ia malah meminta izin kepada John Lennon untuk meminjam gitar yang ada di pojokan. John Lennon mengangguk, dan Kurt Cobain menyerahkan gitar tersebut. Tanpa basa-basi, setelah menyetel senar-senar yang sedikit fals, ia langsung mengocok dan memainkan intro lagu yang akan dinyanyikannya dengan lincah. Haji Ahmadun lantas berteriak lantang menyanyikan Desa dari Iwan Fals. Permainan gitar Haji Ahmadun memukai hadirin. Terutama BB King, yang tampak puas menyaksikan kelincahan jari-jari Haji Ahmadun. Bob dan Kurt yang sedang mengganja tampak berdiri dan berjingkrak, meloncat sana sini sembari bergandengan tangan mengikuti irama. Chrisye tersenyum bangga. Michael Jackson menarikan moonwalk. Chester Bennington ikut berteriak-teriak. Freddie Mercury mengisi suara kedua. John Lennon duduk tenang saja sembari merokok. Dan para hadirin, seperti pada umumnya penonton di sebuah konser musik, tenggelam dalam ekstase kebahagiaan.

            Hadirin pada bersorak kegirangan dan bertepuk tangan ketika Haji Ahmadun selesai bernyanyi. John Lennon menghampiri Haji Ahmadun, dan menepuk pundaknya, “Silakan Haji lanjut mendaki ke lapisan langit ketiga.”

 

LAPISAN LANGIT KETIGA.

Jika di lapisan langit kesatu dan kedua Haji Ahmadun diharuskan menjawab pertanyaan, lain halnya di lapisan langit ketiga. Di lapisan langit ketiga, Haji Ahmadun akan dites membaca Al-Qur’an sekaligus sejauh mana hafalannya. Orang yang bertanggung jawab yang sekaligus menjadi penguji dalam ujian ini adalah petinju legendaris pemegang sabuk juara kelas berat Muhammad Ali. Ketika Haji Ahmadun sampai di lapisan langit ketiga, ia mendapati Muhammad Ali sedang mengaji. Menyadari kehadiran seorang baru, Muhammad Ali lalu menyudahi mengaji, dan bergegas menyapa dan menyalami Haji Ahmadun. Tak seperti bayangan Haji Ahmadun, ternyata di lapisan langit ketiga tak ada orang lain kecuali Muhammad Ali.

            “Bagaimana pendakiannya, Haji? Menyenangkan?”

            “Sejauh ini lumayan,” sopan Haji Ahmadun membalas.

            “Mari, ke sebelah sini, Haji!”

            Muhammad Ali memimpin jalan menuju sebuah sungai yang di pinggirannya terdapat daun-daun lebar. “Aku akan mengetes bacaan dan hafalan Haji di sini,” Muhamad Ali menunjuk ke sebuah daun tempat embun bersemayam, “dan kita akan duduk di sana, di atas daun beralas embun.”

            Tempat ini tampak lembab, tapi meski begitu hawanya sejuk. Pemandangannya juga indah, sebab di sana-sini terdapat pohon-pohon raksasa berlumut dengan akar-akar besar menjuntai. Sungai begitu jernih, dan gemerciknya begitu merdu. Rumput begitu hijau dan tampak terurus. Pada arah utara, Haji Ahmadun bisa menyaksikan perbukitan dan gunung-gunung yang megah. Di bawahnya sawah-sawah terhampar luas. Di cakrawala burung-burung anggun beterbangan sembari sahut-sahutan. Jangkrik, katak, dan tonggeret seolah-olah sedang menyanyikan suatu lagu yang terdengar begitu damai. Kupu-kupu saling beradu kasih, meluruh kerinduan. Di arah timur, padang sabana luas terhampar seluas langit. Kuda-kuda bermain-main saling adu kecepatan dan ketangkasan. Sapi, kambing, banteng, kelinci, dan ular tampak sedang merumput bersama dalam siraman cahaya layung yang hangat. Dari arah selatan, Haji Ahmadun bisa memandangi luas dan birunya samudera dengan gemuruh ombaknya yang memikat. Dan ketika melirik ke arah barat, Haji Ahmadun dapat melihat para bidadari sedang bermain biola dengan riangnya.

            “Siap, Haji?”

            Pertanyaan Muhammad Ali mengagetkan Haji Ahmadun. Ia lantas buru-buru mengangguk, menyusul Muhammad Ali yang telah terlebih dahulu duduk di atas daun beralaskan embun. Keduanya berhadap-hadapan, dan sama-sama bersila.

            “Silakan Haji mulai membaca Al-Quran.” ujar Muhammad Ali.

            Haji Ahmadun tampak kikuk, sebab di hadapannya tak ada satu pun mushaf Al-Qur’an.

            “Al-Qur’annya?” tanya Haji Ahmadun.

            Muhammad Ali tersenyum, dan lantas memberi penjelasan.

            “Tak sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan umum, di sini Haji harus membaca Al-Qur’an yang ayat-ayatnya terdapat pada pohon-pohon, pada akar-akar yang menjuntai, pada jernih air sungai dan gemerciknya; pada hijaunya rumput, pada perbukitan dan gunung-gunung, pada hamparan sawah, pada kicau burung; pada derik jangkrik dan tonggeret; pada indahnya sayap kupu-kupu, pada kuda-kuda yang tangkas dan tangguh, pada perut sapi dan kambing; pada tanduk banteng dan bulu kelinci, serta pada sisik ular. Haji pun harus membacanya pada luas dan birunya samudera, dan pada gugur gulungan ombak. Terakhir, Haji juga harus membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam melodi-melodi indah yang diterbangkan oleh permainan biola para bidadari.”

            Haji Ahmadun menarik nafas panjang.

            “Jika Haji bisa membaca ayat-ayat Al-Qur’an di dalam semua yang kusebut tadi, barulah aku akan menguji hafalan Haji.”

            “Bagaimana caranya aku bisa membaca ayat-ayat tersebut?”

            “Haji hanya perlu menggunakan kacamata yang tepat,” tegas Muhammad Ali.

            Begitulah kemudian Haji Ahmadun memejamkan mata. Menarik nafas panjang. Mengosongkan pikiran. Dan berusaha meleburkan diri dengan alam. Sejam kemudian, ketika membuka matanya, Haji Ahmadun akhirnya dapat memahami perkataan Muhammad Ali.

Haji Ahmadun lantas mulai membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang terdapat pada pohon-pohon, pada akar-akar yang menjuntai, pada jernih air sungai dan gemerciknya, pada hijaunya rumput, pada perbukitan dan gunung-gunung, pada hamparan sawah, pada kicau burung, pada derik jangkrik dan tonggeret, pada indahnya sayap kupu-kupu, pada kuda-kuda yang tangkas dan tangguh, pada perut sapi dan kambing; pada tanduk banteng dan bulu kelinci, pada sisik ular, pada luas dan birunya samudera, pada gugur gulungan ombak, dan dalam melodi-melodi indah yang diterbangkan oleh permainan biola para bidadari dengan lancar.

Muhmmad Ali tersenyum mengangguk, dan dengan isyarat mata tanpa berucap menyuruh Haji Ahmadun untuk langsung mengeluarkan hafalannya. Dalam waktu hanya tiga jam, Haji Ahmadun membacakan 30 juz Al-Qur’an dengan seksama.

Setelah bermusyawarah dengan pohon-pohon raksasa, akar-akar, sungai, rerumputan, dedaunan, perbukitan, gunung-gunung, sawah, burung-burung, jangkrik, tonggeret, katak, kupu-kupu, kuda-kuda, sapi, kambing, banteng, kelinci, ular, samudera, gulungan ombak, dan dengan para bidadari serta biolanya, Muhammad Ali memutuskan bahwa Haji Ahmadun lulus, dan bisa melanjutkan pendakian menuju lapisan langit keempat.

 

LAPISAN LANGIT KEEMPAT.

Setelah mendaki udara  melalui jalur kesunyian semesta selama dua kali gerhana matahari dan dua kali gerhana bulan dalam terpaan hujan hampa, akhirnya Haji Ahmadun sampai juga di lapisan langit keempat. Inilah lapisan langit keempat, lapisan langit terakhir sebelum nantinya Haji Ahmadun dapat bertemu dengan Jibril di lapisan langit kelima.

            Haji Ahmadun terperangah ketika memasuki lapisan langit keempat. Begitu banyak orang di lapisan langit keempat. Bukan sembarang orang, sebab orang-orang yang dilihat oleh Haji Ahmadun adalah orang-orang beken dari seluruh kalangan. Terlihat ada Bung Karno, Fidel Castro, Adolf Hitler, Joseph Stalin, Mahatma Gandhi, dan Karl Marx sedang mengobrol di sebuah meja bundar. Di meja bundar lain, juga sedang mengobrol, terdapat Tan Malaka, Semaun, DN Aidit, Letkol Untung, Che Guevara, dan Kamerad Kliwon. Di meja bundar lainnya lagi, terdapat Pramoedya Ananta Toer, Ajip Rosidi, Chairil Anwar, Fyodor Dostoyevsky, Maxim Gorki, Anton Checkov, Utuy Tatang Sontani, dan Jalaludin Rumi. Terdapat entah berapa juta meja di lapisan langit keempat yang luas ini, dan pada masing-masing meja terdapat pula orang-orang beken dari seluruh dunia. Entah itu para pemikir, penulis, penyair, kyai, pencipta, penggerak, seniman, dan orang-orang beken dari seluruh cabang lainnya. Bahkan dua tokoh legendaris dari dunia shinobi pendiri negeri Konohagakure, yakni Hashirama Senju dan Madara Uchiha, tampak juga sedang minum sake sembari berjudi.

            Dua orang yang terakhir disebut, maju ke muka sebagai perwakilan. Keduanya maju setelah Haji Ahmadun mengucap salam.

            “Untuk bisa mendaki menuju lapisan langit kelima, kau harus memilih: mau bertarung melawanku atau dia?” ucap Madara tanpa basa-basi sambil menunjuk Hashirama. Yang ditunjuk hanya nyengir.

            Haji Ahmadun berpikir. Hashirama, adalah satu-satunya shinobi pencipta dan penguasa jutsu mokuton, tentu bukanlah lawan enteng. Sebaliknya, Madara, yang terkenal karena genjutsu matanya yang mematikan, juga tak bisa disebut sebagai lawan mudah. “Bagaimana ini?” batin Haji Ahmadun. Jangankan mengalahkan mereka berdua, cara bertarung pun aku tak tahu. Sialan! Mengapa Jatayu sebelumnya tak memberitahuku supaya aku belajar ilmu bela diri. Haji Ahmadun tak punya harapan. Habis sudah. Ia tak mungkin mengalahkan salah satu dari dua legenda shinobi tersebut. Tapi untuk menyerah teramat sayang. Ia telah mendaki hingga sejauh ini, dan pendakiannya akan percuma saja jika ia tak mencoba. Tapi mencoba bagaimana? Cara bertarung pun ia tak tahu.

            Seakan bisa membaca bahasa tubuh Haji Ahmadun, dari belakang Bung Karno berteriak, “Usaha dulu, Bung!”

            Mendengar Bung Karno berteriak begitu, yang lain-lain ikut berteriak menyemangati.

            Haji Ahmadun rada lega perasaannya. Tapi ketika teriakan-terikan tersebut meredup, perasaannya kembali kalut. Ia bingung harus memilih melawan siapa. Dua-duanya jago, dua-duanya shinobi kawakan. Haji Ahmadun bimbang, perasaannya tak menentu. Jika memilih bertarung, ia tak akan menang. Jika memilih mundur, tapi tanggung sudah sejauh ini. Tapi Haji Ahmadun merasa ngeri demi membayangkan harus bertarung melawan entah itu Hashirama atau Madara. Tapi kalau tak bertarung, sayang, sudah sejauh ini.

            “Jangan banyak berpikir. Terjang saja anak muda!” Aidit berteriak.

            “Kuatkan tekad!” ini kata Tan Malaka.

            “Yang terpenting adalah usaha.” ini kata seorang kyai.

            “Maju! Maju!” ini Hitler.

            “Jibril telah menantimu!” kali ini Jalaludin Rumi.

            Untuk beberapa saat, teriakan-teriakan tersebut menyalakan semangat di dalam diri Haji Ahmadun. Tapi demi melihat tatapan Madara Uchiha yang bengis, semangat tersebut seketika padam. Haji Ahmadun tak berkutik. Ia mati kutu. Ia tak punya kesempatan menang, entah itu melawan Hashirama yang dari tadi hanya nyengir, ataupun Madara dengan mata mengerikannya itu. Tapi telah sejauh ini, Haji Ahmadun menguatkan dirinya. Akan percuma jika dirinya menyerah tanpa pernah mencoba. Barangkali aku akan dikalahkan mereka dalam pertarungan. Bukan, bukan. Barangkali aku akan dikalahkan mereka tanpa mereka bergerak sedikit pun. Bukan, bukan. Tanpa bertarung dan bergerak pun, mereka sudah menang, dan Haji Ahmadun telah kalah. Tapi telah sejauh ini, Haji Ahmadun kembali menguatkan dirinya. akan percuma jika dirinya menyerah tanpa pernah mencoba.

Tapi telah sejauh ini ...

Tapi telah sejauh ini ...

Tapi telah sejauh ini ...

Akan percuma jika menyerah tanpa mencoba ...

Akan percuma jika menyerah tanpa mencoba ...

Akan percuma jika menyerah tanpa mencoba ...

Apa pun hasilnya ...

Setidaknya aku ...

Bagaimanapun nantinya ...

Selebihnya aku ...

Aku ...

Haji Ahmadun akhirnya melangkah, menghampiri kedua legenda shinobi Hashirama dan Madara. Ia tentang kedua shinobi perkasa tersebut. Ia tatap lekat keduanya. Tangannya terangkat, jari telunjuknya merentang menunjuk Hashirama. Yang ditunjuk masih nyengir, tapi kali ini tampak dirinya seperti sedang menahan sesuatu. Tiba-tiba saja tawanya menghambur seperti banjir. Kedua tangannya memegangi perut, tanda tak kuasa menahan tawa. Matanya bercucuran, nafasnya tersengal akibat tak kuasa menahan geli. Tawa Hashirama ternyata membangkitkan tawa seisi lapisan langit keempat. Semua orang tertawa terbahak tanpa terkecuali. Madara yang tadinya tampak bengis pun, kini tertawa sembari menggaruk-garuk rambutnya yang gondrong. Madara yang tadinya tampak dingin mendadak berubah menjadi seorang konyol.

“Aku hanya bercanda, kawan,” ujar Madara sembari cekikikan. Sementara orang di sampingnya masih tertawa-tawa, bahkan kali ini sampai berguling-guling.

“Hashirama! Berhenti Hashirama!” tegur Madara.

Tapi yang ditegur masih berguling-guling memegangi perutnya.

Haji Ahmadun tampak kikuk.

“Hashirama!” kali ini Madara membentak. “Sudahlah, kasihan Haji yang satu ini,” ia menunjuk Haji Ahmadun.

Butuh waktu agak lama untuk Hashirama bisa mengendalikan diri. Dan setelah Hashirama berhasil meredam tawanya yang meledak-ledak itu, Madara lalu berkata, “Maafkan Haji, tadi kami hanya bercanda. Sebenarnya, Haji hanya perlu mengalahkan kami dalam permainan kartu.”

Walau Hashirama Senju dan Madara Uchiha adalah dua pemain kartu yang hebat, tapi keduanya tak bisa menandingi kedigdayaan permainan kartu Haji Ahmadun. Ia yang telah ditempa dengan sempurna seumur hidupnya di pos ronda, menang dua babak langsung. Permainan kartu Haji Ahmadun bukan tandingan bahkan seorang Hashirama Senju dan Madara Uchiha.

Haji Ahmadun dipersilakan melanjutkan mendaki. Perlahan sembari mendaki udara, mulutnya bergumam, “Tunggu aku, Jibril!”

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...