Menziarahi Rembulan

 


Rembulan terbaring di balik tanah ini. Tanpa doa-doa. Terjebak dalam keresek berlapis dua berwarna hitam; dikerubungi kegetiran, diselimuti kegelapan. Sebab keresek berbahan plastik sulit terurai, maka dua lapis keresek tersebut kulubangi terlebih dulu sebelum diuruk. Aku sadar, Rembulan mesti tak bakal terima dirinya diperlakukan seperti bangkai, tapi aku tak memiliki cara lain lagi. Aku tak punya pilihan.

Aku tak ingin orang-orang mengetahui bahwa keresek hitam yang kukubur itu berisi Rembulan. Kalau sampai orang-orang tahu, celakalah aku. Orang-orang akan mencaci dan mungkin mengutukku karena telah menguburkan Rembulan dengan cara paling serampangan dan primitif. Tapi seperti yang telah kubilang, aku tak memiliki pilihan lain selain menguburkannya dengan cara seperti yang telah kulakukan. Kenyataannya Rembulan memang membenci bagaimana caraku menguburkannya. Aku mengetahuinya, Rembulan kerap datang ke dalam mimpiku untuk memuntahkan amarahnya.

Hari itu, hari di mana aku menguburkan keresek berisi Rembulan, langit murka. Langit murka, menumpahkan kebenciannya padaku dengan menjelma hujan. Ia memang punya hak untuk berlaku demikian oleh karena, Rembulan telah kucuri darinya. Ibu mana yang tak akan murka jika anaknya dicuri orang?

Aku mencintainya, sungguh. Demi apa pun, sungguh aku mencintai Rembulan yang telah kukubur itu. Jangan salah sangka menilaiku. Aku mendamba kehadirannya di dunia. Aku ingin mengazaninya ketika tubuh mungilnya keluar dari rahim semesta. Aku ingin menyentuh kulitnya, aku ingin mencium keningnya, aku ingin meraba rambutnya yang mungkin keriting sepertiku. Aku ingin merawatnya, mengurusnya, melihatnya tumbuh menjadi seorang gadis Rembulan yang cantik. Aku ingin mendengarnya memanggilku “Papa,” aku ingin merasakan ia memelukku, menangis untukku, berharap padaku. Sungguh aku ingin. Demi apa pun, aku menginginkannya. Tapi apa lacur, seperti yang telah kukatakan sebelumnya, aku tak mempunyai pilihan lain selain menguburkannya dengan cara seperti itu. Sebab jika tidak, orang-orang akan memakiku, dan mungkin mengutukku.

Kini aku menyesali segalanya. Kerap aku bertanya pada nuraniku, kalau memang dahulu aku begitu mencintainya mengapa aku tak mencoba buat memertahankannya? Mengapa aku tak mencoba memertahankannya walau kutahu mungkin kelak orang-orang akan mencibirku dan mengutukku? Mengapa aku harus ambil peduli dengan omongan orang-orang? Mengapa aku sebegitu tak berdayanya dan takut akan kutukan orang-orang? Mengapa aku–jika memang aku mencintainya–tak menghalalkan segala cara saja untuk memertahankannya? Demi kehadirannya? Demi masa depannya? Demi kehidupannya? Mengapa aku begitu goblok dan membiarkan pendapat orang-orang mengambil alih akal sehatku? Mengapa aku tak berkorban demi dirinya? Aku mencintainya. Aku mencintainya, tapi tak melakukan apa pun demi dirinya dan malah memutuskan untuk menguburkannya dengan cara yang paling menjijikan.

Rembulan, maafkan aku. Maafkan aku yang pengecut ini. Datanglah lagi ke mimpiku. Datanglah selalu, biar rindu dapat dilebur. Datanglah kapanpun kamu mau. Datanglah. Aku akan bertanggung jawab. Aku tak lagi akan menghindar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...