Kuil Matahari

 


Maaf Sayang, sepertinya aku kehabisan tenaga buat mendirikan kuil yang kamu minta. Inginnya aku menyelesaikannya dalam tempo sesingkat-singkatnya, tapi apa daya, sekarang musim hujan. Matahari jarang keluar. Entah ia tertidur di cakrawala atau tengah berlibur ke bintang-bintang, aku tak tahu. Atau mungkin sedang menyamar menjadi rumput atau ombak, siapa tahu? Yang jelas ia tak pernah tampak, dan selalu menyembunyikan dirinya. Jadi, aku belum mampu membereskannya, membereskan kuil yang kamu minta. Oleh karena, bukankah untuk membangun Kuil Matahari tentunya dibutuhkan sebuah matahari?

            Bukannya aku tak lagi mengharapkanmu apalagi tak mencintaimu, tapi seperti yang telah kukatakan tadi, ini musim hujan. Hujan ada di mana-mana. Hujan mengepung tubuhku, hujan menyelimuti diriku. Ia menggenang di tanah yang kuinjak, ia bertaburan di langit yang kutatap, ia menggumpal pada setiap doa yang kuucap. Hujan mampir ke gelas kopiku, merasuk meracuni darahku. Aduhai, tahun ini hujan begitu suburnya sehingga tiap hari aku mesti memanennya. Apakah kuharus beryukur atau berduka atasnya? Entahlah.

            Aku tak munafik, aku menyukai hujan. Aku suka suaranya yang indah itu, apalagi kulitnya yang lembut, tak ada obat. Kukatakan bahwa aku menyukainya, tapi tidak jatuh cinta kepadanya. Kadang yang tak kusuka darinya adalah kebiasaannya untuk tiba-tiba berubah menjadi gerimis, gerimis mengiris yang tak jarang bikin nangis. Ia kerap mengingatkanku pada kejadian-kejadian lalu yang sebenarnya kuingin melupakannya. Namun kala gerimis mengiris, sirnalah sudah harapanku itu oleh karena ketika ia datang, kenangan-kenangan yang tadinya telah kering dan siap kubakar malah menjadi basah kembali dan sulit untuknya dibakar. Sialan memang! Bukannya aku tak lagi mencintaimu, telah kubilang bahwa aku tak mungkin membangun Kuil Matahari yang kamu minta sebab tahun ini hujan tengah mekar-mekarnya.

            Di musim hujan seperti ini, kupikir ada baiknya untuk aku mengurungkan niat untuk membangun Kuil Matahari yang kamu minta. Kamu cari saja lelaki lain yang bisa, yang mampu, yang punya banyak tenaga untuk membangun kuil impianmu itu. Atau malah kamu memang telah memilih lelaki lain? Ah begitu rupanya. Selamat, selamat. Selamat karena ternyata kamu telah bersama lelaki lain yang bukan aku. Kuharap ia seorang lelaki yang bisa yang mampu dan yang memiliki tenaga untuk membangun Kuil Matahari yang kamu idam-idamkan. Kamu pergi ke dekapan lelaki lain, sejak saat ini aku tak akan ambil peduli. Lagipula, aku pun sebenarnya sekarang tengah merencanakan untuk memanah bulan. Doakan saja semoga berhasil.

            Kelak kalau bulan berhasil kupanah, kuingin menanamnya di halaman rumah depan, di samping pohon caringin. Kubayangkan bahwa pada suatu hari, ketika bulan yang kutanam telah tumbuh dan kemudian bersanding dengan pohon caringin yang tinggi besar itu, betapa pemandangannya akan begitu menggiurkan. Selain rencana untuk memanah bulan, aku juga sebetulnya tengah merajut menambal-sulam malam yang berantakan. Kuingin membikinnya kembali indah, cerah, dan penuh gairah. Kalau telah selesai kuperbaiki, aku akan menghamparkannya di atas bulan dan pohon caringin. Ah, akan indah sekali rasanya.

            Kupikir inilah waktunya, waktu yang tepat untuk memulai segala apa yang telah kurencanakan tanpa memikirkan Kuil Matahari yang kamu minta. Maafkan aku, bukannya aku tak lagi berharap apalagi tak lagi cinta padamu, tapi kupikir sudah tak ada guna juga kalau tetap diteruskan. Mending kamu taruh saja impian Kuil Mataharimu itu pada lelaki lain, jejalkan saja pada mulutnya. Lagipula seperti yang telah kukatakan, hujan tengah mekar-mekarnya tahun ini, dan matahari masihlah tertidur di cakrawala atau entah berlibur ke bintang-bintang. Dengan begitu, mungkin aku tak akan lagi memiliki sebongkah hati yang hangat, tapi syukurlah, karena kemudian hatiku akan menjadi sejuk karenanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...