John Lennon Menyurati Yoko Ono

 


Di atas jembatan yang di bawahnya mengalir sungai arak, John Lennon memandang dalam cakrawala di kejauhan. Ia merindukan kekasihnya, istrinya, cinta sejatinya, Yoko Ono. Andai saja waktu itu aku lebih berhati-hati untuk keluar dari apartemen, tentu saja sekarang aku masih dapat menyentuhnya, membelai lembut pipinya, mengendus harum rambutnya, dan melumat bibirnya yang perkasa itu. Ah Yoko, mengapa kiamat itu begitu lama? Bukankah para pemimpin agama seringnya koar-koar bahwa kiamat sudah dekat? Kiamat sudah dekat! Kiamat sudah dekat! Kiamat sudah dekat maka kita harus taat, patuh, dan menjalani kewajiban sebaik mungkin. Namun kenyataannya omong kosong belaka apa yang dikatakan para pemimpin agama. Kiamat ternyata masih jauh, mendekat pun ia tidak. Ia masih tersaruk-saruk entah di mana, mencari jalan untuk menampakkan dirinya.

            Padahal aku ingin segera berkumpul denganmu lagi, kekasihku. Meski sekarang aku dalam damai dan merasakan bagaimana rasanya kedamaian yang hakiki itu, tapi tanpa dirimu semuanya menjadi percuma. Tanpamu di sisiku, hatiku hanyalah berisi kecamuk serta kekacauan. Tak ada kedamaian tanpa dirimu, kekasihku. Kapankah kau akan menyusul? Telah dekatkah waktumu untuk menemuiku? Apa masih lama? Ah kuharap sudah dekat. Bukan, bukan aku menginginkanmu mati. Aku hanya ingin kau bebas dari kehidupan dunia yang menyiksa, yang hanya berisi kesakitan dan kefanaan. Marilah segera datang kekasihku. Biar kita dapat kembali berkumpul, dan hidup selamanya dalam keabadian. Tanpa kepahitan, tanpa kegetiran, tanpa kesengsaraan.

            Dari sini aku selalu berdoa, kekasihku. Supaya kiamat dapat segera menghabisi dunia. Supaya tak ada lagi penderitaan. Supaya tak ada lagi kemunafikan. Supaya orang-orang dapat terbebas dari belenggu kesengsaraan, dan bisa merasakan hidup damai sebagaimana aku tengah merasakannya sekarang.

            Apa kabar dunia sekarang, kekasihku? Apa perang masih berkecamuk di sana? Apa orang-orang masih percaya kalau agama adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan? Apa masih banyak orang membunuh, memerkosa, dan memusnahkan sesamanya demi uang? Apa khotbah-khotbah tak mutu masih saja dikumandangkan dari tempat-tempat ibadah? Ah ternyata, sudah kuduga. Perang tak pernah benar-benar berhenti, dan masih banyak orang yang memercayai bahwa agama adalah satu-satunya jalan keselamatan. Oh ya? Berarti benar belaka apa kata Jibril, malah semakin banyak katanya sekarang para pemuka agama yang mendengungkan khotbah-khotbah omong kosong. Kemarahan tumbuh subur, sementara keserakahan terus dipupuk.

            Apa imagine masih jadi lagu wajib di PBB, kekasihku? Ah begitu rupanya. Hanya saja lagu itu jadinya percuma kalau hanya sekadar dijadikan pemuas telinga tapi tidak dijadikan sebagai jalan hidup. Buktinya ternyata memang percuma. Kata Jibril, PBB tetap saja terkungkung kemunafikan, tak punya nyali buat membikin semuanya menjadi lebih baik. Tetap saja menjadi pengecut. Kalau begitu terus, bisa-bisa PBB jadinya malah Persatuan Banci-Banci dan bukan Bangsa-Bangsa.

            Manusia ternyata masih keras kepala dan susah buat disadarkan. Padahal sudah sejak lama aku mewanti-wanti, bahwa agama bukanlah satu-satunya jalan menuju keselamatan. Pernah kubilang bahwa ‘Tuhan’ hanyalah konsep yang dibikin oleh rasa sakit kita. Kitalah yang menciptakan ‘Tuhan’. Rasa sakit kitalah yang menuntun kita menuju penyerahan mutlak kepada konsep absurd yang kita namai ‘Tuhan.’ Kita dibikin lemah oleh rasa sakit kita, dan sebaliknya, rasa sakit itu kita jadikan alasan buat berlindung kepada hal yang barangkali kita juga tak meyakininya. Kita hanya butuh hiburan ketika kita merasa kesakitan. Dan bagi orang-orang yang buta, ‘Tuhan’ merupakan hiburan yang begitu menggembirakan.

            Aku dulu sempat berujar bahwa aku tak percaya keajaiban. Aku tak percaya I-Ching. Aku tak percaya Injil. Aku tak percaya Tarot. Aku tak percaya Hitler. Aku tak percaya Yesus. Aku tak percaya Kennedy. Aku tak percaya Buddha. Aku tak percaya mantra. Aku tak percaya Gita. Aku tak percaya Yoga. Aku tak percaya Raja. Aku tak percaya Elvis. Aku tak percaya Tukang Kayu. Bahkan aku tak percaya The Beatles. Aku hanya percaya pada diriku sendiri. Tak lain dan tak bukan, melainkan diriku sendiri. Keselamatan hanya ada dalam diri sendiri. Hanya aku yang dapat menyelamatkan aku. Hanya kita yang dapat menyelamatkan kita. Tak ada keselamatan dalam perang, dalam agama, apalagi di dalam ‘Tuhan.’ Keselamatan hanya ada dalam diri kita sendiri.

            ‘Tuhan’ tak bisa menyelamatkanmu. Apalagi agama. Aku sudah mengetahuinya, dan sekarang sedang merasakannya. Begini, kekasihku. Jika saja ketika di dunia aku tak menciptakan imagine dan god, maka mungkin sekarang aku masih terjebak di sana. Tapi lihatlah aku sekarang, hidup damai, bahagia dan sentosa. Dua lagu yang kuciptakan itu membawaku pada keselamatan, yang berarti hakikatnya, aku sendirilah yang menyelamatkan diriku sendiri. Mark David Chapman tersinggung ketika mendengar dua laguku itu, dirinya merasa dibakar. Apalagi ketika aku berucap The Beatles lebih terkenal daripada Yesus, ia merasa dirinya ditikam.

Padahal bukankah benar belaka bahwa The Beatles memang lebih terkenal daripada Yesus? Toh, The Beatles dapat dinikmati semua kalangan, semua suku, semua ras, atau mereka yang percaya Tuhan dan yang tidak percaya pun menyukai The Beatles. The Beatles menjelajahi seluruh dunia, mendobrak batas-batas negeri, dan sebegitu memberikan banyak pengaruh. Tapi Mark menangkap lain. Ia yang percaya bahwa satu-satunya jalan menuju keselamatan hanya terletak pada agama dan Tuhan, memilih untuk menembakku. Orang mungkin mengira aku menyesal telah mengucapkan kata-kata yang menyinggung seseorang, tapi aku tak merasa begitu. Aku malah senang, karena dua laguku dan ucapanku itu, ternyata adalah jalan keselamatan bagiku. Sudah kubilang, jalan keselamatan hanya dapat ditemukan dalam diri sendiri.

            Agama hanyalah gitar. Kalau kau pandai memainkannya, maka ratusan lagu luar biasa mungkin tercipta. Pun sebaliknya. Gitar hanya akan rusak di tangan orang-orang yang tak becus mendalaminya.

            Segeralah datang Yoko, Kekasihku. Semoga kau juga menemukan jalan keselamatan dalam dirimu sendiri.

            “Senyum-senyum sendiri, seperti bocah kasmaran saja,” tegur Malaikat Jibril menghampiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...