Chester Bennington Terluka

 


            “Tak biasanya kau kacau begini, Chester. Mengapa?” Selidik Bob.

            “Sudahlah, aku tak berselera untuk membahasnya. Segini saja latihannya, besok kita teruskan lagi.” Chester memasukkan barang-barangnya ke dalam tas punggung, dan tanpa menoleh kepada Bob, ia berlalu.

            “Ya sudah,” timpal Bob enteng.

            Chester Bennington awalnya berjalan pelan saja, tapi ketika menurutnya Bob tak lagi dapat melihatnya, maka ia mempercepat langkah kakinya menjadi setengah berlari. Air yang sedari tadi menggantung di dalam matanya kini tumpah, berhamburan kena angin. Nafasnya megap-megap, dadanya sesak, dan hatinya terasa rusak. Namun Chester tetap berlari, terus berlari. Ia tak memedulikan sekitar. Ia mengabaikan bidadari yang menyapanya di pinggir jalan, dan ia juga membentak seorang malaikat yang sempat menghalangi jalannya. Sialan kau, umpat Chester. Dan ia kembali berlari, terus berlari dan tetap berlari hingga kemudian sampailah ia di sebuah jembatan yang membelah sungai, yang di bawahnya susu mengalir.

            Kemudian Chester duduk, memandangi aliran susu yang mengalir hingga menghabisi penglihatannya akan cakrawala. Ia masih tersedu, matanya masih mengeluarkan air walau tak sebanyak tadi. Ia mulai mengatur nafasnya. Menarik udara dalam-dalam, menahannya beberapa  detik di perut, dan lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Terus ia mengulangi hal itu, menarik-menahan-mengeluarkan udara. Butuh waktu sepuluh menit untuknya bisa kembali tenang. Nafasnya mulai teratur, dadanya berubah lapang, dan hatinya untuk sementara terasa mendingan. Ucapan Malaikat Raqib sepuluh tahun yang lalu menggantung kembali di kepalanya.

            Sepuluh tahun yang lalu, ketika Chester memutuskan untuk berkarir dengan bersolo di akhirat, ia ditemui oleh salah seorang Malaikat. Katanya, ia harus mencatat segala sesuatu hal baik yang pernah dikerjakan olehnya. Chester senang belaka dengan kehadiran Malaikat yang kemudian mengenalkan dirinya sebagai Malaikat Raqib. Ia ramah, sopan, dan tidak seperti pegawai kelurahan atau kecamatan yang kaku dalam melemparkan pertanyaan. Banyak hal-hal baik yang lalu dicatat oleh Malaikat Raqib, tak terkecuali pengaruh suara Chester untuk umat manusia.

            Malaikat Raqib berkata bahwa dirinya sering mendengarkan lagu-lagu Linkin Park. Tapi tentu ketika kau masih sebagai vokalis, tegasnya. Tapi aku tak lagi mendengarkan Linkin Park ketika kau pergi. Tanpamu Chester, Linkin Park bukanlah Linkin Park. Melainkan hanya sekumpulan orang-orang biasa yang tak punya gairah dalam mengarungi skena musik. Aku menyukai warna suaramu, Chester. Begitu beda dari yang lain. Sangat khas, unik, ceruk, dan spesifik. Tak ada orang yang dapat menirumu apalagi menyamaimu.

            “Terima kasih,” balas Chester pendek.

“Tapi, Chester. Sebenarnya, ada satu orang yang memiliki potensi untuk menyamai dan bahkan melebihi apa yang telah kau capai.”

“Oh ya, siapa?”

“Habib Syech.”

“Ha ... bib?”

“ Syech. Habib Syech.”

“Siapa ia?”

“Ia adalah fenomena baru dalam skena musik internasional. Punya potensi suara melebihi dirimu, punya potensi penggemar melebihimu, punya album-album yang sekarang mungkin telah menyamaimu. Habib Syech adalah rockstar sejati.”

Sesuatu seperti menikam hatinya ketika Chester mendengar penjelasan itu. Ia tak terima dan tak mau disama-samakan dengan seorang Habib. Baginya, dirinya adalah dirinya, dan Habib Syech adalah Habib Syech. Tak perlu dibanding-bandingkan. Tak usah dimirip-miripkan. Toh setiap orang punya caranya sendiri untuk menyanyi, punya teknik yang berbeda-beda, dan pengalaman yang tentunya mustahil sama. Chester sakit hati dirinya dibanding-bandingkan sebegitu rupa. Mengapa ada saja seseorang yang sukanya usil buat membanding-bandingkan antara hidup si fulan dengan si fulan. Aneh benar. Tak masuk di akal. Sulit dicerna.

Kalau memang ternyata nantinya suara Habib Syech lebih bagus dari dirinya, itu tak mengapa. Kalau penggemarnya lebih banyak, itu tak masalah. Dan kalau album-album yang dibikin Habib Syech jauh melampaui apa-apa yang telah ia ciptakan, itu pun tak jadi soal. Ia sadar dan mafhum bahwa suatu saat akan tiba masa ketika ada seseorang yang lebih baik daripadanya dalam hal menyanyi. Itu sudah biasa. Itu merupakan hukum alam. Tapi yang masih sampai saat ini tak bisa diterimanya adalah perihal dibanding-bandingkan. Ia tak menyukainya. Ia sakit hati.

Di atas jembatan ini, kenangan itu menggarami luka di hatinya. Pedih. Padahal ucapan Malaikat Raqib itu telah berumur sepuluh tahun, tapi aneh, setiap kali Chester mengingatnya, ia akan kembali merasa sakit. Luka itu terbuka kembali. Luka itu tak pernah kering. Luka itu ...

“Jangan kebanyakan melamun, Anak Muda,” seseorang menepuk bahunya.

Chester membalik badannya. “Oh ternyata sampeyan,” wajahnya memerah sebab malu.

“Mari duduk sini Kang, sekalian bersantai. Enak juga ternyata mengaso di sini.” Chester tampak kikuk.

Orang itu pun duduk di sampingnya. Matanya jauh memandang ke ujung aliran susu di cakrawala sana.

“Sedang melamunkan apa, Chester?” Muhammad Ali kemudian bertanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...