Bob Marley Menasehati Malaikat Mikail

 


Di Taman Firdaus ditemani ribuan bidadari, Bob Marley tengah khusuk menghisap ganja. Itu adalah lintingan ganjanya yang entah ke berapa. Mungkin ke dua puluh ribu, atau malah telah lewat ke seratus juta kali. Tapi yang pasti, setiap harinya Bob mampu dan terbiasa mengonsumsi berton-ton ganja. Malah sebenarnya, Bob Marley tercatat sebagai satu-satunya orang yang diperbolehkan untuk membudidayakan ganja di akhirat. Ladang ganja Bob yang luas itu berada di daerah ma’wa.

            Setelah pensiun dari dunia, popularitas Bob Marley ternyata tak menurun sedikit pun. Malah setelah pindah dan berkarir di akhirat, popularitasnya dari hari ke hari semakin tinggi, karismanya terus saja bertambah. Tak ada dari yang hidup di akhirat yang tak mengenal Bob. Ia yang setiap hari nangkring duduk di bangku Taman Firdaus sembari menghabiskan berkarung-karung ganja, adalah fenomena terindah bagi warga akhirat. Tak ada yang tak bersyukur dengan kehadirannya. Tak ada yang tak gembira untuk kehadirannya. Seluruh warga akhirat senang belaka kepadanya, dan lebih jauh dari itu, mereka begitu menjunjungnya sebagai panutan yang mesti digugu dan ditiru.

            Sembari mengganja, kadang Bob mengobrolkan apa saja dengan ribuan bidadarinya. Bob mampu meladeni dan memuaskan semua bidadari itu. Kadang kalau bosan mengobrol dengan mereka, Bob kemudian akan memainkan gitar dan menyanyikan beralbum-album lagu. Semua bidadari menyenangi lagu-lagunya belaka. Tapi ada satu lagu yang selau menjadi primadona, yaitu yang berjudul One Love. Para bidadari akan bergelimpangan dalam ekstase kebahagiaan yang luar biasa ketika Bob menyanyikan lagu itu. Semua bidadari berjamaah menikmati orgasmenya. Tentu di sela-sela itu, Bob juga bercinta dengan ribuan bidadari tersebut.

            Tapi siang ini lain. Bob tak akan menjalani harinya dengan hanya ribuan bidadari, sebab sekretarisnya bilang bahwa ada seorang Malaikat yang hendak berkunjung. Malaikat itu sengaja datang jauh-jauh untuk bersilaturahmi kepadanya, dan tentu mengobrol dengannya. Ketika akhirnya Malaikat itu datang, Bob kemudian melinting ganjanya yang ke seribu dan memersilahkannya untuk duduk di sampingnya.

            “Mau coba menghisap ganja?” Goda Bob sesaat setelah selesai melinting.

            Malaikat itu hanya mengangguk, tersenyum sopan. “Aku tak diperbolehkan mengonsumsi barang haram,” lanjutnya.

            “Ini surga, Bung! Sudah tak ada yang namanya haram.” Bob terkekeh geli.

            “Oh ya, ya. Maaf, aku lupa.”

            Bob membakar lintingannya, menghisapnya dalam-dalam, dan mengembuskan asapnya dengan cara yang begitu anggun. “Siapa namamu, Malaikat?” Selidik Bob santai.

            “Aku Mikail. Malaikat Mikail.”

            “Oh, jadi kau Malaikat yang bertugas untuk menurunkan rezeki itu?”

            “Benar, Bob. Aku Malaikatnya.”

            “Katanya kamu ingin menanyakan sesuatu padaku?”

            “Tidak salah, Bob.”

            “Apa?”

“Begini, Bob. Aku sering diceritakan oleh orang-orang bahwa kau, yaitu Bob Marley, orang yang telah pensiun dari warga dunia yang kemudian bergabung dan menjadi warga akhirat, menjalani dan menikmati hidupnya dengan sangat santai. Mengapa Bob? Mengapa kau tak kerja? Mengapa kau bisa hidup sesantai ini?”

“Ah kukira apa,” Bob kembali melinting ganja.

“Begini anak muda. Aku itu dikirim ke dunia dengan hanya satu tugas, yaitu beribadah. Tugasku di dunia hanyalah beribadah. Tak lebih.”

“Jadi kau tak pernah kerja?”

“Aku kerja. Aku mengerjakan sesuatu yang kucintai, yaitu menciptakan lagu. Aku bekerja, membikin lagu, membikin musik, dan memainkannya untuk orang-orang.”

“Katamu tugasmu hanya beribadah?”

“Buatku, bermusik adalah beribadah. Melalui lagu-laguku aku berdakwah, sekaligus beribadah.”

“Apa musik memberimu banyak uang?”

“Apa ukuran ‘banyak’ menurutmu?”

“Katakanlah beratus-ratus juta, atau bermilyar-milyar?”

“Tidak,” timpal Bob pendek.

“Apakah kau orang kaya, Bob?”

“Apa ukuran ‘kaya’ menurutmu?”

“Punya segalanya. Punya banyak uang, misalnya.”

“Apa punya banyak uang menjadikanmu kaya?”

Malaikat Mikail terdiam.

“Aku tak tahu perihal jenis kekayaan yang kau tanyakan itu. Tapi bagiku, hidup itu sendiri adalah sebuah kekayaan. Aku tak butuh yang selain itu.”

            Malaikat Mikail tertunduk. Untuk beberapa saat bibirnya bergetar, tak mampu buat bicara apalagi bertanya. Matanya tampak berkaca-kaca, badannya lemas serasa lumpuh. Tiba-tiba saja Bob merangkul Malaikat Mikail, memeluknya. Sembari berkali-kali menepuk bahu Malaikat Mikail, Bob menasehatinya.

            “Tak usah kau terlalu merisaukan perkara rejeki. Semua telah diatur. Tak perlu takut tak kebagian, sebab setiap orang punya bagiannya masing-masing.”

            Lima menit setelah Malaikat Mikail menangis, Bob lalu melepaskan pelukannya. Ia berpamitan pada Malaikat Mikail. “Aku mesti segera berangkat latihan. Minggu depan ada konser kolaborasi lintas aliran. Kasihan Chester Bennington kalau nanti aku datang terlambat dan harus menunggu lama.”

            Malaikat Mikail mengangguk. “Titip salam untuk Chester.”

            “Tentu, Mikail.” Bob melangkah santai. “Dan kawan,” Bob berbalik menoleh, “jangan lupa untuk tersenyum.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...