Dilarang Mencintai Mimpi Indah

 


Pada bulan Kelapa tahun Anggrek, ketika bintang-bintang tengah bertamasya di hamparan langit, ketika udara dingin saling bercengkrama, dan ketika embun mulai kembali ke dekapan daun dan rumput, seekor Kupu-kupu berwarna biru tengah tertidur pulas di dalam kelopak matahari. Kupu-kupu biru itu tampak cantik. Wajahnya seputih kapas, matanya sejernih telaga, dan rambutnya seindah nyanyian burung. Namun, Kupu-kupu biru itu tampak mengalami hal yang tak beres dalam tidurnya, dan itu nyata terlukis dari tarian murung bibirnya.

 

Kupu-kupu biru itu terbang dengan leluasa di sebuah pagi yang cerah, dengan udara yang segar dan siraman sinar matahari yang hangat, menuju tempat yang disangkanya adalah taman. Ketika dirinya kemudian sampai, ternyata di sana banyak kupu-kupu lain yang telah berkumpul. Beberapa ada yang bercakap-cakap, ada pula yang memisahkan diri agak jauh dengan menghisap rokok, tapi sebagian banyak dari mereka terlihat begitu gugup dan gelisah entah memikirkan apa, seperti senja yang akan memudar. Walau begitu, tak sedikit juga dari mereka yang ternyata sedang membikin lukisan atau bahkan menulis puisi, atau sekadar berolahraga belaka. Kupu-kupu biru itu lalu memutuskan untuk duduk di sebuah bangku, memandangi keindahan hamparan bunga-bunga yang luas terbentang di matanya.

            “Tak ada yang gratis di dunia ini, termasuk di tempat ini. Sekalipun tujuannya hanya untuk memandangi bunga-bunga atau menghirup udara segar,” teriak seekor Ulat daun bertubuh gembrot bersetelan rapi. “Tapi,” ia melanjutkan, “kalau kalian memang suka dan hendak berlama-lama berada di sini, silakan urus dulu administrasinya lalu serahkan ke bagian Insect Resources Depelovment dan jangan lupa buat membayar biaya pendaftaran. Laksanakanlah sesegera mungkin.”

            Tak ada yang tak terperangah demi mendengar omongan Ulat daun gembrot itu. Semua kupu-kupu terkejut, termasuk Si Kupu-kupu biru. Mereka heran, mengapa mereka harus membayar untuk memandangi bunga-bunga atau menghirup udara segar di taman. Biasanya kan gratis, sebab Tuhan pun menciptakan alam ini biar dapat dinikmati secara cuma-cuma oleh segenap makhluknya. Tapi ini, bisa-bisanya seekor Ulat daun gembrot berkata dengan begitu entengnya bahwa kita harus membayar kalau hendak menikmati indahnya hidup. Bisa-bisanya Ulat daun gembrot keparat itu mengklaim bahwa tak ada yang gratis di sini, di tempat ini.

            “Mengapa kami harus membayar sedangkan Tuhan menciptakan segala keindahan ini dengan gratis?” Protes Kupu-kupu yang merokok tadi.

            “Teman, aku ini seekor Ulat daun dan bukan Tuhan. Memang begitu peraturannya, dunia kita sedang mengejar kemajuan dunia manusia. Maka dari itu segala hal menjadi tidak gratis, maka dari itu untuk segala hal kita harus membayar.”

            “Bahkan untuk memandangi bunga-bunga pun harus membayar?” Tanya Si Kupu-kupu biru.

            “Bahkan untuk memandangi bunga-bunga pun harus membayar.”

            “Kalau untuk menghirup udara segar?”

            “Tak ada yang beda, Nona. Semua sama.”

            “Jadi kami harus mengurus administrasi dulu dan membayar?”

            “Jadi kalian harus mengurus administrasi dulu dan membayar biaya pendaftaran.”

            “Apa-apaan! Tempat macam apa ini?” Damprat Kupu-kupu yang merokok tadi.

            “Loh, sampeyan ini bagaimana? Ini tempat para profesional berkarir, tempat para pekerja mencari penghidupan, ini kenyataan.”

            “Mampus saja kau Ulat daun gembrot! Aku tak sudi tunduk pada peraturanmu apalagi padamu.” Si Kupu-kupu membanting rokoknya, melengos dan pergi.

            Tapi sebelum Kupu-kupu yang merokok tadi benar-benar pergi, Si Kupu-kupu biru buru-buru menghampirinya, lantas bertanya, “Kalau kau pergi, kau tak akan bisa datang lagi ke sini buat memandangi bunga-bunga atau menghirup udara segar atau pun untuk sekadar santai-santai merokok. Lebih dari itu, kau tak akan menjadi seorang profesional, tak punya penghasilan, dan mungkin mati dalam keadaan melarat.”

            “Aku tak gentar.”

            “Lantas apa yang akan kaulakukan?”

            “Aku akan menulis puisi,” maka ia pun terbang pergi.

            Menulis pui ...

 

Esok hari pada pagi baru, Si Kupu-kupu biru kembali ke tempat itu dengan membawa berkas lengkap untuk memenuhi persyaratan administrasi. Ia langsung menuju antrian yang sepagi itu telah mengular. Sembari menunggu gilirannya masuk, ingatan kemarin mengetuk kembali benaknya.

            Apa yang dimaksudnya dengan aku akan menulis puisi? Bukankah adalah suatu hal yang tak rumit untuk melengkapi syarat administrasi dan membayar biaya pendaftaran supaya dapat tetap bisa memandangi bunga-bunga dan menghirup udara segar. Itu kan perkara sepele. Lagi pula, benar juga apa yang dikatakan oleh Ulat daun itu, bahwa dunia tak mungkin tidak berubah, entah itu dunia kami atau dunia manusia. Segalanya akan terus berubah entah itu alam raya atau kehidupan di dalamnya, dan kita mesti pandai beradaptasi kalau tak ingin digilas zaman. Ini kok ya ada kupu-kupu yang berencana menulis puisi, aneh betul.

            Kupu-kupu biru dipanggil masuk ke ruangan. Ia menyerahkan berkas, ditanyai perihal apakah ia sanggup untuk datang ke tempat itu setiap hari pada jam 8 pagi sampai jam 5 sore, dan kalau ia menyanggupinya maka silakan tanda tangan kontrak di atas kertas ini. Untuk kontrak tahap pertama durasinya tiga bulan, dan kalau kinerja anda sesuai peraturan yang berlaku dan memuaskan, maka kontrak akan diperbaharui dengan durasi satu tahun. Kalau anda dapat menyelesaikan kontrak dengan durasi satu tahun tersebut, maka nanti kami akan menjadikan anda karyawan tetap dengan peningkatan gaji bertahap dan promosi jabatan serta jenjang karier yang menjanjikan. Itu semua telah termasuk tunjangan hari raya dan tanggungan dana asuransi.

“Bagaimana, apa bersedia?”

Kupu-kupu biru mengangguk, menandatangani kertas itu, dan lalu membayar biaya pendaftaran. Ia takut untuk menggeleng menolak, karena khawatir kalau tak menyetujuinya maka ia tak akan bisa lagi memandangi bunga-bunga dan menghirup udara segar. Lebih jauh lagi, ia ingin kehidupannya berjalan dengan normal, dengan pemasukan tetap tiap bulan dan jenjang karier yang jelas.

 

Kupu-kupu biru itu melihat dirinya datang ke tempat itu setiap hari pada jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Ia datang, memandangi bunga-bunga dan menghirup udara segar. Kupu-kupu biru melihat dirinya terus seperti itu, datang pagi pulang sore, datang pagi pulang sore, datang pagi pulang sore, untuk hanya memandangi bunga-bunga dan menghirup udara segar. Ia melakukan tugas tersebut secara berulang-ulang, tetap berulang, dan terus berulang. Sampai ia bosan, sampai ia lelah. Sampai dirinya menua, menua, dan terus menua. Tapi kontrak tetaplah kontrak, ia sudah menandatanganinya, ia harus taat, ia mesti patuh.

Kupu-kupu biru menjalani kehidupannya yang terus berulang tersebut. Hingga kemudian, sesaat sebelum suara ayam jago merayap memasuki mimpinya, ia mendengar dirinya mengeluh, “Mending mati melarat daripada mati dalam keadaan menyesal.”

            Matanya terbuka. Ia masih terbaring di dalam kelopak matahari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...