Berlindung di Bawah Naungan Toa

 


Kisah ini bermula ketika seekor Kumbang kelapa berwarna hitam terserang insomnia akut yang membuat hati dan pikirannya setiap malam bergelimpangan bagai ditikam maut. Tiap malam Kumbang itu ketakutan di balik serabut kelapa, atau di atas dahan, atau di dalam batang. Tiap malam Kumbang itu dibuat ngeri oleh kenyataan bahwa cintanya telah diputus oleh kekasihnya, Si Kembang kamboja berwarna kuning. Tiap malam Kumbang itu menggigil demi membayangkan esok hari, demi meraba masa depan, demi menerawang nasibnya yang dirasanya selalu sial. Dan setiap menjelang fajar terbit serta sesaat sebelum adzan subuh hinggap di telinga, di akhir kegelisahannya selalu muncul tiga pertanyaan:

Apakah ada cinta tanpa tapi?

Apakah ada rindu tanpa tepi? Dan;

Apakah ada kebahagiaan tanpa tempik?

Wallahu’alam...

Adzan berkumandang. Ia terbang dari pohon kelapa melewati pohon-pohon mangga, sawo, nangka dan jambu air, mendarat di sekitaran kubah masjid, dan berlindung di bawah naungan toa.

 

Kasih Si Kumbang menguar pada suatu sore yang cerah. Ketika itu ia tengah mengapung ke sana ke mari untuk sekadar melampiaskan rasa penat yang membuat  kepalanya sakit dan dadanya sesak. Ia mengapung ke daerah pantai, pada awalnya. Namun tak ada yang menarik di sana, ia ternyata dibuat bosan pada suasana pantai yang begitu-begitu saja; hanya berisi angin sejuk, gemuruh ombak, barisan karang, kawanan nelayan serta gerombolan muda-mudi yang tengah pacaran. Atau kalau sedang beruntung, mungkin ia akan melihat fenomena senja yang diagung-agungkan manusia yang tapi sangat memuakkan baginya. Senja itu tak ada artinya bagi Kumbang jomblo sepertinya.

            Si Kumbang kemudian mengubah haluan dan terbang melintasi bebukitan, hutan rimba, pesawahan, perumahan dan bahkan saking merasa bosannya, ia lalu terbang ke arah Masjidil Aqsa sebelum kemudian ke arah Ka’bah sembari mampir untuk mendirikan ashar di Masjidil Haram. Kebetulan sore itu yang menjadi Imam di tanah haram adalah Profesor Quraish Shihab, hingga setelah kelar wiridan ia memutuskan untuk menyimak terlebih dahulu kultum yang diberikan oleh Prof. Shihab. Ada satu hal yang mengena dari perkataan Prof. Shihab, bahwa jika kita menginginkan kebahagiaan yang hakiki dalam hidup, maka selalulah panjatkan harapan ke arah atas dan bukan ke arah bawah apalagi ke arah samping. Setelah mencium tangan Prof. Shihab, Si Kumbang kemudian melanjutkan perjalanan sorenya, kali ini dengan tujuan pasti, ke arah atas.

            Si Kumbang terbang, terbang, dan terus terbang ke arah atas. Melewati langit pertama, kedua, ketiga, dan sampai tujuh lapisan langit dilewatinya. Sempat beberapa kali ia hampir saja bertabrakan dengan pesawat-pesawat yang melesat bagai dikejar anjing saking cepatnya. Ia pun hampir beberapa kali terjebak kemacetan, sebab ternyata arus lalu lintas doa-doa di atas langit begitu padatnya. Ternyata banyak juga manusia-manusia yang melipur duka laranya dengan berlibur dalam doa-doa, pikirnya. Si Kumbang terus terbang, terbang, dan terbang, hingga ia melewati troposfer, stratosfer, mesosfer, dan sepertinya kalau dirinya tak merasa capek, mungkin ia akan melanjutkan penerbangannya sampai ke tata surya, atau menjelajahi galaksi, atau memutari jantung alam raya. Tapi sekali lagi, ia hanyalah seekor Kumbang kelapa berwarna hitam, dan ketika melihat tukang baso-tahu sedang mangkal entah di tempat apa ini namanya, perutnya meraung minta diisi.

            “Mang, baso-tahu satu!”

            “Bakal kenyang kalau cuma satu, Agan?”

            “Seporsi Mang, maksudku seporsi.”

      “Segera, Gan.” Dengan kecepatan tangan terlatih, seporsi baso-tahu hanya butuh waktu lima detik buat dihidangkan.

       Sembari menyantap baso-tahunya, Si Kumbang lantas bertanya, “Mang, ini tempat namanya apa? Kok bagus benar.”

            “Loh? Ini kan lapisan Ozon, Gan.”

            Oh ini ternyata lapisan ozon yang masyhur itu. Bolehlah, menarik juga sepertinya mengaso di sini. Maka setiap sore sehabis pulang kerja, Si Kumbang akan menempuh jalur pantai-bukit-hutan-sawah-Yerusalem-Mekah-tujuh-lapis-langit-troposfer-stratosfer-mesosfer untuk mengaso di lapisan ozon dengan lubang menganga ditemani seporsi baso-tahu sambil merenungkan kemalangan dirinya yang sampai detik itu masihlah menjomblo.

Hingga pada suatu sore kemudian, ketika ia tengah mengobrol dengan tukang baso-tahu perihal apakah pandemi memengaruhi pendapatannya atau tidak, ia terperangah dengan kehadiran mendadak sekuntum Kembang kamboja berwarna kuning yang tengah menari di dalam gelas. Kembang itu menari tanpa memedulikan sekitar, dengan tabuhan kendang di bibirnya, dengan petikan kecapi di hatinya, dengan gesekkan rebab di rambutnya, dengan gelikkan suling di matanya. Kembang itu menari, menari, dan terus menari di dalam gelas, menari mengelilingi cincin saturnus, menari mengitari orbit matahari, menari menyusuri jalur rotasi bumi. Demi menyaksikan sekuntum Kembang menari di dalam gelas, darahnya menghangat, dadanya berdesir, falusnya mengeras. Si Kumbang mafhum, dirinya telah jatuh cinta.

            Begitulah kemudian mengapa pada akhirnya pada setiap sore Si Kumbang menghabiskan sorenya di lapisan ozon dengan lubang menganga itu. Sebabnya sekuntum Kembang kamboja berwarna kuning.

 

Dari tukang baso-tahu Si Kumbang tahu, bahwa Kembang kamboja berwarna kuning itu ternyata telah lama menari di dalam gelas di sekitaran tata surya itu. Entah kapan persisnya tukang baso-tahu juga tak tahu. Tapi, tukang baso-tahu telah mangkal di lapisan ozon dengan lubang menganga itu selama dua puluh lima tahun, dan bahkan ia telah melihat Kembang kamboja berwarna kuning itu menari. Pun pernah sekali waktu, Kembang tersebut menari menukik menuju jantung alam raya yang membuat seisi alam geger sebab tiba-tiba semua warna berubah menjadi kuning. Ia tak pernah terlihat lelah dan seperti tak ada hasrat buat beristirahat barang sejenak, yang ia pedulikan hanya menari, menari, dan menari di dalam gelas. Kembang itu menarikan aneka jenis tarian, dari yang mulai dikenal jagat raya atau pun tarian yang sama sekali baru. Pokoknya hanya menari, menari, dan menari, pungkas tukang baso-tahu.

            Si Kumbang takjub mendengar cerita tentang Kembang itu. Betapa, di zaman runyam seperti ini masih saja ada sekuntum Kembang yang menari, dan tak hanya menari, ia menari di dalam gelas. Si Kumbang ingin sekali mengenalnya, mengajaknya terbang ke pantai atau ke Yerusalem atau Mekah, dan kalau ada kesempatan, mungkin di batang kelapa ia akan mengungkapkan perasaannya. Ucapan Si Kumbang belum juga kering ketika tiba-tiba kaki Kembang itu terpeleset yang lalu membuatnya terpelanting jatuh ke lapisan ozon. Sigap, Si Kumbang dan tukang baso-tahu memburu, membopongnya, mendudukannya di bangku.

            Ternyata setelah diperiksa, kelopak Kembang itu terkilir. Tukang baso-tahu yang tangannya lebih terampil daripada Si Kumbang, ternyata menguasai juga ilmu tetumbuhan. Ia membaluri pergelangan kelopak Kembang itu dengan segelas air yang mengandung al-fatihah, sebelum kemudian krak ... dan aneh bin ajaib, sejurus kedipan mata, kelopak Kembang itu sembuh. Kembang itu buru-buru berdiri, menghaturkan terima kasih pada tukang baso-tahu, dan berkata bahwa dirinya harus kembali menari. Tapi sesaat sebelum Kembang itu menaiki gelas, naluri Si Kumbang bangkit:

            “Maukah kamu makan baso-tahu sebelum kembali menari?”

            “Aku tak lapar,” jawab Si Kembang.

“Mungkin kamu tak lapar, tapi mungkin kamu pun belum pernah merasakan nikmatnya baso-tahu?”

Nah benar juga Kumbang yang satu ini, batin Si Kembang. Seumur hidup aku memang tak pernah makan baso-tahu, dan bahkan, sebenarnya aku tak tahu apa itu baso-tahu. “Tapi alam semesta akan tak seimbang kalau aku berhenti menari,” lanjut Si Kembang.

“Secicip saja, tak akan lama. Lagian kadang-kadang alam semesta perlu ketidakseimbangan biar ia tak lupa pada keseimbangan,” Si Kumbang berfilosofi.

Wahai, demi anggrek bulan yang menempel pada pohon mangga, dan demi putik sari yang jatuh tepat pada bulan purnama, pandai betul Kumbang yang satu ini. Hmmm, aku ingin sebenarnya mencoba baso-tahu, penasaran juga sebenarnya seperti apa rasanya, tapi siapa nanti yang akan menalangi tarianku kalau aku beristirahat barang sejenak? Ah andai hidup ini semacam tanaman merambat, mungkin aku akan memilih untuk ... “Mang, bikinkan baso-tahu. Kali ini dua porsi,” pinta Si Kumbang.

 Demikianlah sore itu menjadi sedikit agak berbeda. Si Kembang akhirnya bersedia mencoba memakan baso-tahu, dan Si Kumbang tak lagi makan baso-tahu sendirian. Sementara tanpa sepengetahuan Si Kumbang dan Si Kembang, Dewi Sri menyelinap masuk ke dada mereka untuk menggarap hati, dan menanaminya dengan benih cinta. Untuk beberapa ketika, kilat, petir dan hujan, menalangi tarian Si Kembang.

 

Namun setelah menjalani hubungan percintaan selama hampir setahun, Si Kembang memutuskan untuk pergi meninggalkan Si Kumbang. Si Kembang menyampaikan pesannya itu melalui angin ribut di pagi hari, yang membuat pagi Si Kumbang tak pernah lagi sama. Si Kembang menjelaskan bahwa setelah dipikir-pikir, ternyata tak ada kecocokan sama sekali antara dirinya dan Si Kumbang. Sebab aku adalah Kembang kamboja berwarna kuning, dan kamu adalah Kumbang kelapa berwarna hitam.

            Sebagai sekuntum Kembang kamboja berwarna kuning, adalah telah menjadi tugasku buat menari di dalam gelas. Aku diciptakan dari unsur-unsur organik yang subur, yang tak merusak lingkungan dan unsur hara tanah, yang lalu setelah tumbuh mekar diserahi tugas buat menyejukkan seisi alam semesta oleh Yang Maha Kuasa. Kelopakku lentur tak mudah patah, tangkaiku tegak pohon alba, dan warnaku kuning menandakan keceriaan dan optimisme. Tarian adalah nyawaku, dan gelas adalah penghasil karbon dioksida yang paling baik. Hidupku adalah hidup yang indah, yang berwarna, yang penuh dengan tarian, dan punya peran penting dalam keseimbangan alam semesta serta memiliki kebermanfaatan yang objektif. Sedangkan kamu, kamu adalah Kumbang kelapa berwarna hitam yang mungkin terlahir dari pengapnya batang kelapa yang gelap. Kakimu kasar penuh duri, bibirmu aneh, dan kepalamu sekeras bebatuan dari zaman paleolitikum. Kerjamu tiap hari hanya melubangi batang kelapa, atau terbang hinggap tak tentu entah ke dedaunan, atau menghabiskan hari hanya dengan berbaring di dalam batok kelapa. Buatku, kamu tak memiliki tanda-tanda kemajuan, tak ada pancaran opitimisme buat menyongsong masa depan di matamu. Hidup kamu pun suram, segelap warnamu. Secara psikologi warna, warna-warna suram nan muram adalah menandakan ketidakberanian dalam melangkah, dalam mengambil keputusan, juga menggambarkan kekhawatiran, rasa pesisime dan kepasrahan yang otentik. Jelas masa depanmu akan suram, Kumbang. Masa depanmu akan muram, penuh keragu-raguan dan kekhawatiran dan tak akan memiliki daya yang mencukupi buat bertarung dalam ganasnya arena kehidupan.

            Aku tak perlu meminta maaf sebab berkata begitu, kalau kamu mau, kita masih bisa berteman, tapi tidak untuk menjadi sepasang kekasih apalagi menikah. Aku telah memilih, aku telah menentukan apa yang baik buatku. Kamu jangan menggangguku, berhentilah mengirim puisi-puisi cinta yang tak ada artinya di hadapan pahitnya kenyataan. Lagian setelah kurenungkan, ternyata aku tak dapat menemukan alasan mengapa selama ini aku mencintaimu, tidak sebaris kalimat atau sepatah kata pun. Aku juga sebenarnya telah menjalin hubungan dengan seekor Ulat daun berwarna hijau sebelum ketika itu memutuskan untuk menerimamu. Ulat daun berwarna hijau itu baik, selalu menempel pada tangkaiku atau sesekali melongok kelopakku. Ulat daun itu selalu membelaiku penuh perhatian, menemaniku pada saat-saat sedih, menelponku di sepertiga malam. Aku menyukainya, begitu mengaguminya. Walau ia tak dapat terbang sepertimu sampai ke Yerusalem atau Mekah, tapi langkahnya yang sedikit-sedikit itu malah menurutku lebih menjanjikan. Sedikit tapi pasti. Ulat daun berwarna hijau itu begitu menjanjikan.

            Ketika kita masih pacaran pun kadang aku sembunyi-sembunyi berhubungan dengan Ulat daun hijau itu. Aku ingin jujur padamu sedari awal, tapi bagaimana, aku baru bisa jujur sekarang, dan sekarang aku telah memilih untuk menjadi kekasih Ulat daun hijau itu. Doakan biar aku bisa menikah dengannya, punya banyak anak dan hidup bergelimang daun. Lupakan aku Kumbang kelapa berwarna hitam, lupakan. Sekali lagi, jangan menggangguku apalagi sampai berani-beraninya mengirimkan puisi-puisi cinta yang tak ada artinya itu. Berhenti Kumbang, berhenti. Kamu bukan tipeku, kita memang tak cocok. Kembang dan Kumbang? Kita memang tak cocok.

 

Setelah diputuskan Si Kembang, Si Kumbang jadi banyak melamun. Ia banyak mengenang kebersamaannya yang indah selama hampir setahun. Kalau sudah melamun mengenangkan kebersamaannya dengan Si Kembang, Si Kumbang bisa menengok ke segala sudut, ia bisa masuk ke segala rinci, dan ia dapat bertahan dari apa pun yang mungkin bisa menggoyahkan lamunannya.

            Si Kumbang masih mengingatnya dengan jernih bagaimana ia pertama kali melihat Si Kembang kamboja berwarna kuning menari di dalam gelas, kemudian membelikannya baso-tahu, hingga dapat berbincang dengannya dan lalu menjadi kekasihnya. Ia ingat bagaimana pada suatu sore dirinya mengajak Si Kembang untuk mendirikan ashar di Masjidil Haram, atau mengajaknya terbang ke Yerusalem untuk menyaksikan warga Palestina dan Israel ribut-ribut. Ia ingat pada suatu sore yang lain bagaimana indahnya memandangi senja di laut merah sambil menyeruput dinginya es kelapa muda. Ia ingat bagaimana pada bulan maret yang lalu, mereka berdua menyaksikan betapa indahnya aurora borealis atau northern light di Islandia, dan di tengah-tengah sana pada lempeng batu datar, Sigur Ros dengan khidmatnya menyanyikan Olsen Olsen. Itulah di antara kenangan yang paling sering diaksesnya, yang membuatnya bahkan masih mabuk kepayang. Segalanya terasa begitu indah ketika dirinya masih bersama Si Kembang.

            Kebiasaan melamun tersebutlah yang akhirnya membuat Si Kumbang menderita insomnia akut. Ia ogah memejamkan mata karena takut kenangan itu hilang tersapu tidur. Ia enggan terlelap, ia ingin selalu terjaga biar terus bisa mengenangkan hal indah tersebut. Sebab pada hakikatnya, ia memang tak memiliki apa-apa di dalam hidupnya kecuali kenangan indah dengan Si Kembang.

            Subuh ini pada tahun yang baru, di sekitaran kubah masjid, dengan berlindung di bawah naungan toa, Si Kumbang bertarhim dengan Kitab Celana, ayat Januari, Joko Pinurbo:

 

Januari yang lusuh datang padaku

dengan wajah putih kelabu.

“Beri aku tempat perlindungan.

Musim begitu rusuh.

Bahaya mengancam dari segala jurusan.”

 

Hujan yang basah kuyup tubuhnya

kuungsikan ke dalam botol bersama kilat,

guruh, dan ledakan-ledakan petirnya.

 

Angin yang menggigil kedinginan

kusembunyikan di dalam gelas

bersama desah, desau, dan desirnya.

 

Semoga sekalian kata dan makna

yang kuziarahi bertahun-tahun lamanya

ikhlas menerima cobaan

yang tiada putusnya

sebab memang begitu jauh

jarak perjalanan di antara mereka.

 

Semoga sekalian luka dan sembilu

yang tak henti-hentinya meruyaknya

tidak saling sayat dan sakit hati

justru karena demikian dalam

percintaan di antara keduanya.

 

Januari yang lusuh datang padaku

seperti doa yang rela bersekutu

dengan sekalian kata dan ucapan

yang sering gagap dan gagu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...