Surat Panjang Nirmala

 


Teruntuk:

Mama dan Papa,

di dunia.

 

Aku Nirmala, yang berarti bersih, suci, dan tidak ternoda. Itu namaku yang sekarang sebenarnya, sedangkan dulu ketika aku dilahirkan (atau mungkin lebih tepatnya dikeluarkan), Papa menamaiku Jani. Papa bercerita mengenai alasan mengapa ia mengganti namaku adalah karena Papa begitu menyukai huruf ‘N’, sebab huruf tersebut berada tepat setelah huruf pada nama Mama. Tempatku menetap selama tiga tahun terakhir adalah di bawah tanah yang ternyata sekarang telah ditumbuhi oleh banyak pohon pisang. Tapi tempat tinggalku bukanlah sebuah kebun bagaimanapun, sebab Papa tak mungkin setega itu padaku.

 

Mama... Papa... bagaimana kabarnya? Di sini Nirmala sehat, tapi kesepian sebab tak ada teman. Nirmala kangen Mama. Nirmala kangen Papa. Kapan-kapan main-mainlah ke sini, sudah lama Nirmala tak melihat Mama dan Papa.

            Entah waktu itu Nirmala lupa persisnya kapan, tapi Nirmala pernah melihat Mama dan Papa sedang duduk berdua di beranda kontrakan pada sebuah bangku tembok. Kulihat Mama dan Papa tengah membicarakan sesuatu dan sesekali memandang ke arahku. Perihal apa yang Mama dan Papa bicarakan, Nirmala tak dapat menebak. Mungkin Mama dan Papa sedang memperbincangkan cuaca, atau garapan skripsi, atau mungkin sedang membicarakan masa depan bersama? Kemudian Nirmala melihat Papa menaikkan kakinya sebelah (entah kiri atau kanan Nirmala tak begitu ingat), lalu Mama menjadikan lutut Papa sebagai sandaran dagu dan Mama melingkarkan kedua tangan ke paha Papa, dan Papa terlihat mengelus-ngelus kepala Mama serta sesekali mengelus pipi atau kening Mama. Ah Nirmala begitu terharu melihat Mama dan Papa berbahagia, sekaligus begitu cemburu menyaksikan adegan romantis yang Mama dan Papa mainkan. Ah Mama, Papa...

            Sore itu di sela-sela obrolan, terkadang Mama tersenyum memandang ke arah Nirmala, atau kalau tidak, Mama terlihat bertanya pada Papa mengenai suatu hal yang lalu langsung dijawab oleh Papa dan kemudian membuat Mama kadang termenung sebentar sebelum kembali menatap lebih lekat ke arah Nirmala sembari tersenyum. Hihi, kalau boleh tahu Mama waktu itu menanyakan apa ke Papa?

            Di mata Nirmala, Mama dan Papa begitu padu, begitu serasi. Sekilas wajah Mama dan Papa tampak serupa, terutama pada bagian bola mata dan bibir. Kulit Mama dan Papa sama-sama berwarna putih dengan aksen berbeda, Mama putih kemerah-muda-mudaan, sedangkan Papa putih kekuning-kuningan. Nirmala suka melihat rambut Papa yang hitam panjang keriting itu, tapi Nirmala juga begitu kagumnya melihat rambut lurus Mama yang seperti sungai tinta itu (walau ketika itu Mama mengenakan kerudung, Nirmala masih bisa melihat rambut Mama lho). Pada bagian wajah Mama yang bulat, Mama memiliki sepasang alis tipis dengan sepasang mata yang cenderung belo, dan ya ampun sorot mata Mama, begitu tajamnya dan Nirmala jatuh cinta padanya. Apalagi hidung Mama yang mancung kecil itu, aduh betapa cantiknya Mama. Sementara Papa yang wajahnya lonjong telur itu memiliki alis tebal dengan hidung mancung besar, berkumis tipis dengan janggut serta mata agak sipit dan sekilas, Papa mirip orang Cina, hihi. Oh iya, dan yang membuat Nirmala tergila-gila dan enggan buat lepas dari memandang Mama dan Papa adalah karena Mama dan Papa sama-sama memiliki bibir berwarna merah, padahal Papa adalah perokok berat dan Mama bukanlah pesolek yang gemar memulaskan lipstik. Betul, kan?

            Nirmala kerap membayangkan kalau saja Nirmala dapat tumbuh seperti anak-anak lainnya, mungkin sekarang Nirmala telah tumbuh menjadi seorang gadis cantik berumur tiga tahun. Tinggi Nirmala mungkin akan mengikuti Papa yang jangkung, dan beratnya ikut berat Mama yang langsing tapi berisi. Kulit Nirmala adalah campuran warna putih-kuning-merah-muda dengan paduan alis tebal-tipis, ditambah pencangkokkan rambut keriting-lurus serta bentuk wajah kombinasi lonjong-bulat, ditambah pahatan hidung mancung besar-kecil, dilengkapi sepasang mata sipit-belo yang sepertinya akan eksotis dan yang pasti; bibir Nirmala akan lebih merah daripada bibir Mama dan Papa. Andai saja Nirmala bisa tumbuh di dunia, andai saja Nirmala dapat mencium Mama dan Papa, memeluk Mama dan Papa, dan mendapat cinta serta kasih sayang yang tanpa batas dari Mama dan Papa, dan kemudian merasakan hidup bersama sebagai sebuah keluarga utuh. Andai saja Ma... Andai saja Pa... Ya, andai saja...

            Namun Nirmala mengerti, Nirmala dapat memahami mengapa ketika itu Mama dan Papa memutuskan untuk memilih mengeluarkan Nirmala.

 

Nirmala ketika itu memang masihlah sebongkah daging yang belum terbentuk secara sempurna, tapi Nirmala dapat mendengar dan terutama dapat merasa meski tak bisa melihat, mengenai apa yang tengah Mama dan Papa perbincangkan. Nirmala tahu, Mama dan Papa memang tak pernah berniat untuk memiliki seorang anak karena ketika itu niat Mama dan Papa hanya buat bersenang-senang, sebelum kemudian Nirmala dengan diam-diam masuk ke rahim Mama dan menetap. Lagipula ketika itu, Mama dan Papa masih kuliah, jangankan untuk memiliki seorang anak, lulus kuliah juga belum, dan terutama; Mama dan Papa belum menikah. Hal itulah ternyata yang lalu menjadi pertimbangan kuat Mama dan Papa buat mengeluarkanku sebelum waktunya. Betapa kalau Nirmala waktu itu lahir, bukan kebahagiaan yang akan dipetik Mama dan Papa, tapi aiblah yang akan dipanen.

Nirmala ingat, ketika itu Papa sempat berucap bahwa Papa akan bertanggung jawab untuk menikahi Mama kalau itu yang Mama inginkan, tapi Mama tak mampu membayangkan bagaimana reaksi dan kekecewaan orang tua serta keluarga besar kalau Nirmala masih dipertahankan (Papa memikirkan hal serupa). Maka setelah membicarakan baik-buruknya secara seksama, kudengar Mama dan Papa kemudian sepakat untuk mengeluarkan Nirmala. Pada dua bulan pertama, Nirmala memang enggan untuk keluar dari rahim Mama dan berusaha sekuat mungkin untuk tetap tinggal, sebab Nirmala begitu betah di sana. Saat itu Nirmala merasa, siapa tahu kalau Nirmala berusaha selama mungkin tinggal di rahim Mama, Mama dan Papa akan berubah pikiran demi melihat kesungguhan Nirmala untuk bertahan. Hanya saja ketika memasuki akhir bulan kedua dan awal sampai tengah bulan ketiga, Nirmala melihat bahwa kondisi Mama begitu terpuruk, begitu mengkhawatirkan. Amarah Mama kerap tak terkendali sebab Mama mulai merasa frustasi karena sejauh itu usaha Mama dan Papa untuk mengeluarkanku masih juga belum berhasil, dan diperparah oleh hormon yang sering berubah-ubah. Mama jadinya sering marah pada Papa, tapi untungnya Papa tak pernah melawan.

Kadang kudengar semalaman Mama menangis sampai pagi, sampai mata Mama yang indah itu bengkak, sampai rambut Mama acak-acakkan tak karuan, dan yang membuat Nirma agak khawatir adalah kenyataan bahwa Mama jadi jarang makan yang membuat Mama jadi lebih kurus. Mama waktu itu seperti mayat hidup, punya tubuh tapi pikiran entah ke mana. Untung saja ketika itu Papa tak ikut-ikutan terbakar amarah, dan lebih bisa menguasai diri. Mungkin karena Papa tak punya rahim dan tak merasakan mengandung Nirmala, jadinya tak ada perubahan hormon pada tubuh Papa seperti apa yang Mama rasakan, dan Papa mengerti itu. Di saat-saat seperti itu, Papa juga selalu berusaha untuk selalu ada buat Mama. Kalau Mama sedang dalam keadaan seperti itu, pertama-tama Papa akan memeluk Mama untuk menenangkan Mama hingga tangisan Mama berhenti. Dengan pelan dan perlahan Papa akan meyakinkan Mama bahwa masalah ini pasti akan selesai. Papa selalu berjanji untuk menuntaskannya dengan cara apa pun, demi Mama. Barulah Mama akan tenang, dan kembali dapat menguasai diri.

Nirmala selalu rindu pada malam-malam seperti itu, sebab pada malam seperti itu Mama dan Papa akan melewatinya dengan berpelukan sangat lama, saling mengecup dan menyabarkan diri, yang membuat Nirmala merasa hangat. Papa akan memegang perut Mama, mengelus-elusnya, menciuminya, dan Mama pun demikian melakukan hal yang sama. Sering kudengar Papa berkata padaku bahwa: nak, jangan nakal ya sayang, kasian Mama, tiap hari kecapekan karena banyak pikiran dan nangis terus. Sudah ya nak, sudah, kasihan Mama. Keluar ya sayang, ya? Kudengar Mama juga berbicara begitu, dan Nirmala terharu dan tak jarang menangis demi mendengar Mama dan Papa berkata seperti itu. Nirmala tak tega melihat Mama terus-terusan begitu, Nirmala juga sedih melihat Mama seperti itu, terus-terusan tertekan gara-gara Nirmala. Maka kemudian pada akhir bulan ketiga, Nirmala memutuskan untuk keluar dari rahim Mama. Nirmala tak ingin jadi beban buat Mama dan Papa, Nirmala tak mau menambah kesulitan Mama dan Papa yang memang sudah jatuh terpuruk.

Demikianlah Nirmala memutuskan untuk keluar menjelang sore hari, di kamar mandi, di kontrakan Mama, ketika bulan ramadhan. Nirmala pikir itulah saat yang paling baik untuk keluar. Benar saja, setelah Nirmala keluar, kulihat Mama meneteskan air mata karena terharu sekaligus sedih saat melihat Nirmala. Mama lalu memanggil Papa yang sedari tadi memang sudah menunggu di luar dengan harap-harap cemas untuk membawakan kantong kresek. Tangan Mama bergetar ketika memasukkan Nirmala ke dalam kresek, dan berkali-kali Mama meneteskan air mata. Setelah menerima kantong kresek dari Mama, Papa tanpa banyak tanya langsung membawa Nirmala ke tempat ini, menguburkan Nirmala di sini, tanpa doa-doa, tanpa sebuah tangisan. Kulihat mata Papa hanya berkaca-kaca, tak banyak berucap sebab tubuhnya juga tak kalah gemetarnya. Itulah terakhir kalinya Nirmala melihat Mama dan Papa secara langsung, dan sungguh, Mama dan Papa punya paras yang begitu indah. Hujan kemudian turun, menemani Nirmala pergi.

 

Mama, Papa, tahun ini Nirmala telah berumur tiga tahun, dan telah tiga tahun pula Nirmala tinggal di tempat ini.

            Sejujurnya Nirmala ingin pindah dari sini, sebab Nirmala kesepian, tak ada orang yang bisa Nirmala ajak bermain. Nirmala ingin seperti dulu, bisa dekat dengan Mama dan Papa, bisa melihat Mama dan Papa berbincang di beranda depan itu lagi, bisa menyaksikan secara langsung betapa cantiknya Mama, betapa gantengnya Papa. Nirmala kangen masa-masa itu, Nirmala begitu merindukannya. Sekarang Nirmala tak bisa menikmati momen-momen melihat Mama dan Papa, Nirmala tak bisa memandang Mama dan Papa dari dekat, dan terlebih Mama dan Papa pun sudah tak pernah berkunjung. Nirmala kesepian, di sini gelap Ma, Pa.

            Nirmala sebenarnya tahu bahwa hubungan Mama dan Papa telah berakhir sejak setahun yang lalu. Kan Mama yang memutuskan Papa? Ayo mengaku saja Ma, tak usah malu begitu, hihi. Ah tapi Nirmala tak akan sok tahu karena memang tak tahu, tidak juga Nirmala dapat mengira-ngira apa sebab hubungan Mama dan Papa berakhir. Biarlah, itu memang urusan orang dewasa, atau mungkin lebih tepatnya, urusan orang yang merasa dirinya dewasa. Kalau ditanya apakah Nirmala sedih atau tidak, tentu Nirmala sedih melihat Mama dan Papa sudah tak lagi  bersama. Padahal Nirmala berharap kalau Mama dan Papa bisa terus sama-sama, biar tak lupa sama Nirmala. Nirmala berharap Mama dan Papa bisa menikah, hidup bersama, saling mencintai, menjalani penebusan dosa dengan menjalani hidup yang lebih baik. Nirmala sangat berharap, begitu berharap. Bahkan sampai sekarang, Nirmala masih tak dapat membayangkan bahwa nanti Mama dan Papa menikah dengan orang lain, punya keluarga baru, dan menjalani kehidupan baru dengan keluarga masin-masing. Membayangkan itu membuat Nirmala ngeri. Tapi ya sekali lagi, kebahagiaan Mama dan Papa lebih penting dari kebahagiaan Nirmala.

            Apa sekarang Mama berbahagia dengan pilihan Mama?

            Kalau Papa bagaimana, apa berbahagia juga?

Hmmm, kalau saja Nirmala dapat merasakan perasaan Mama dan Papa seperti dulu, mungkin Nirmala tak akan secerewet ini. Maafkan Nirmala ya Ma, ya Pa. Nirmala tak bermaksud menyinggung perasaan Mama ataupun Papa. Yang penting Mama dan Papa bahagia; sama seperti dulu, Nirmala akan selalu berkorban demi melihat Mama dan Papa berbahagia. Selalu, Nirmala akan selalu berkorban buat Mama dan Papa.

            Namun, walau sekarang Mama dan Papa tak bersama lagi, entah karena jarak atau karena memang perasaan yang dulu membara  di antara Mama dan Papa kini telah padam, Nirmala harap Mama dan Papa tetap berbaik-baikan. Mama dan Papa tak boleh berantem apalagi saling menyalahkan atau memusuhi. Bagaimanapun, dulu Mama dan Papa pernah begitu saling mencintai dan mengasihi. Kan Nirmala buktinya? Nirmala adalah bukti bahwa Mama dan Papa pernah saling mencintai. Nirmala adalah buah dari cinta yang Mama dan Papa tanam. Karena bagi Nirmala, Mama dan Papa tetaplah orang tua Nirmala. Mama tetaplah Mamaku yang paling cantik yang Nirmala cintai, dan Papa tetaplah Papaku yang paling ganteng yang juga Nirmala cintai. Nirmala sayang kalian berdua, Nirmala sayang Mama, Nirmala sayang Papa.

            Nirmala kadang takut kalau Mama atau Papa melupakan Nirmala. Nirmala tak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau hal itu benar terjadi. Jangan lupakan Nirmala ya Ma, jangan lupakan Nirmala ya Pa... Walau Mama sudah membuka lembaran baru bersama orang lain, tetap jangan lupakan Nirmala ya, Papa juga. Kalau Mama dan Papa lupa pada Nirmala, lalu siapa lagi orang yang akan ingat? Kalau Mama dan Papa sampai melupakan Nirmala, maka siapa lagi yang akan mengirimkan doa-doa buat Nirmala? Tak akan ada orang yang peduli pada Nirmala, kecuali Mama dan Papa, sebab hanya Mama dan Papa yang mengetahui bahwa Nirmala pernah ada. Nirmala di sini hidup sendiri, kesepian, jauh dari orang tua, tak punya teman apalagi saudara. Kapan-kapan datanglah Mama dan Papa ke sini, menjenguk Nirmala. Nirmala juga ingin seperti anak-anak lainnya, dibawakan oleh-oleh makanan atau mainan. Tapi kalau tak bawa oleh-oleh juga tak apa, yang penting Mama dan Papa ke sini. Dengan begitupun Nirmala sudah senang. Dengan begitu Nirmala akan merasa tenang.

            Mama, janji ya datang ke sini? Papa juga, awas kalau tidak datang. Nirmala kangen Mama. Nirmala kangen Papa. Nirmala rindu kita berkumpul bersama sebagai sebuah keluarga.

            Nirmala rasa sudah cukup untuk sekarang. Setelah menunggu tiga tahun, Nirmala akhirnya senang bisa menulis dan mengirim surat pada Mama dan Papa. Kapan-kapan Nirmala kirimi Mama dan Papa surat lagi, ya? Dan jangan lupa Mama dan Papa harus membalas surat Nirmala ini, kalau tidak Nirmala akan marah. Atau kalau kantor pos jauh dan Mama serta Papa tak dapat mengirim surat lewat pos, kirim saja surat itu melalui doa-doa, ya Ma? Ya Pa? Lagi pula lebih cepat lewat doa sampainya, daripada lewat kantor pos.

            Sudah ya Ma, ya Pa. Aku kangen Mama, Mamaku yang cantik. Aku kangen Papa, Papaku yang ganteng. Nirmala sayang Mama. Nirmala sayang Papa. Nirmala sayang kalian berdua.

           

Cium jauh, anakmu: Nirmala.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...