Tuhan, Serta Kebahagiaan yang Tawar

 


Kuharap kamu akan senang karena sebentar lagi, dengan izin Tuhan aku akan segera berlayar mengunjungimu, dan tak hanya mengunjungimu sebenarnya, aku ingin memanen rindu yang telah kita tanam ini bersama. Sehari serasa setahun, dan setahun serasa tak pernah kelar dan kita masih saja tak dapat ketemu. Entah, entah apa yang tengah Tuhan rencanakan. Aku akan sangat senang kalau kau dapat menjawab pertanyaanku itu. Atau mungkin akan kucoba saja buat menjawabnya, siapa tahu dapat melatih otak kanan?

            Kita dijauhkan sebegini rupa, atau kira-kira yang benar begini: kamu digerakkan Tuhan buat menjauhiku padahal sebenarnya pada lubuk hati yang paling dalam kamu enggan buat meninggalkanku atau malah tak pernah ada niat, sebab itu hanyalah ulah Tuhan. Kadang ia memang jail tak kepalang, sekali waktu ia dapat mengatur seseorang buat meninggalkan seseorang yang dicintainya dengan atau tanpa alasan. Kalau dipikir baiknya dan direnungkan lebih jauh, mungkin Tuhan bermaksud buat melatih mental kita supaya dapat menjadi lebih dewasa, biar tak cengeng dalam menghadapi kehidupan percintaan, dan dengan menjauhkan dua orang yang saling mencintai, maka mereka dituntut untuk belajar dari kesalahannya dan mesti memperbaiki diri dan yang paling utama tentu jangan pernah mengulangi kesalahan itu. Barulah kalau kita telah kelar mereparasi diri masing-masing dengan memperbaiki keropos dalam diri, menambal bolong-bolong yang ada, mempelajari apa yang kurang, maka Tuhan akan kembali menyatukan kita.

            Eh apa bisa begitu? Kurasa itu merupakan spekulasi jawaban yang terlampau serius padahal Tuhan amatlah melampaui keseriusan, alias tukang guyon yang andal. Malah aku tak akan lupa kalau Ia pernah berdawuh kalau kehidupan dunia juga hanyalah senda gurau belaka baginya, dan tak lebih dari taman bermain bagi makhluknya. Kehidupan duniawi hanyalah sehamparan panggung komedi buat aktor amatiran bernama manusia, dan rungsing juga kalau begini jadinya. Aduh Tuhan, beri hamba sedikit rejeki biar hamba dapat makan, lalu kalau perut hamba telah kenyang maka kemudian jadinya hamba dapat berpikir jernih karena tak lagi memikirkan perut keroncong dan lalu dapat memahami cerita yang telah kau tulis. Tak usah banyak-banyak, yang penting cukup dan barokah. Sedikit tapi cukup, atau banyak tapi sisa.

            Nyaris setahun Tuhan, nyaris setahun aku tak bertemu dengannya. Tak memandang matanya, tak menggenggam tangannya, tak mengelus lembut kulitnya, tak mengecup pipi halusnya, tak mencium harum tubuhnya, nyaris setahun dan untuk mencapai setahun hanya butuh beberapa bulan lagi. Buatku itu terlampau lama, tapi kalau menurutmu itu masih kurang, tambahkan saja lagi, tak mengapa, asalkan jangan sampai setahun. Tambahkan saja barang beberapa bulan, mungkin tiga atau empat bulan. Biar aku juga dapat menyiapkan diri, biar aku dapat memantaskan diri sebelum kembali menemuinya. Segala hal yang berantakan biar kurapikan, apa-apa yang berserakan biar kutata kembali, dan perihal kerinduan yang tak lama lagi akan mekar biar kunikmati terlebih dahulu sebelum nanti kupetik bersamanya.

            Buat menempa diriku luar-dalam, aku telah menjalani kehidupan berpantang selama ratusan tahun. Aku menjauhi hingar bingar keduniawian, aku bertapa dalam keheningan gua di dalam otakku, aku menempa tubuhku dalam latihan fisik secara teratur dengan intensitas melebihi militer manapun. Aku menceburkan diriku ke dalam lautan puasa; puasa Daud, puasa senin-kamis, puasa tanpa nyawa, puasa mutih, puasa pati geni, puasa ngidang, puasa ngrowot, puasa ngalong, puasa hari terang serta puasa hari gelap biar niat dan tekadku membatu dalam hati dan pikiran. Telah kupelajari itu ilmu menyingkap hijab penghalang doa, telah kugedor itu pintu langit saban malam, telah kuselami itu sungai penderitaan, dan telah kuukir ayat-ayat Tuhan pada dinding mulutku.

            Maka kemudian, tanpa mengurangi rasa iman dan hormatku padamu, izinkanlah aku untuk berlayar kepadanya. Tunjukkanlah jalan yang telah kausiapkan yang nanti mesti kulalui, terangilah langkahku, berkahilah niatku, dan karuniakanlah kekuatanmu padaku. Kalau di perjalanan nanti aku harus melewati jalan terjal berliku, ringankanlah bebanku. Kalau nanti aku diharuskan mengarungi samudera penuh badai, bulatkanlah semangatku. Kalau kemudian nanti aku akan menapaki jalan yang lurus, gigihkanlah tekadku. Dan jikalau nanti aku mati dalam keadaan mencoba, terserahlah apa yang hendak kaulakukan padaku,  aku akan menerimanya tanpa berusaha melawan.

            Tuhan, apa kau telah mengantuk buat mengobrol bersamaku? Ah syukurlah kalau belum, kukira sudah, sebab kau tampak tak menikmati lagu yang tengah kuputar. Nah, mengapa sebab kau tak suka lagu-lagu klasik? Oh tak ada liriknya, bukannya itu bagus biar kita dapat dan hanya fokus pada permainan musiknya? Memang sih, terkadang memang membosankan, tapi kan ini Mozart dan Beethoven, masa masih tak suka? Oh begitu, iya juga sih, lagu-lagu Sigur Ros memang melampaui mereka berdua. Hah sungguh, apa benar kau menyukai Jason Ranti? Aku malah berpikir kalau musiknya monoton karena ia hanya bermain menggunakan gitar dan harmonika. Ah begitu rupanya, iya juga memang, lirik-lirik yang meluncur deras dari mulutnya memang jujur, dan butuh keahlian khusus buat bernyanyi dengan jujur yang maka dari itu, tak semua orang dapat melakukannya dan beruntunglah mereka yang dianugerahi kemampuan tersebut.

            Tak apa, aku sedang ingin memutar lagu-lagu klasik saja, sudah lama enggak soalnya. Kalau musisi, di Indonesia apa di luar? Baik kalau demikian, tentu yang pertama aku begitu mengidolai jika tak boleh berkata memuja, Iwan Fals. Sama persis seperti alasan yang kau kemukakan tadi, Iwan Fals adalah salah satu dari sedikit musisi yang punya kemampuan buat bernyanyi secara jujur. Idolamu dan idolaku yaitu Iwan dan Jeje, memang sebuah berkah buat Indonesia. Haha benar juga, aku hampir lupa, kan kau juga yang menganugerahkan berkah itu. Tapi kurasa Iwan Fals berada beberapa langkah di depan Jason Ranti, sebab Iwan Fals menunaikan ibadah bermusiknya pada masa ketika kebebasan berpendapat dibelenggu oleh rezim Soeharto, dan coba hitung berapa banyak dari lagu-lagunya yang berisi kritik pedas terhadap pemerintahan ketika itu, atau tak jarang dengan terang-terangan ia mencemooh anggota keluarga dari Sang Diktator.

            Eh tapi benar juga katamu Tuhan, keadaan Jason Ranti sekarang juga tak kalah peliknya sih. Memang presiden Indonesia sekarang berlatar belakang sipil dan bukan militer, tapi ternyata itu pun tak menjamin sebuah pemerintahan tak bakal busuk. Betul, betul, keadaan Jason Ranti juga sulit, sebab ia dengan lirik jujur-derasnya mesti berhadapan dengan UU ITE yang bangke karangan pemerintah serta para anggota dewan yang mulia ahli surga. Aduh tempik! Kalau dipikir, potensi kebusukan di tubuh pemerintah sekarang kelihatannya dapat menyamai kebobrokan dan ketidaknyambungan rezim Orde Baru. Perhatikan saja bagaimana cara Tuan Presiden Republik Indonesia Pemimpin Besar Revolusi Mental Satriya Pininggit Keturunan Besar Raja-Raja Jawa memilih para menterinya. Menteri Kesehatan Terawan adalah dokter dari militer, tak nyambung. Menteri Agama Fahrul Razi dari militer, tak nyambung. Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi dan merangkap menteri KKP Luhut Binsar dari militer, tak nyambung. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dari polisi, tak nyambung. Menteri Pendidikan adalah seorang pengusaha, tak nyambung. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dari militer, tak nyambung. Belum lagi menteri-menteri yang lain yang aku tak tahu. Selanjutnya, Ketua KPK Jendral Firli dari polisi, tak nyambung. Ketua PSSI yang siapa itu namanya aku lupa, juga dari polisi, tak nyambung. Kunyuk, kok begini amat Indonesia, ingin menang dan masuk liga champions dengan komposisi dan formasi yang acakadut begini, betapa tidak nyambungnya orang-orang itu. Ini ibarat kaleng Khong Guan yang isinya rengginang lagi, rengginang lagi. Meski presidennya sipil tapi isinya aparat lagi, aparat lagi. Kaya tak ada orang lain yang becus buat mengampu itu jabatan menteri. Tuhan, bagaimana Indonesia mau maju kalau begini caranya? Kalau ngomong saja kaya yang betul, revolusi mental, revolusi mental, revolusi mental congormu!

            Maafkan aku Tuhan, ampuni aku. Semestinya aku tak bicara begitu, semestinya aku diam sekaligus hanya membantu dengan doa saja seperti wakil presiden kita, biar tak kena ITE. Apa lacur jadinya kalau aku kena UU amburadul itu, nanti malah tak jadi berlayar buat mengunjungi ia di kota tua itu. Tapi omong-omong perihal kota tua, apakah ia baik-baik saja di sana? Apakah hatinya tetap teguh mengimani cita-citanya? Sebab kau juga tahu sendiri karena kau memang menyaksikannya, bahwa dulu orang-orang Belanda membangun kota tua itu dengan uang haram hasil penipuan, pemerasan, penyogokkan dan segala macam intrik dicampur kebengisan yang istiqomah. Kota tua itu kota keras, kota tempat para arwah bajingan bersemayam. Aku takut saja kalau semangat orang-orang Belanda terdahulu itu merasuk ke dalam sukmanya yang lalu kemudian menggoyahkan keyakinannya. Tapi mudah-mudahan tidak, kau mesti menjamin itu, Tuhan. Tolong, bantulah aku dengan janji bahwa kau akan menjamin hal itu. Alhamdulillah kalau begitu. Tunggu aku di kota tua itu, sayang.

            Selamat malam, Tuhan. Selamat beristirahat. Kita rehat sejenak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...