Tuan De Jong, Teh dan Ajax Amsterdam


 

Hidup terasa seperti pengantin baru ketika menjelang mata hendak terpejam. Begitu menggiurkan, menggelora dan penuh cinta.

Aku berkelana entah ke Leiden untuk berkuliah mengambil Jurusan Studi Asia dan Asia Tenggara. Di Leiden, aku bertemu sekaligus bercampur dengan segala rupa manusia ciptaan Gusti Allah. Aku punya satu teman akrab, namanya De Jong dari Amsterdam. Sesekali kadang aku diajak buat mengunjungi rumahnya untuk sekadar makan malam atau melampiaskan kejenuhan dengan bermain playstation, atau pergi ke stadion menonton klub kebanggaan kota Amsterdam yaitu Ajax bertanding. Kadang setelah makan malam atau setelah bermain playstation atau setelah menonton bola, seringkali bapaknya De Jong bercerita mengenai betapa inginnya ia pergi ke Indonesia. Sebab katanya dulu, ayahnya sering diceritakan oleh kakeknya yang adalah seorang sersan kopi di daerah Priangan bahwa Indonesia merupakan representasi vulgar surga di bumi. Dulu mungkin memang begitu Tuan, tapi sekarang segala sesuatu telah berubah karena pemerintah membikin segalanya menjadi berantakan, keluhku menimpalinya. Ia hanya ketawa dan berucap menasehatiku bahwa sebusuk-busuknya daging tetaplah daging, dan begitu pula bahwa sebusuk-busuknya Indonesia tetaplah surga. Nasehat yang terlalu mengada-ada memang, lalu kubalas saja dengan kecuali Tuan memang suka buat menyantap daging busuk, maka pintu Indonesia tak pernah tertutup buat Tuan. Tuan De Jong pecah dalam tawa, sementara De Jong dan ibunya hanya nyengir dengan muka geli mendengar bapaknya berkata begitu, dan lalu menyumpal mulut mereka dengan bercangkir-cangkir teh.

Menyadari bahwa penyumpal mulut tersebut dapat ia gunakan buat mengalihkan pembicaraan, mendadak Tuan De Jong bertanya apakah aku suka minum teh atau tidak, sebab dari tadi cangkirku masih saja kelihatan penuh dan tak ada tanda-tanda bahwa aku akan menghabiskannya. Jangan tersinggung Tuan, aku suka minum teh, tentu aku menyukainya, tapi aku lebih suka minum teh yang berasal dari negeriku sendiri sebab rasanya lebih eksotis, dan sekali lagi tanpa mengurangi kesopanan, teh di sini rasanya aneh, kelakarku. Tuan De Jong kembali ketawa, kali ini sampai terkekeh yang lalu disusul oleh batuk-batuk. Untuk meredakannya, ia kembali menuang teh ke dalam cangkirnya yang mudah sekali kosong. Kali ini raut mukanya agak serius, ia lalu bertanya, tahukah kamu... nah mulai lagi; ini kebiasaan Tuan De Jong. Kalau ia sudah memulai berbicara menggunakan tahukah kamu, itu artinya ia akan menguliahiku, atau menurut pengakuannya, ia ingin sedikit berbagi pengetahuan. Maka, tahukah kamu kalau teh adalah satu dari beberapa produk unggulan tanaman ekspor pada periode sistem kultur? Tentu aku tahu dasar Belanda tukang pamer, gerutuku dalam hati.

Tanpa berbasa-basi ia memulai: ceritanya dulu, abad ke delapan belas sekira tahun 1825 sampai 1830 Pangeran Dipanegara yang  mashur itu yang merupakan anak dari Sultan Hamengkubuwana III memberontak pada pemerintah sebab penguasa di Batavia lebih suka menyerahkan takhta kerajaan kepada adiknya, daripada kepadanya. Lima tahun ia memberontak dengan perang gerilyanya yang terkenal itu. Tapi ujung-ujungnya sebab semakin lama perang itu malah semakin banyak menimbulkan kesengsaraan buat para pengikutnya daripada kemenangan, padahal tak sedikit juga prajurit kompeni yang jadi korban, ia menawarkan suatu perundingan kepada pemerintah yang tentu langsung disetujui sebab kompeni juga sebenarnya sudah tak tahan buat perang melulu. Maka diundanglah Sang Pangeran ke kantor pusat tentara Belanda, dan di situ ia dikhianati lalu ditawan dan kemudian dibuang ke Sulawesi. Perang lima tahun itu yang terkenal dengan perang Jawa, menguras kas kompeni. Belum lagi, tahun 1830 itu juga ketika perang Jawa berakhir, perang juga pecah di Eropa yang berlangsung sembilan tahun lamanya. Belgia memberontak kepada pemerintahan Raja Willem I, yang membuat keuangan Belanda kosong melompong hingga ke dasar-dasarnya, di Belanda dan di Jawa. Karena itu pemerintah langsung menanam teh? Tanyaku mengujinya.

Dasar kau ini, tentu tidak. Ya, pemerintah memang lalu menanam teh, tapi maksudku tidak serta merta seperti itu. Dengar dulu, dengar dulu, makanya dengarkan dulu. Ya, silakan Tuan lanjutkan, aku memberi isyarat dengan anggukan kepala. Sebenarnya masuknya tanaman eksotik ke Indonesia telah dimulai sejak abad tujuh belas. Ini disebabkan oleh kecintaan orang Belanda pada pertamanan, terutama terhadap bunga-bunga dan tanaman eksotik. Pada waktu-waktu itu, banyak dari pejabat-pejabat dan anggota Dewan di Hindia yang punya hobi bertaman di rumah, termasuk salah satunya adalah Gubernur Jenderal Johan van Hoorn. Ia adalah Gubernur yang gemar menanam, banyak sekali tanaman non-Indonesia yang waktu itu ia tanam di tanah luasnya di pedesaan dekat Batavia dan diantara tanaman-tanaman itu terdapat beberapa pohon kopi kecil yang ia dapatkan dari pantai barat daya India. Andai saja presiden di negeriku gemar menanam seperti dirinya, tapi yang bisa dilakukannya hanya merusak. Maksudmu presiden Indonesia? Memangnya menurut Tuan aku terlihat berasal dari Slovakia? Ia ketawa lagi mendengar kelakarku.

Mungkin kalau tak diteruskan oleh Zwaardecroon dan Chastelein dan terutama berkat campur tangan dari kerabat Van Hoorn yaitu Nicholas Witsen yang merupakan seorang hakim sekaligus Direktur VOC yang punya minat besar pada sains dan arkeologi, usaha mereka yang bereksperimen dengan kopi tak akan pernah melangkah lebih jauh. Begitulah lalu kisah berlanjut, pada 1707 tanaman kopi dibagi-bagikan pada kalangan para kepala daerah di sekitar Batavia dan Cirebon. Bupati Cianjur Arya Wiratana, adalah orang pertama yang menyerahkan lima puluh kilo panen pertama ke gudang kompeni pada 1711. Bagaimana dengan tehnya, Tuan? Sebentar, selanjutnya adalah bagian penting, setidaknya buat keluarga kami. Sejak itu, kopi menjadi produk unggulan pemerintah selain dari produk pertanian asli, dan produksinya semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ketika kopi sedang jaya-jayanya, pemerintah lalu memutuskan buat mengangkat pengawas untuk membantu para bupati mengatur produksi dan mengontrol perawatan kebun kopi. Para pengawas inilah yang di antaranya adalah kakek buyutku (ia mengucapkan bagian kakek buyutku dengan nada bangga), yang kemudian dikenal dengan nama sersan kopi.

Gula, kopi dan nila, sebenarnya adalah produk utama sekaligus unggulan selama sistem kultur itu, dan lalu teh menyusul dibudidayakan pada tahun 1832 melalui tangan J. Jacobsen, seorang ahli teh dari perusahaan dagang Belanda. Setelah teh, tembakau juga menyusul. Pada periode ini, sistem kultur alias sistem tanam paksa menenggak untung besar-besaran sehingga mendatangkan pemasukan besar bagi pemerintah dan berhasil mengembungkan kembali kas perbendaharaan Belanda yang sebelumnya kempes. Jadi begitu ceritanya awal mula teh di Indonesia Tuan? Betul, betul sekali. Aku tadi tengah mengerjaimu saja, sebab sebenarnya aku hanya ingin menceritakan kakek buyutku. Begu, ia ketawa puas.

Buku apa yang Tuan baca buat mengetahui semua itu? Mana ada aku membaca buku Tuan Cerdas dari Slovakia, lagian aku lebih senang menonton film. Jadi Tuan mengetahui semua itu dari film? Aduh dasar kau, tentu saja tidak. Cerita yang tadi kuceritakan padamu itu kudapat saat aku berada di sekolah dasar. Dan buat apa sekolah dasar di Belanda menceritakan sejarah Indonesia? Kau pikir tadi itu sejarah Indonesia? Muka Tuan De Jong keheranan tanpa dibuat-buat. Itu tadi sejarah Belanda, sejarah ketika negeri kami mengalami masa-masa sulit. Cerita itu diceritakan di sekolah biar kami orang Belanda tahu kalau tak ada sistem kultur tanam paksa itu, negeri kami mungkin telah lenyap ditelan kemiskinan. Anjing, kukira sejarah Indonesia.

Itu kenangan dua tahun yang lalu, ketika aku masih berkuliah di Belanda. Setelah kuliah selesai aku pulang, dan tentu menikah. Setiap hari, ribuan buku menanti gemas untuk kubaca di rumah sederhana dengan latar pesawahan dan bunyi gemericik air kali di samping. Istri tercinta tengah menyiapkan cemilan yang berupa pisang goreng di dapur, kebetulan tadi siang ketika aku tengah menengok kebun ada beberapa pohon pisang yang buahnya telah matang. Aku menanti di beranda, duduk di atas kayu jaliti gelondongan yang dengan sedemikian rupa telah kubentuk menjadi bangku, lengkap dengan meja berbahan kayu kiara serta asbak dari kerang laut.

Sore ini begitu cerah, layung tampak sebentar lagi akan segera selesai terbentuk di atas kejauhan sana. Angin sejuk merayap meniti tubuhku, memain-mainkan rambut gondrongku, dan menyapu asap rokok perlahan. Di depan sana, di bawah pohon mangga cengkir, anakku kelihatan begitu khusuknya tengah belajar menyiram bermacam bunga yang kami tanam bersama. Sesekali setelah menyiramnya, ia mengelus bunga-bunga itu sembari menyingkirkan daun-daun pohon mangga yang berserakan tak karuan. Adegan-adegan yang ia mainkan dengan sekumpulan bunga-bunga tersebut begitu intens, begitu puitis. Mendadak istriku muncul membawa nampan berisi sepiring pisang goreng, dan segelas kopi prianger pemberian temanku orang Baruk Kai, Cikajang. Kopi kuteguk, dan aku lalu teringat Tuan De Jong. Apa mungkin dulu kakek buyutnya adalah sersan kopi di daerah Cikajang, siapa tahu? Aku nyengir sendiri. Ah, mengapa hidup bisa seindah ini? Apa aku telah berputus asa?

Namun di belahan hati dan pikiran yang lain, badai terus saja berkecamuk. Sebuah kapal berlabuh malas di dermaga, tak hendak berlayar, ogah ingkah. Ia hanya menunggu, menanti badai usai sembari tak henti melantunkan harap semoga badai tak terus mengamuk. Tapi, apa benar badai selalu berlalu? Ah soal itu ia tak tahu, dan siapa pula orang yang tahu? Kadang terpikir olehnya buat turun berlayar dan menghantam menaklukan itu badai, tapi ketika pertimbangannya telah mengusik perihal kalkulasi ia kembali dibuat ciut. Ruginya begitu besar daripada untungnya. Kalau ia tetap memaksakannya, maka itu akan seperti masuk ke dalam kegelapan. Namun setelah sampai di situ, ia kembali dibuat merenung oleh ingatan akan ucapan seorang arif bijak bestari bahwa tak ada kehidupan tanpa risiko. Setiap kehidupan mengandung risiko, seperti setiap rahim mengandung kehidupan. Ah kunyuk! Nyaliku tetap ciut demi menyaksikan badai ini. Telah begitu banyak kapal hancur menjadi korban, telah begitu rakus maut menelan kehidupan. Hujan yang terus-terusan ini juga terus mengompori ketakutanku. Petaka ini begitu mengerikannya.

Sementara di sudut biru di atas sana, doa-doa masih tertahan, entah tengah melewati hijab yang mana. Mereka tengah bertarung sengit seorang diri melawan dosa-dosa sebab sang pemanjat tak punya kekuatan yang cukup untuk melatih dirinya secara gigih dalam laku istiqomah. Meski berasal dari tubuh yang sama, doa-doa dan dosa-dosa tak pernah akur. Hal itu terutama disebabkan oleh seorang Akal yang kerap mengadu domba mereka yang membuatnya mesti selalu saling menikam. Doa-doa kadang memenangkan pertarungan, tapi dosa-dosa masihlah musuh yang amat tangguh di medan perang. Doa-doa hanya punya sedikit pasukan dalam peperangan yang di antaranya yaitu Harapan-harapan yang meluap-luap, Usaha-usaha yang kurang disiplin, serta sekelompok Gagasan gagasan yang malas. Sejauh ini hanya keberuntungan yang membuat doa-doa dapat bertahan. Sementara itu Dosa-dosa ditunjang oleh mereka yang telah begitu ahli dalam hal memenangkan peperangan. Mereka adalah sepasukan elit yang memiliki disiplin tinggi yang terdiri dari Kekhawatiran yang cerdik, Keragu-raguan yang terorganisir, dan yang paling digdaya dari mereka yang sekaligus menjadi panglima perangnya adalah Sang Hawa Nafsu, ahli strategi dengan jam terbang tinggi.

Di tengah samudera di atas kapal, Sang Waktu mengamati peperangan itu dengan tenang sembari menyeruput kopi hangatnya, menanti akhir dari perang itu dengan tidak tergesa. Selain cerdas, Sang Waktu adalah seorang penyabar yang handal.

Sialan, apa aku telah membuka mata?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Kereta Malam