Kematian di Ruang Tamu
Kematianku telah kurencanakan sedari jauh-jauh hari,
persisnya sejak dua puluh lima tahun yang lalu setelah kelahiranku. Aku begitu
bahagia mengetahui bahwa sebentar lagi, sebentar setelah aku selesai bercerita,
kematian telah siap buat menjemputku. Ia tengah menungguku di depan, tapi ia
datang kepagian, lupa bahwa ruhku baru dapat ia renggut nanti pada pukul tujuh
lebih tiga belas malam. Oleh karena aku merasa tak enak, dan kasihan juga kalau
ia kusuruh pulang karena tempatnya lumayan jauh serta akan banyak memakan waktu
di perjalanan, lantas sekalian kujamu saja ia. Aku menawarkan padanya buat
menunggu di beranda, biar sembari menunggu ia bisa sekaligus menikmati
sepoi-sepoi angin sore, dan kalau beruntung, ia bisa menyaksikan indahnya
layung menjelang maghrib. Tapi ia mengelak tak mau dengan dalih bahwa, aku malu
kalau nanti tetangga melihatku sedang enak-enakan mengaso padahal aku telah
begitu terkenal karena tak memiliki belas kasihan. Itu akan merusak reputasiku,
tegasnya. Maka, kematian itu lebih memilih buat menunggu di ruang tamu sembari
meminta dibikinkan kopi pahit dan meminta sebungkus rokok Gudang Garam Merah
buat membunuh bosan. Keparat juga kematian yang satu ini.
Dua
puluh lima tahun yang lalu, beberapa saat setelah aku dilahirkan ke dunia,
seseorang datang membawa selembar kertas berisi beberapa pertanyaan yang mesti
kujawab. Ia terlihat seperti orang baik, berpakaian rapi dengan rambut ikal
rada panjang kira-kira sedikit melebihi bahu. Wajahnya bersih klimis tanpa
cambang ataupun kumis. Setelah mengenalkan dirinya dengan singkat, ia tanpa
basa-basi langsung mengajukan pertanyaan, antara lain yaitu: sebagai apa dan di
umur berapakah kau ingin mati? Itu pertanyaan mudah, kataku. Aku ingin mati di
umur dua puluh lima, sebab aku meyakini bahwa mati muda adalah sebuah kematian
yang indah, dan aku merasa bahwa keren saja kalau nanti aku mati dalam usia
muda.
Ketika di alam ruh, kerap aku
mengobrol bersama teman-teman buat memperbincangkan perihal kematian. Ada
temanku yang merencanakan kematiannya pada umur lima puluh tiga setelah punya empat
anak dan beberapa cucu, ada juga seorang teman yang merencanakan kematiannya
pada umur tiga puluh lima setelah menjadi eksekutif muda dengan tiga istri dan
banyak harta, ada juga yang merencanakan kematiannya pada umur empat puluh satu
ketika sedang menunaikan ibadah haji di Mekah bersama keluarga besar, ada juga
temanku yang merencanakan kematiannya pada umur tujuh puluh empat setelah
mengalami serangkaian penyakit kronis yang terkomplikasi dengan apik dengan
harapan kesakitan itu akan mengangkat dosa-dosanya sebelum kematiannya, tapi
yang paling banyak adalah mereka yang merencanakan kematiannya pada umur enam
puluh satu dengan alasan biar sama dengan umur Kanjeng Nabi ketika meninggal.
Teman-teman memang banyak memilih pilihan terakhir, dan tak lupa buat mencibir
pilihanku yang memilih buat mati pada umur dua puluh lima. Mereka menasehatiku
bahwa seburuk-buruknya kematian adalah mati pada usia muda. Sebabnya ialah
bahwa usia muda merupakan usia yang labil, usia transisi dari remaja menuju
dewasa. Waktu-waktu demikian adalah waktu yang paling rentan sekaligus rawan
bagi manusia karena biasanya pada usia mudalah hasrat akan dunia sedang berada
pada puncak-puncaknya. Oleh karena itu, usia muda pastilah adalah usia di mana
manusia tengah berada pada puncak-puncaknya melakukan dosa sekaligus puncak-puncaknya
malas beribadah, yang mengakibatkan tabungan amal masihlah amat sedikit kalau
enggan berkata kosong.
Tapi mengapa aku berani-beraninya
banyak gaya memilih buat mati muda, tanya teman-teman ketika itu. Telah
kubilang bahwa mati muda itu merupakan kematian yang indah sekaligus keren.
Kalau memakai timbangan umum yang lazim lagi populer, adalah benar bahwa mati
muda merupakan seburuk-buruknya kematian, sedangkan hidup tak melulu soal yang
umum atau mengenai lazimnya. Aku ingin membongkar kebiasaan lama, aku ingin
mematahkan kebiasaan yang telah mengakar begitu lama sehingga menjadi sebuah
tradisi yang dianggap benar padahal belum tentu. Mati muda adalah kematian yang
indah, pikirkan hal ini dengan matang: kau mati pada usiamu yang ke dua puluh
lima, mungkin itu waktu ketika kau masih berkuliah dan sedang asyik-asyiknya
menikmati kegiatan organisasi atau komunitas yang kau cintai. Kau begitu
disenangi banyak teman sebab meski jarang beribadah tapi kau banyak membantu
teman-temanmu yang tengah kesusahan, kau banyak membantu orang-orang yang
terpinggirkan, kau banyak menyelenggarakan acara yang ternyata punya dampak
besar. Kau begitu dicintai terlebih dibutuhkan dan jreng! mendadak nyawamu
dicabut. Tak bakal ada yang menyangka kau pergi secepat itu. Teman-temanmu pada
menangisi kepergianmu apalagi kekasihmu, orang-orang pinggiran yang pernah kau
bantu pada mendoakanmu, teman-teman di organisasi, teman-teman di komunitas,
teman-teman kuliah, teman-teman menongkrong, mereka semua tak menyangka, mereka
semua menyesal. Mereka semua menyesal sebab tak bakal lagi memiliki kesempatan
untuk bertemu denganmu, mengobrol dan menongkrong menghabiskan malam dengan
rokok, kopi dan gitar keropos. Sebelah mananya yang tidak indah, kawan?
Kematian semacam itu adalah kematian yang puitis.
Selain indah, tentu mati muda akan
menjadi sebuah kematian yang keren. Ah perihal ini rasanya tak perlu banyak aku
menerangkannya. Mari ambil saja Kurt Cobain buat dijadikan contoh, keren bukan?
Ia urakan, banyak melakukan kesalahan, banyak menginspirasi orang-orang dan
tanpa ada yang menyangka ia mati muda, atau lebih tepatnya memilih buat mati
muda. Dan lihatlah sekarang, setelah beratus tahun kematiannya orang-orang
masih merindukannya, orang-orang masih memujanya. Selain Kurt, Bob Marley
adalah sosok yang berhasil menunaikan kematian pada usia muda. Setelah
kematiannya, apa masih ada yang mau meragukan keberhasilan dan pengaruh Bob
pada umat manusia? Kalaupun ada, kurasa hanya orang tolol yang melakukannya.
Mati muda mungkin akan membuatku tak
bakal banyak membawa amal karena memang aku sadari amatlah sulit buat
menunaikan segala kewajiban dalam hal beribadah kala umur segitu. Pada umur
segitu mungkin aku tengah matang dalam hal konsistensi perihal berdosa; aku
mesti tengah senang-senangnya berciuman dan meraba-raba kekasihku, atau tengah
begitu bersuka cita sebab tiap waktu dapat menenggak minuman keras bersama
kawan-kawan atau menghisap sekarung ganja. Aku mungkin bakal
memanggul berton-ton dosa ke liang kubur, memikul penyesalan seluas gurun
sahara, dan terkubur dalam perasaan mengutuk diri sendiri. Tapi toh itu
hanyalah kematian, dan kematian merupakan sesuatu hal yang wajar karena
hakikatnya semua yang bernyawa mesti akan modar. Dan aku akan merasa bangga
kalau berhasil menunaikan kematianku pada usia muda, sebab aku selamat melewati
kematian dalam keadaan wajar. Bodo amatlah teman-teman mau ngomong apa.
Aku melongok ke ruang tamu, dan
kematian yang tadi tengah menungguku ternyata pulas tertidur. Lah tolol juga
kalau dipikir-pikir kematian yang mendatangiku ini, tadi minta kopi serta rokok
biar tak bosan, dan ini malah ketiduran. Kelihatannya kematian itu kelelahan,
jadwal merenggut nyawa hari ini tampaknya sedang padat-padatnya. Meski
sebenarnya tak enak, aku beranjak ke ruang tamu, membangunkannya, dan kematian
itu pun bangun dengan mata beratnya. Ia minta izin ke kamar mandi sebentar
sebab ingin mencuci muka biar segar atau kalau kau tak keberatan, ia
menambahkan, bolehkah aku sekalian menumpang mandi? Tuan Kematian tak usah
tergesa, umurku masih tersisa barang lima belas menit lagi. Silakan Tuan
Kematian mandi dahulu biar segar, biar pikiran kembali jernih dan tenaga
kembali pulih. Kalau Tuan merasa lapar dan hendak makan, di meja makan masih
ada goreng tempe dan sepotong ikan bekas aku makan tadi siang, tak usah
canggung begitu, bukankah kita telah saling mengenal sejak lama bahkan sejak
aku lahir? Bukankah sejarah telah membuktikan bahwa aku dan Tuan memang telah
menjadi teman akrab sekaligus sahabat karib? Ia mengangguk dan ketawa demi
mendengar ucapanku itu.
Mandi kelar dan perut pun mekar, mari ke sini
wahai kau Tuan Kematian yang perkasa tanpa belas kasih, mari kita mengaso di
beranda biar tak pengap. Tak usah khawatir kelihatan atau ketahuan tetangga,
hari telah tua dan beranjak gelap. Kami berdua duduk di beranda, merokok
bersama, ia dengan Gudang Garam Merahnya dan aku dengan Dji Sam Soe-ku. Kami
hanya diam, tak memperbincangkan apapun. Hening. Hanya semilir angin serta
suara jangkrik dan katak di sawah yang membuat suasana semakin puitis. Tuan
Kematian sesaat lagi akan menunaikan tugasnya, dan aku telah menjadi begitu tak
sabar. Pukul tujuh lebih sepuluh, Tuan Kematian mematikan rokoknya, menenggak
sisa kopi pahitnya hingga tandas. Sedangkan aku, aku hanya memejamkan mata
dengan rokok di bibir sembari menikmati rayuan angin. Ah mengapa malam ini
begitu indah, mengapa begitu puitis?
Tujuh tiga belas, adzan berkumandang,
dan Tuan Kematian itu berdiri menghampiriku. Aku membuka mata, menatap Tuan
Kematian dengan perasaan campur aduk antara senang, puas dan bangga. Tapi
sebelum menunaikan tugasnya Tuan Kematian lantas bertanya, mengapa kau terlihat
begitu berbahagia? Aku hanya tersenyum, dan hal terakhir yang kuingat adalah
suara komat Mang Oje dari toa mesjid.
Kulihat istriku berlari menubruk memeluk
tubuhku sembari meraung dalam tangis. Aku lupa mengucapkan selamat tinggal
padanya.
Komentar
Posting Komentar