Upaya Menegur Tuhan


 

 Apa aku terlalu berharap padamu, Tuhan?

            Sebagai salah satu dari banyak makhluk yang Kau ciptakan, dan sebagai seorang manusia biasa, kadang aku bingung bagaimana caranya membuat hidup ini setidaknya terasa benar. Orang-orang soleh kerap berkhotbah bahwa biar tenang hidup ini maka selalulah kita mesti beribadah pada-Mu. Sebab tak lain mengapa manusia diciptakan adalah semata-mata untuk beribadah pada-Mu. Kalau aku boleh jujur, sebenarnya ucapan orang-orang soleh itu basi buatku, terlebih begitu membosankan. Entahlah, bagiku kalau hidup hanya sekadar untuk beribadah tidakah itu justru terlalu mudah buat dikerjakan? Buktinya di dunia ini orang-orang soleh setiap harinya malah semakin bertambah saja daripada berkurang. Masjid-masjid selalu penuh, pesantren-pesantren semakin sesak, dan jangan lupa, ormas-ormas berazaskan islam berjamuran tak karuan.

            Tuhan, aku punya cerita. Sekali waktu aku pernah naik pesawat. Aku tak tahu siapa pilotnya; namanya, asalnya dari mana, apakah ia rajin ibadah atau tidak, dan apakah ia seorang dari jenis lelaki bajingan aku juga tak tahu. Hanya saja anehnya, aku nyaman saja, aku merasa tenang saja berada di dalam pesawat. Tak sedikit pun takut jatuh atau nyasar atau tabrakan atau apalah. Aku yakin saja kalau aku akan selamat sampai tujuan. Sering juga aku naik kereta, Tuhan. Dan tahukah Engkau kalau perasaanku sama? Tak timbul rasa khawatir secuil pun walau aku tak mengenal masinisnya. Hal itu tak pernah jadi soal. Aku percaya saja kalau aku akan selamat sampai tujuan. Namun seringnya ketika aku hendak melakukan perjalanan adalah memang dengan menggunakan bis. Benar Tuhan, benar sekali tebakan-Mu. Aku selalu selamat sampai tujuan meski tak tahu siapa sopirnya.

            Namun entah mengapa, dan ini anehnya. Ketika aku tengah mengarungi perjalanan dalam kehidupan, aku tak pernah merasa tenang sekaligus selalu khawatir akan menjadi bagaimana akhir dari perjalananku. Akankah aku selamat sampai tujuan? Dan najisnya, aku tak pernah tahu ke mana tujuanku sebenarnya. Padahal aku mengenal-Mu Tuhan, setidaknya aku merasa begitu. Tapi tetap saja aku tak dapat tenang menjalani hidup walau kau telah menjaminnya. Aku selalu saja khawatir akan kehidupanku yang kurasai begini-begini saja. Aku resah, aku ragu. Dalam menjalani perjalanan hidupku, aku tak pernah merasa setenang ketika berada di atas pesawat, atau di dalam kereta, atau bahkan saat aku di dalam sebuah bis. Aku kerap merasa takut. Takut gagal, takut tak berhasil, takut tak selamat sampai tujuan.

            Padahal bukankah Engkau Sang Maha Segalanya yang menjanjikan akan selalu menjamin apapun kebutuhan makhluknya, baik yang tak diminta apalagi diminta? Hanya saja yang kurasakan aku masih begini-begini saja walau telah meminta segalanya pada-Mu, walau telah memohonkan apa-apanya pada-Mu. Atau jangan-jangan, apakah aku saja yang tak pandai bersyukur? Atau apakah aku yang kurang berusaha dan apalagi berdoa? Atau aku memang orang yang tak punya cukup tenaga sekaligus tak memiliki keyakinan bahwa suatu saat pintu langit yang saban hari kugedor akan terbuka? Entahlah Tuhan, begitu sulit untuk menilai diri sendiri memang.

            Sejauh ini dalam hidupku, rasa khawatir abadi meliputiku. Ia semacam kabut tebal yang tak pernah dapat kusingkap. Membuatku linglung, membikin aku ragu untuk melangkah. Aku khawatir menjadi miskin. Aku khawatir menjadi orang gagal, aku khawatir menjadi pecundang, aku khawatir tak punya banyak harta. Singkatnya, aku mengkhawatirkan segalanya, apalagi perihal jodoh. Lantas bagaimana bisa aku takut miskin sedangkan katanya Tuhanku Maha Kaya? Bagaimana bisa aku takut tak dapat makan esok hari sementara orang-orang soleh melulu berkata bahwa sejatinya Tuhanku adalah Sang Maha Mencukupkan? Atau sekali lagi, apa aku saja yang tak pandai mensyukuri apa-apa yang telah Kau beri? Aku takut, Tuhan. Aku khawatir. Aku ingin selamat melakoni perjalanan hidupku ini. Aku harus selamat.

            Oh aku tahu, apa mungkin karena aku kebanyakan dosa jadinya Kau menunda untuk menjawab doa-doaku? Benar begitu? Namun sebentar, taruhlah aku memang seorang pendosa handal atau ahli maksiat, tapi dengar-dengar bukankah Engkau juga Sang Maha Pengampun? Atau apakah Kau tengah mengujiku? Kalau benar begitu, aku tak akan meminta pada-Mu untuk memudahkan segala soal-soal ujiannya. Aku hanya akan meminta pada-Mu agar Kau sudi sejenak untuk meminjamiku kekuatan supaya aku dapat melewatinya, terlebih berhasil lulus. Karena sebenarnya aku lemah Tuhan, aku lapar, aku belum makan. Ah, tapi betapa hal ini begitu memusingkannya, lebih-lebih ketika tengah kelaparan begini.

            Tak jarang aku bertanya pada orang soleh nan alim yang mahir ilmu agama sekaligus ahli ibadah mengenai apa yang kurasakan ini. Hanya saja penjelasan atau jawaban dari mereka sekali lagi begitu membosankannya, begitu basi. Untuk setiap pertanyaan yang kulemparkan, dan untuk setiap soal yang kuajukan, mereka hanya akan menjawab bahwa kamu tak perlu khawatir sebab Tuhan sejak jauh-jauh hari telah menggariskan serta menuliskan nasib dan takdirmu. Kamu hanya perlu menjalaninya, hanya perlu mengalir mengarungi arus kehidupan. Rajin-rajinlah kamu beribadah, sering-seringlah kamu berbuat baik, dan pandai-pandailah kamu dalam memanjatkan doa-doa. Niscaya pada suatu ketika, Tuhan akan menjelma menjadi apapun yang kamu inginkan, atau yang kamu harapkan, atau yang kamu impikan. Itu mudah buat-Nya.

Bukankah jawaban seperti itu terdengar menggelikan terlebih basi? Ah kehidupan, begini amat. Semoga Kau tak tuli, Tuhan. Semoga Kau tak tuli dan buta huruf. Sebab percuma saja jadinya aku mengoceh sebegini rupa kalau ternyata Kau tuli. Percuma juga jadinya kalau keluhku yang kutulis ini tak dapat Kau baca. Tapi semoga saja, Tuhan. Semoga saja. Sebab hanya bersemoga yang mampu kulakukan, dan maafkan kalau aku bukan penyemoga yang ulet seperti nabi-nabi-Mu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...