Ibadah Cilaka
Terlalu
banyak cita-citaku yang tak kesampaian, dan sialnya hanya satu yang tetap. Aku
ingin menjadi ahli surga dengan hanya mengamalkan ibadah-ibadah yang tak perlu.
Sebab begini, terlalu biasa orang-orang menggembleng diri supaya saleh dengan
mengamalkan secara paripurna itu rukun islam atau rukun iman. Telah terlalu
banyak, jalan itu terlalu padat, terlebih
sesak. Banyak orang-orang terjebak pada hanya membaca syahadat, atau mendirikan
solat, atau mengeluarkan zakat, atau melakoni puasa, dan ataupun menunaikan
ibadah haji. Tak sedikit juga orang-orang yang bisanya hanya mampu percaya, cuma
bisa mengimani Allah, rasul-rasul, malaikat-malaikat, kitab-kitab, hari akhir
dan pada qadha dan qadar. Ibadahnya hanya sebatas
itu, hanya sampai di situ. Ibadah semacam itu kebanyakan membuat orang-orang
pada lalai dan abai tak ketulungan.
Begitu terang buktinya. Sekarang, secara gamblang, di hadapan
mata telanjang kita, segerombolan garong yang berisi orang-orang saleh merampok
kita. Apa lacur,
menempel juga sekarang getah perbuatan mereka. Suara rakyat tak pernah
didengar. Protes tak digubris, kritik dibungkam, dan saran pun enteng saja
dilempar ke kandang babi. Persetan perihal kesehatan, biar rakyat pada mati
saja kena korona. Lagi pula itu bagian dari seleksi alam, yang banyak duit yang
bertahan. Pilkada pun demikian tetap harus dilaksanakan, sebab sebuah bangsa yang berdaulat harus memiliki struktur
utuh yang tak rentan rapuh. Persetan akal sehat!
Persetan juga itu para ilmuwan! Eh,
persetan juga itu dokter-dokter dan tenaga kesehatan yang mati. Mampus! Modar saja kalian rakyat kecil. Tak usah takut
kehilangan harta, sebab kami secara sukarela dan dengan kesadaran penuh akan
senang untuk menggarongnya dari kalian. Selamat merayakan kematian orang-orang
kalah. Enyahlah ke neraka dan bilang pada Tuhan bahwa kami belum mau mati, sebab masih ada kerjaan
belum selesai. Masih ada perempuan yang harus kami perkosa, masih ada emas yang
harus kami gali, masih ada uang yang
harus kami habiskan, dan masih ada negara yang siap kami jual.
Aku meyakini bahwa tak sedikit para anggota parlemen yang
rajin menekuni ibadah-ibadah yang kusebutkan tadi. Malah rasanya, aku berani menjamin
bahwa hampir semua anggota parlemen bergelar haji. Sebelas dua belas dengan
orang-orang di pemerintahan sebenarnya. Pun jangan
ditanya pula berapa jumlah orang yang telah bergelar haji di pemerintahan, sebab jawabannya sudah pasti tak terhitung. Bahkan beliau yang mulia gagah
perkasa satriya pininggit keturunan besar raja-raja jawa pemimpin besar
revolusi Tuan Presiden bangsa ini, telah berkali-kali masuk ke dalam Ka’bah.
Entah mungkin untuk solat atau berdoa, atau hanya ketimbang daripada bete. Oh
ya, ingat juga bahwa wakil tuan
presiden negeri ini juga adalah seorang haji. Eh tak hanya seorang haji, tapi kyai haji. Eh dan
tak hanya seorang kyai haji tapi, beliau yang mulia terhormat berdarah agung adalah
cucu dari seorang ulama berpengaruh yang melampaui zaman. Maha Suci Allah.
Namun apakah mereka melakukan sesuatu yang berarti? Tidak.
Tidak haji-haji di parlemen, tidak haji-haji di pemerintahan, tidak wakil tuan
presiden yang kyai haji, tidak juga haji tuan presiden yang mulia yang telah
berkali-kali masuk Ka’bah. Orang-orang semacam mereka hanya peduli satu hal,
yakni dirinya. Orang-orang seperti mereka hanya mampu solat di kamar yang
dihias kaligrafi berkelas dengan beberapa lukisan indah, tergelar di lantainya
karpet empuk kualitas terbaik bikinan negeri-negeri di dunia Arab, bertumpuk-tumpuk al-quran di lemari mungil di sudut,
seraya berdoa dengan memohon untuk keselamatan dirinya dan keluarganya. Semoga
dijauhkan dari bahaya dan bencana, dijauhkan dari segala susah dan getir,
dijauhkan dari miskin dan sengsara, serta semoga diberi kelimpahan dan kelancaran
dalam urusan rejeki dan dapat cabut dari dunia dengan khusnul khotimah. Amin.
Tak bakal ada di antara mereka yang peduli pada kaum jelata.
Setidaknya, tak ada ceritanya di negeri ini. Di sini, di negeri ini, yang abadi
hanyalah ketamakkan. Peduli setan rakyat kelaparan, atau malah lebih bagus mati
saja sekalian. Itu karena kerjaan kami telah begitu banyaknya. Kami harus
mengurus dan memanjakan diri kami, keluarga kami, teman dekat dan sahabat jauh
kami, dan orang-orang yang setia pada kami. Kalian rakyat kecil makanya kalau
ingin berubah ya kuncinya hanya kerja. Kerja, kerja, kerja! Jangan hanya
becusnya demo, demo, demo. Mestinya kerja, kerja, kerja! Kerja sampai kalian tipes. Kerja hingga kalian mampus.
Perkara duit, biar itu kami yang urus. Tapi perihal makan, biar kalian cari
sendiri.
Itulah mengapa cita-citaku ingin menjadi ahli surga dengan
hanya melakoni ibadah-ibadah yang tak perlu. Sebab ibadah-ibadah yang serius
yang berbobot yang di antaranya kusebutkan tadi mudah menggiring orang pada
jurang kebiadaban. Sebab ibadah-ibadah tersebut
kalau tidak dibekali dengan akal sehat dan hati nurani yang bersih hanya akan
membawa kita pada sikap eksklusif yang berdasar pada keinginan kuat untuk
mementingkan diri sendiri. Hanya ibadah-ibadah kecil yang tak perlu yang dapat
menjaga kewarasan seseorang. Bisa saja ibadah itu berupa menyiram bunga di
halaman, atau memberi makan kucing kelaparan, atau memberi minum anjing
kehausan, atau tak menyalakan lampu pada siang hari, atau mengurangi penggunaan
plastik, atau membaca buku dari kiri, atau menyenangkan hati orang lain, atau
(dan ini yang paling kusenangi) apabila kau mampu, tersenyumlah pada segenap
seisi alam.
Biar saja anggota parlemen, orang-orang pemerintahan, aparat
yang berwenang, termasuk wakil tuan presiden yang kyai haji itu, dan tuan presiden yang
mulia gagah perkasa satriya pininggit keturunan besar raja-raja jawa pemimpin
besar revolusi, Tuhan yang
urus. Tapi sebelum itu, jagalah api di dalam hatimu tetap menyala.
Komentar
Posting Komentar