Nona Norie


 

Aku tengah sebal pada Norie, teman kuliahku dulu di Jogja. Kami berdua sejurusan, mengambil Hubungan Internasional. Kami juga berbagi kontrakan bersama, selalu mengambil jadwal mata kuliah sama, dan lulus juga bersamaan setelah menyelesaikan kuliah dengan tepat empat tahun. Sementara setelah lulus aku lebih memilih untuk melamar kerja di sebuah perusahaan swasta, Norie malah berpikir untuk melanjutkan studinya ke luar. Tentu aku mendukungnya. Secara aku adalah seorang sahabat terdekatnya kalau enggan berkata sahabat terbaiknya. Norie mengajukan beasiswa, pemerintah menerimanya, dan beberapa bulan setelahnya ia langsung berangkat ke Singapura.

            Setahun serasa kemarin, dan siang tadi kami akhirnya bertemu. Beberapa bulan sebelumnya kami memang sengaja mengatur waktu biar dapat ketemu, setelah mencocokkan jadwal liburnya dengan jadwal cuti kerjaku, aku dan Norie menyepakati untuk bertemu di Jogja saja. Sekalian bernostalgia pada masa-masa perkuliahan. Ketika melihatnya, tangis haru langsung berderai. Kami berpelukan lama sekali, menangis bersama, dan saling memuji perubahan pada diri masing-masing sebelum diakhiri ketawa karena baru sadar kalau hampir seisi kedai memandangi tingkah kami.

            Kerinduan tumpah ruah ke atas meja, mengenyangkan sekaligus memutus dahaga kami yang haus oleh cerita. Mula-mula aku yang bercerita. Menuturkan padanya perihal pahit manisnya dunia kerja, perihal bagaimana hari-hariku selalu dipenuhi tuntutan dan target, betapa waktu bergerak begitu cepatanya di dunia kerja, dan betapa setelah hampir setahun aku kerja, seorang lelaki teman kerjaku yang mungkin telah mengincarku sejak lama menyatakan bahwa ia ingin menjadi kekasihku. Rencananya akhir tahun aku akan menikah dengannya.

            “Cerita begitu telah sering kudengar. Bukankah sudah biasa seseorang terjebak cinta lokasi apalagi di dunia kerja?” Ejek Norie sembari tak henti-hentinya menahan ketawa. Tapi meski mengejek, Norie lalu mengucapkan selamat kepadaku dan katanya, ia turut sangat berbahagia. Walau katanya lagi, Norie belum bisa memastikan apakah nanti pada saat pernikahanku ia akan datang atau tidak. Norie tak mau janji sebab takut tak dapat menepatinya tapi, lihat saja nanti, katanya.

            “Lalu bagaimana Singapura? Betah di sana?” Tanyaku kemudian.

            Norie dengan tangkasnya menjawab betah, malah sangat betah dan begitu bersyukur bahwa ia bisa berkuliah di sana. Norie kemudian bercerita tentang Singapura dengan penuh puja-puji serta gemerlap rasa hormat dan ketakjuban yang berlebihan, seperti kena sihir. Norie begitu betah berkuliah di Singapura karena di negara itu semua hal sangat teratur dan tertib, paparnya. Terlebih, aturan-aturan yang diterapkan oleh negara itu memang membawa perubahan dan manfaat bagi warganya. Lihatlah betapa Singapura adalah sebuah negara yang begitu bersih, tak mungkin kautemukan sampah berserakan di jalan atau di tempat-tempat umum sebagaimana kau biasa temukan di Indonesia. Di sana, jalanan juga begitu rapinya terutama, tak pernah macet seperti di sini. Semua orang tertib di jalan, menjalankan semua peraturan lalu lintas dengan sebaik-baiknya. Beda dengan di sini, lampu belum juga hijau orang-orang sudah pada tak tahan ingin menebas itu lampu merah. Jangankan mematuhi peraturan atau menjalankan tata tertib berkendara dengan baik, untuk berbaris di lampu merah saja masih acak-acakan tak karuan. Belum lagi, langit di sana bersih tak tercemar sebagaimana banyak langit di kota-kota di sini, terutama di Jakarta. Tak ada di sana orang-orang tolol yang merokok seenak jidat di tempat-tempat umum, atau di pinggir jalan, atau di atas kendaraan seperti di sini. Kalaupun ada orang yang merokok, mereka para perokok itu begitu tertibnya merokok di tempat yang telah disediakan khusus oleh pemerintah, dan jumlah perokok di sana memang begitu sedikitnya. Yang membuat aku kerasan tinggal di sana adalah betapa warga negaranya punya laku disiplin yang begitu tinggi. Hanya disiplin yang dapat membuat sebuah negara menjadi maju, contohnya sudah jelas, Singapura itu.

            Entah mengapa aku merasa risih dan sakit hati mendengarkan Norie bercerita. Baru setahun di sana dan ia telah lupa harus berterima kasih pada siapa. Kalau pemerintah Indonesia tak memberinya beasiswa, mana mungkin ia dapat berkuliah di Singapura. Ini malah pulang-pulang nyerocos mengatai negerinya sendiri.

            “Secinta itu kamu sama Singapura, Nor?”

            “Siapa yang tidak? Kamu juga kalau tinggal di sana pasti sepertiku.” Kelitnya licin.

            “Tak mungkin. Aku masih punya harga diri.”

            “Maksudmu?”

“Maksudku begini: Indonesia itu negara besar, penduduknya banyak. Tak seperti Singapura yang kecil dengan penduduk yang sedikit, maka wajar saja kalau peraturan di sana lebih gampang diterapkan. Karena penduduk kita banyak, maka di Indonesia sampah-sampah pun sampai menjadi gunung. Itu tandanya penduduk kita makmur, Nor. Sampah di mana-mana, itu tandanya kemakmuran juga di mana-mana. Banyak orang makan, banyak orang jajan, banyak orang buang puntung rokok, banyak plastik, banyak bekas botol minuman dan lain-lain. Berarti kan makmur? Jalanan sesak oleh kendaraan itu juga tanda kemakmuran Norie. Kalau penduduk kita miskin mana mungkin beli motor atau mobil? Bahkan mungkin kamu punya tetangga yang di rumahnya punya motor lebih dari satu; satu buat bapaknya, satu buat ibunya dan satu buat anaknya? Jadi wajar saja kalau jalanan di sini macet. Kalau di sana jalanan sepi, mungkin penduduk di Singapura tak lebih makmur daripada penduduk Indonesia. Lalu apa katamu tadi? Pengendara di sini tak bisa berbaris rapi di lampu merah dan tak pernah sabaran? Aduh Norie, kamu ini bagaimana sih? Itu kan artinya pengendara kita gesit, tak mau membuang-buang waktu di jalan, dan ingin secepat kilat sampai ke tempat kerja. Jelas wajar jugalah kalau langit di sini banyak tercemar karena banyaknya kendaraan, itu tanda kemakmuran Nor, tanda kemakmuran. Apalagi tentang rokok. Norie, Norie… orang miskin yang tak punya uang mana mungkin mau membakar uangnya untuk merokok? Jelas-jelas itu tandanya… ya, kamu benar. Makmur Nor, makmur. Sejahtera!"

Tadi siang Norie hanya melongo, tak mampu ia mengelak dari kebenaran kata-kataku. Percuma kamu jauh-jauh kuliah di Singapura, Norie. Sebelum kami berpisah Norie hanya berucap singkat, “sepertinya akhir tahun aku memang tak bisa datang ke pernikahanmu.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...