Mimpi Bulan Terang

 


Hari-hari semakin melambat, sementara waktu kian begitu kencangnya berlari. Untuk menemukan sesuatu yang berarti dalam diri, selain butuh keberanian untuk jujur pada diri, jangan lupakan bahwa manusia juga memerlukan waktu. Hanya saja waktu, alangkah begitu sulitnya untuk diajak berkompromi. Sial, dan sial. Apa benar kesuksesan akan datang kalau memang telah sampai pada waktunya? Mungkin ya, dan memang belum sekarang. Atau mungkin tidak? Atau mungkin manusia memang mesti berdarah-darah untuk mengupayakannya?

     Materi, uang, dan rejeki, punya kedudukan yang begitu mulia pada kekaisaran waktu. Ia memerintah, ia mengatur, ia menghukum dan bahkan ia pun membunuh. Tak ada kuasa pada diri manusia, yang ada hanya naluri untuk mematuhinya. Manusia tak dapat mengendalikannya, ia hanya diberi tiga pilihan yaitu, untuk diam, bekerja, atau mati. Hari demi hari manusia habiskan untuk mengabdi padanya, seakan dunia hanya perihal tentangnya. Tapi mau bagaimana lagi, kekaisaran waktu memang sulit buat dilawan apalagi dijatuhkan.

           Di dalam kekaisaran waktu, setiap orang berlomba untuk saling menunjukkan siapa yang terbaik. Demi upaya itu, tak jarang manusia mengupayakan segala cara dari yang halal dan apalagi yang haram. Saling hujat, saling sogok, saling caci, saling hina, atau bahkan saling bunuh adalah praktek yang lazim demi menyingkirkan saingannya. Semua hanya demi ia. Semua hanya demi waktu. Demi waktu! Walaupun sebenarnya manusia terlahir dengan membawa serta naluri kebebasan tapi, di hadapan kekaisaran waktu ia tak akan dapat berkutik. Di hadapan sang waktu kebebasan hanyalah sebuah utopia. Di dalam kekaisaran waktu, manusia akan tetap dalam keadaan terbatas. Kehendaknya terbatas, kemampuannya terbatas, dan tentu waktunya terbatas. Waktu tetaplah jaya. Waktu akan selalu digdaya.

         Demi waktu yang agung, aku akan patuh dan mengabdi sepenuh jiwa raga. Demi waktu yang mashur, aku akan membela dan menyingkirkan musuh-musuhmu. Demi waktu yang mulia, aku akan menjadi kawula sepanjang hayat dikandung badan. Dan demi waktu yang perkasa, aku hanyalah manusia lemah tanpa pertolongan darimu. Terimalah sembahku. Terimalah pengabdianku. Terimalah baktiku. Terimalah aku, manusia hina ini.

 

Kepergianmu adalah kepergianmu. Menjadi lain halnya jika kau memilih pergi dengan lelaki lain, itu kiamat bagiku. Sementara kiamat lazimnya hanya menyajikan pemandangan gonjang-ganjing kerusakan alam dunia beserta isinya, dan hal itu sudah jelas hanya menyangkut hidup dan mati. Yang kurasakan ini, lain. Lebih baik jika memang terjebak di antara pilihan hidup atau mati, tapi aku tengah berada di atas sungai mengarungi kematian dalam menjalani kehidupan.

Sebagai lelaki beriman maka kuterima persembahan darimu itu. Kendati begitu, setiap lelaki dari jenis apa pun selalu memiliki perasaan yang bercabang, semacam cabang yang biasa dimiliki oleh perempuan dalam maksudnya. Sialnya cabang itu tumbuh dalam hatiku, dan sebagai seorang lelaki biasa yang penuh cabang, menerima persembahanmu itu aku hancur.

Begini, aku mencintaimu. Aku mencintaimu adalah aku mencintaimu. Aku yang mencintaimu ini tak bisa buat berhenti untuk aku tidak mencintaimu. Aku mencintaimu ya aku mencintaimu. Kau nyaman dengan dirimu sendiri atau kau memilih nyaman dengan dirimu sendiri, aku baru mengerti malam tadi saat kau menunjukan ternyata sudah tidak sendiri. Dua hari dua malam kau berbincang di telpon, telah cukup menjadi buktinya. Tuhan, itu buatku takjub sekaligus nyeri. Kuakui itu susah, terlebih menyiksa mengetahui bahwa kau sudah tidak sendiri.

Selama ini pun kau selalu bilang bahwa sendiri bagimu adalah sebaik-baiknya pilihan. Aku kagum padamu. Seharusnya memang, seorang perempuan merdeka memiliki kehidupan merdeka sekaligus pikiran merdeka sekaligus merdeka untuk memilih, dan kau memilih untuk sendiri. Itu membuatmu nyaman, aku paham. Itu membuatmu bebas, aku mengerti. Itu membuatmu bersinar, tak diragukan lagi. Itu membuatmu senang, aku pun begitu.

Namun patah hati adalah patah hati, dan menyesal adalah sebaik-baiknya penderitaan, untukku. Sesuatu yang selalu membuat otakku sibuk bertanya adalah rasanya aku tak pernah mendapat kesempatan, kau tak pernah memberiku kesempatan untuk membuktikannya. Sedari awal kau memang menutup pintu. Kau tak pernah membuka pintumu sehingga aku bisa masuk ke pekarangan depan hatimu, menanam segala rupa benih seperti perhatian, kasih sayang dan cinta kasih, yang kemudian dalam perawatan terbaik dapat tumbuh menjadi pohon-pohon dengan akar kuat yang bisa membuatmu bahagia dan akhirnya jatuh cinta. Jangankan untuk memasukimu, memasuki pekaranganmu saja aku tak becus.

Dan kehilangan adalah kehilangan. Sekuat apa pun aku menahan, yang pergi akan tetap pergi. Selemah apa pun aku, itulah karena dirimu. Sebab aku mencintaimu. Sebab aku mencintaimu, aku hanyut dalam sungai air mataku ke jurang yang telah kau ciptakan.

 

Lebih dapat dikatakan mustahil untuk menemuimu pada alam nyata. Kenyataannya aku hanya dapat merengkuhmu pada alam mimpi. Sekali lagi, dan entah telah berapa kali atau entah sampai kapan aku hanya akan bertemu denganmu pada alam mimpi. Bukan aku tak bersyukur! Sungguh tak ada yang mampu lebih membuatku bahagia selain daripada bertemu denganmu, walau pada alam mimpi sekalipun. Hanya saja, harus sampai kapan? Tak banyak yang dapat kuperbuat pada alam mimpi. Kejadiannya mesti selalu sama dari mimpi ke mimpi; kau datang menghampiriku sementara aku sedang duduk atau kadang berbaring, kita mengobrolkan hal-hal yang entah sampai sekarang aku tak tahu isinya, kita berbincang tanpa suara tanpa aku bisa mendengar suaramu, karena semuanya seakan-akan hanya tak lebih dari potongan gambar atau adegan belaka.

Memang kenyataannya begitu, semua tak lebih daripada itu, potongan-potongan gambar belaka. Tapi bagaimanapun itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Aku tahu mungkin kamu pun sedang sibuk berkelahi dengan dirimu sendiri atau dengan pikiranmu sendiri, tapi apa benar sungguh tak ada waktu? Maka kalau kamu memang sedang benar-benar berkelahi dengan segala hal yang melekat pada dirimu, segeralah selesaikan, dan menangkanlah. Aku menunggumu, selalu seperti itu. Kau boleh berencana untuk membuatku menunggu selama ratusan atau ribuan tahun dan aku tak akan pernah mundur, sejengkal pun! Bukan perihal lamanya menunggu yang membikinku cemas, tapi kenyataan bahwa pada setiap detik yang kaulalui akan ada lelaki yang mungkin kau temui yang bukan aku.

Kemungkinan itu benar-benar begitu mungkin bagi seorang perempuan sepertimu, dan kamu pun tahu itu. Namun jangan salah sangka, meski demikian halnya, aku tak akan pernah sedetik pun untuk luput dari usaha mengejarmu, sehembusan nafas pun! Dengan berkata begitu, rasanya aku memang jenis dari lelaki congkak tapi, bukankah lelaki memang mesti dapat melakukan apapun untuk dapat mewujudkan mimpinya? Sepertinya memang bukan rasanya lagi, tapi aku memang benar-benar lelaki congkak! Demi apapun, aku tak peduli.

Kamu silakan saja mau berbuat apa, mau kencan dengan siapa, mau bersikap bagaimana, mau pergi entah ke mana, dan terus bertanya padaku mengapa, maka aku tak akan menghalangimu, setapak pun. Kamu memang harus menikmati dunia, kamu memang harus bisa berbahagia dengan caramu sendiri, kamu memang selazimnya membahagiakan orang tuamu, dan terutama kamu mesti menjadi dirimu sendiri. Maka aku tak akan memaksakan kehendakku, aku tak akan memaksakan sesuatu hal pun padamu. Sebaliknya malah, buatlah dunia bertekuk lutut di hadapanmu sebelum kemudian nanti aku dapat menaklukanmu. Tak usah cemas pada kemungkinan bahwa aku mungkin akan berhenti untuk menggapaimu, tak perlu. Percaya saja padaku, percayai saja aku! Aku akan tetap di sini, menunggu kamu kembali, menanti kamu pulang. Pergilah taklukkan dunia, tapi jangan lupa pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...