Mengenang Masa Depan

 


Mengapa kau mesti meratapi kehidupanmu yang berantakan itu? Hentikan semua itu. Bersihkan, dan jangan meratapinya. Bangun pagi, solat subuh, bereskan tempat tidur, sedikit berolahraga, siram tanaman, lalu mandi. Sikat gigimu, bersihkan seluruh tubuhmu. Sembari menunggu nasi matang berjemurlah dahulu, biar kulitmu sehat, biar tulangmu kuat. Biar hangat juga ke tubuh, kan? Ah ya, rambutmu juga nantinya akan segera kering. Tenggak kopi di tanganmu, dan hisaplah dalam-dalam rokok kretek di tangan kirimu itu. Maka nikmat mana lagi yang akan kau dustakan? Nah sekarang, barulah kemudian kau berpikir.

        Apakah mungkin segalanya terwujud hanya dalam satu tarikan nafas saja? Tarik nafasmu perlahan, tahan dan hembuskan. Segalanya kemudian menjadi nyata. Kau sedang menangis menghadap Ka’bah, disaksikan Tuhan. Ibu dan Bapakmu juga menangis, mereka di sampingmu. Kalian bertiga meminta ampun, kalian bertiga mengucap syukur, kalian bertiga mengecup hajar aswad, kalian bertiga menapaki jejak-jejak para nabi sekaligus merenungkannya dan kemudian kembali mengucap syukur.

       Keesokan harinya kau menikah dengan perempuan yang begitu kau cintai. Perempuan yang telah begitu lama kau nanti. Ia adalah perempuan itu, teman kuliahmu. Ia adalah perempuan benderang bercahaya bulan. Teman-teman terbaikmu pada datang menyaksikan kebahagiaan kalian, dan tentu mereka juga ikut berbahagia. Sebelum berpisah kalian berbincang mengenai masa-masa lampau, mengenai hal-hal remeh yang menggelitik atau, kejadian-kejadian luar biasa yang tak pernah kalian sangka akan terjadi. Seperti pernikahan kau ini.

      Dua hari berselang ketika kau mengecek gawaimu yang menyala, ternyata ada pesan masuk dari penerbit. Bukumu akan segera terbit. Akhirnya penantianmu usai, kerja kerasmu terlunasi. Kau begitu bangga pada novel pertamamu itu, sebab itu adalah buku yang telah kau kerjakan selama ratusan tahun lamanya. Betapa menghabiskan begitu banyak bekal, menguras tenaga sekaligus air mata, dan terlebih jalan panjang berbatu yang berliku itu pada akhirnya mampu kau lewati. Meski berdarah-darah.

     Tiga puluh dua hari setelahnya, kau memulai hidupmu di desa. Kau mulai mengurus sawah, bermacam tanaman di kebun, dan bertani. Kau menjadi petani, kau menjadi pak tani. Tapi kau juga mengurus beberapa hewan ternak, ada ayam dan kambing di kandang-kandang yang luas. Karena kau begitu mencintai anjing, maka kau pun memiliki beberapa ekor anjing jenis pemburu dan penjaga. Kau begitu berbahagia sebab anjing-anjing itu telah kau urus semenjak mereka kanak-kanak. Anjing-anjing itu begitu mencintaimu, dan salah satu dari mereka mungkin dalam beberapa bulan lagi akan segera melahirkan. Betapa kebahagiaan yang berlipat-lipat buatmu. Kau tak punya motor ataupun mobil, sebab ogah karena terlalu berisik, terlalu mengganggumu. Maka dari itu, kau pun punya lima ekor kuda, sepasang suami-istri dan tiga anak-anaknya. Merekalah kendaraan bagimu, teman setiamu yang mengantarkan kau ke sawah, ke kebun atau ke balai desa, atau ke mana pun kau menginginkannya. Tak kalah dengan anjing-anjingmu, kau juga begitu mencintai kuda-kudamu itu.

        Seminggu kemudian, kau membuka pintu depan rumahmu. Halamanmu luas, banyak kau tanami bunga-bunga indah. Menempel di dinding adalah anggrek-anggrek dengan bunga warna warni. Di samping kiri dan kanan, berderet pot dalam berbagai ukuran dengan rapi. Pekarangan depanmu begitu teduhnya, sebab tiga puluh tahun lalu kau telah menanam pohon caringin yang sekarang telah dewasa. Ada juga beberapa pohon palem sebagai pembatas lahan, dan pohon jambu batu serta berbagai jenis pohon mangga yang semakin meneduhkan hari-harimu. Anakmu sedang bermain ayunan di batang pohon caringin yang besar itu. Benar, kau telah memiliki anak. Ia cantik seperti ibunya, persis. Namanya… ah biar itu urusan nanti. Lalu sore hari, kau membuka pintu belakang rumahmu. Selain halaman belakang, itu juga adalah kebun kecilmu. Di sana kau dapat bersantai menghabiskan sore bersama istrimu, memandangi gunung-gunung di kejauhan sana, memberi makan ayam-ayam yang berkeliaran, atau kelinci-kelinci. Kalau kau lapar dan menginginkan lalap, kau kantun memetiknya langsung dari kebunmu itu.

      Kau bersama istrimu duduk di sebuah kursi kayu bulat menghadapi sebuah meja kecil, juga berbahan kayu. Sembari menyesap rokok dan menenggak kopi, kau memperbincangkan banyak hal bersama istrimu. Perkara kemarau yang berkepanjangan yang membuat sawah perlahan kesusahan air, perihal beberapa tetanggamu yang menyebalkan, mengenai betapa bahwa anak kalian semakin hari semakin cerdas saja, tentang ternak-ternak, bunga-bunga, anjing-anjing, kuda-kuda, kebun cengkeh, kebun mangga, kebun kacang, kebun kayu, dan tentu mengenai perpustakaan pribadi yang rencananya akan direnovasi sekaligus beserta penambahan ribuan buku-buku langka. Itu sebuah perbincangan yang hangat, yang mengasyikan. Istrimu begitu hangat, dan kau begitu mencintainya.

        Dan sepuluh menit lagi adzan magrib, kau pun harus menyudahi kegiatanmu di kebun belakang rumahmu itu. Sebab kau harus pergi ke masjid, mengimami orang-orang kampung solat. Selama lima tahun terakhir selain telah menjadi imam tetap di masjid, kau juga berbagi jadwal khutbah jum’at dengan beberapa Ajengan sepuh dan kerap mengisi pengajian ibu-ibu pada selasa sore, atau pengajian bapak-bapak pada malam jum’at. Kau menikmati semua peran itu, sebab kau memang menginginkannya.


Aduh, sinar matahari semakin memanas saja. Tubuh telah menjadi begitu hangat, rambut telah kering, kopi habis dan rokok pun nyaris. Dan kau masih menganggur, belum memiliki kerjaan. Tapi, untungnya nasi telah matang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...