Lima Perempuan
Perempuan Pertama
Lelaki itu baru pulang belaka dari membantu kerjaan
seorang teman. Belum juga mengambil minum, dan baru meletakkan sepatunya ke rak
serta tas dan gawainya dan kunci motor di
atas meja. Ia lalu duduk di sofa dan sesekali meluruskan tubuhnya yang
pegal-pegal dengan berbaring. Kemudian memejamkan mata, begitu sedapnya.
Gawainya berdenting. Ia tak langsung mengambilnya tapi malah
lebih memilih untuk menikmati peristiwa kesedapan memejamkan matanya itu. Lama
sampai sekitar hampir satu jam, yang berarti ia sempat tertidur tak sengaja,
baru lelaki itu bergeliat menyamping. Mengambil gawainya karena ingat sebelum
terlelap tadi ada pesan masuk, ternyata pesan dari kekasihnya. Ia tersenyum,
betapa pengertiannya kekasihku yang satu ini,
pujinya dalam hati.
Kemarin malam padahal bukan malam yang mengenakkan. Keduanya
bertengkar hebat. Saling menghunus pedang dengan jemarinya yang tajam, saling
berkelit beradu argumen dengan lidahnya yang licin, saling menebar ranjau
dengan masalah-masalah yang lalu-lalu, dan saling melempar tombak ke ulu hati
dengan ucapan-ucapan kasar.
Kamu harusnya bilang kalau kamu mau jalan keluar dengan
temanmu. Setidaknya kabari aku, dan apalagi temanmu itu lelaki. Masalahnya apa
memang? Kamu belum juga jadi suamiku, walau aku memang telah tidur denganmu.
Aku hanya keluar, cari angin dan tak lebih. Meski begitu, tapi setidaknya kamu
bilang padaku biar aku tahu kamu tengah ke mana, dengan siapa, biar kalau ada
apa-apa aku tahu. Biar aku tak khawatir. Telah kubilang, meski aku kekasihmu
aku tetap masih perempuan bebas. Semau aku mau ke mana, kamu belum juga
membiayaiku sudah mengatur. Bukan begitu, tapi aku kan kekasihmu, hargailah
perasaan seorang lelaki. Hah? Seminggu yang lalu kau juga berteman temanmu yang
perempuan itu beli sepatu tapi apa aku marah? Kenapa jadi bawa-bawa Nadia?
Lelaki lonte! Perempuan sundal!
Hanya saja pertengkaran semalam mendadak menguap. Lelaki itu
masih tersenyum demi membaca paragraf pertama pesan dari kekasihnya, bahkan itu
mungkin senyumnya yang paling manis pada hari itu. Kemudian ketika memulai
membacai paragraf kedua, tubuhnya lalu mulai menegang. Tak hanya itu, karena
setelah lewat paragraf dua ia kemudian terperanjat bangkit mendapati kata-kata
kekasihnya yang pedas itu.
Sudah selesai lelaki. Aku kira kamu memang lelaki bajingan
yang rese yang bahkan mungkin tak tahu persis di mana letak pelirmu itu.
Terlebih kau lelaki tanpa maaf sekaligus naif. Kamu mungkin pada dasarnya
memang lelaki keparat itu, yang selalu punya dalih atas apapun. Sementara aku
benci sekali tukang kelit, apalagi kalau lelaki. Kalau mau murka kantun
meledak. Kalau mau sedih kantun menangis. Kalau mau patah hati, itu soalmu
sendiri. Telah selesai lelaki keparat! Selamat tinggal, karena aku sebenarnya
sudah telat untuk jadwal bercinta dengan Dion. Ahoi, pengecut.
Lelaki itu mengiris pergelangan tangannya dengan kunci motor
yang tergeletak di atas meja yang sebenarnya tak tajam-tajam amat. Sinting.
Perempuan Kedua
Untuk mendapatkan seorang kekasih, atau untuk mencari
seorang suami, perempuan itu mesti selalu berpegang pada saran, atau anjuran, atau
pepatah, atau
petuah, atau pada
kata-kata bijak yang dipungutnya secara serampangan dari kubangan media sosial
yang penuh ranjau dan tipu muslihat. Yang bikin celaka adalah kenyataan bahwa
perempuan itu tak hanya berpegang tapi, begitu memercayainya tanpa ada keraguan
di dalamnya. Kadang kepercayaan itu bahkan melebihi kepercayaannya pada kitab
suci.
Bahwa carilah lelaki yang tak pernah berkata kasar padamu,
temukanlah lelaki yang mampu memahami kekuranganmu, pertahankanlah lelaki yang
menyenangkan untuk diajak berbincang perihal apa saja. Carilah lelaki yang
humoris, tak perlu tampan, yang penting humoris. Carilah lelaki yang sopan,
yang santun, yang berbudi, yang tak pernah meninggalkan solat, yang tak merokok,
yang baik pada orang tuanya apalagi pada ibunya. Tak perlu seorang lelaki kaya,
yang penting lelaki itu pekerja keras, rajin, ulet, dan terlebih sering
bersedekah. Percayalah bahwa Tuhan akan menyiapkan lelaki idaman kamu, banyak-banyaklah
berdoa, gedor pintu langit di sepertiga malam, kirimi lelaki yang belum datang
itu al-fatihah.
Bahwa lelaki yang baik adalah ia yang mampu bertahan pada
sikap paling burukmu. Bahwa lelaki yang pantas kaujadikan suami adalah lelaki
yang menyiapkan pelirnya hanya untukmu. Bahwa lelaki yang beriman adalah ia
yang selalu menjaga pandangannya padamu. Bahwa lelaki yang pantas mendapatkan
cintamu adalah ia yang rela berjuang atau bahkan berkorban untukmu. Maka
perempuan itu tiap hari saling membagi nasehat itu pada sebatang cuitannya,
atau pada setiap ceritanya yang ditulis di dinding media sosialnya. Berharap
semua teman membacanya, mengaminkannya atau bahkan dengan cara paling tolol, mengikuti
nasehatnya.
Perempuan itu memang dungu. Ia lupa satu hal bahwa, semua
lelaki itu memang terlahir keparat. Tak ada itu ceritanya lelaki yang tak
pernah berkata kasar. Buka matamu perempuan tolol! Menemukan lelaki yang mampu
memahami kekuranganmu atau lelaki menyenangkan yang tiap waktu bisa
menyenangkanmu itu sama mustahilnya dengan memakan sepiring tai, kecuali kalau
kau memang doyan makan tai! Tak perlu tampan yang penting humoris? Tak perlu
kaya yang penting mau kerja keras? Tak perlu sempurna yang penting sopan,
santun, berbudi, tak pernah meninggalkan solat, dan tak merokok? Kau memang
perempuan tolol, terlebih naif sekaligus munafik! Lelaki semacam itu hanya
dapat kautemukan dalam mimpimu atau di buku cerita anak-anak. Pantas saja
perempuan itu masih tolol belaka, pakai otakmu itu! Buka matamu hei perempuan dungu! Semua lelaki itu keparat
kalau tidak bajingan, semua! Tanpa kecuali.
Jangan dungu jadi perempuan, jangan tolol. Bangunlah dari
mimpi, sadarilah kau tak akan pernah menemukan seorang lelaki ‘baik-baik.’
Gunakan matamu, jangan naif, jangan munafik. Hadapi kenyataan itu tanpa takluk
pada perasaanmu yang lemah itu. Keluarlah dan katakan pada dunia, “Oke, semua
lelaki memang keparat. Maka keparat mana yang akan jadi suamiku?”
Hanya dengan memakai otakmu, kau dapat terbebas dari
mimpi-mimpimu yang tolol itu.
Perempuan Ketiga
Tubuh kekasihnya tampak mulai bergetar. Seiring
semakin cepat geraknya, semakin hebat pula getarnya. Tapi si kekasih terlambat
menyadari perubahan si kekasihnya itu. Ia baru tersadar ketika si kekasihnya
terjengkang ke samping setelah memuntahkan isi pelirnya yang terasa membanjiri
farjinya.
Tanpa disadarinya sebab pikiran untuk menampar itu bahkan tak sebentar pun mampir ke otaknya,
perempuan itu menggaplok kekasihnya. Memakinya dan bahkan meludahinya. Apa isi
otakmu keparat? Kalau aku hamil bagaimana? Sudah kerap kubilang pakai kondom,
tolol! Perempuan itu terus memakinya dengan segala jenis umpatan, dengan segala
jenis binatang, dengan segala jenis sumpah serapah. Ia kemudian tenang, dan itu
setelah sejam meledak dalam amuk serta setengah jam kemudian dalam tangisan.
Kendalikan kontol busukmu!
Bagaimanapun meski sebenarnya kaget, was-was juga, lelaki itu
mencoba untuk tetap tenang, untuk setidaknya terlihat menguasai keadaan.
Perlahan ia menarik kedua tangan perempuan itu yang menutupi muka dan susunya.
Demi melihat susunya yang ranum yang masih basah oleh keringat persetubuhan, berahi lelaki itu mulai
merayap naik kembali. Tapi demi kesalahan kontolnya yang tak punya otak itu, ia
menahannya, mati-matian. Tangannya berhasil digenggamnya, ia merangkul, memeluknya sebelum menutupnya dengan tambahan kecupan di
kening. Mengenai dirinya yang lepas kendali, ia meminta maaf. Sementara
mengenai kontolnya yang tak punya otak itu, ia bilang akan menghukumnya pada
kesempatan lain ketika mereka bersetubuh kembali dengan menyumpalnya dengan
kondom. Aku berjanji, katanya.
Kesempatan untuk menghukum kontolnya itu tak pernah datang.
Suatu malam, setelah beberapa hari merasakan bahwa tubuhnya serasa masuk angin
serta didorong dengan begitu kuatnya keinginan untuk muntah, perempuan itu
memberanikan diri ke apotek membeli alat tes kehamilan. Pagi itu terang,
rahimnya telah berbuah.
Mereka bertemu di kantin kampus. Tampak wajah perempuan itu
bengkak, terutama di bagian mata. Ketika pesanan datang, barulah tumpah kembali
tangisnya yang sedari tadi ditahannya. Lelaki itu sigap, memberinya tisu,
berbicara perlahan mencoba menenangkannya. Dua jam lelaki itu membuihi mulutnya
dengan kata-kata yang terdengar sumbang
saja di telinga perempuan itu. Perempuan itu membuka mulut pada akhirnya, kau
harus tanggung jawab keparat! Terlebih ini, kau harus bilang pada ibu dan
bapakmu kalau kau telah membuntingi aku dengan kontol tanpa otakmu itu.
Ya, singkat saja lelaki itu mengakhiri pembicaraan mereka.
Pada usia kandungan memasuki empat bulan barulah pernikahan
itu terlaksana. Trimester pertama kehamilan begitu berat buat perempuan itu
yang tiap hari muntah belaka dan tak pernah nafsu makan. Tentu untuk
menghindari kecurigaan dan gunjingan, maka mau tak mau di usia empat bulanlah keluarga
menyepakati waktu pernikahan mereka. Sementara
perut bunting memang mudah buat disamarkan. Pernikahan lancar, tanpa kendala
berarti malah. Malam itu setelah mereka membersihkan diri di kamar mandi,
pasangan halal itu lalu kembali memanaskan tempat tidur, bertarung sampai
subuh.
Ketika anak perempuannya baru menginjak usia tiga bulan,
perempuan itu menggugat cerai lelaki tak tahu malu itu. Kecurigaannya sejak
beberapa bulan lalu terbukti. Ia memergoki suaminya sedang menyusu pada seorang
perempuan di kos-kosan harian, sementara dengan tangan kirinya yang perempuan tampak khusuk
mengocok kontol suaminya. Perempuan itu tak sadarkan diri.
Perempuan Keempat
Seorang lelaki tengah tergila-gila pada seorang
perempuan. Ia melihat perempuan itu ketika tubuhnya sedang dengan lincahnya
meloncat sana-sini maju-mundur memutar badan menggeolkan pantatnya yang semok menarikan tarian bajidor kahot. Selain ketika
itu tergila-gila, ia berahi memandang seorang perempuan semulus itu dengan
pakaian seminim itu, terlebih pada bagian ketika perempuan itu berjongkok yang
membuat celah susunya terlihat begitu menggoda. Seakan berkata, hisaplah aku
wahai Sang Tuan Mesum!
Tak dinyana, pada bagian ketika para
penari bebas untuk berimprovisasi dan biasanya mereka mengambil beberapa lelaki
untuk dipaksa menyawernya di atas panggung, seperti mungkin telah dipikirkannya
dari jauh-jauh hari, si perempuan itu mengalungkan selendangnya ke leher si
lelaki yang sedang berahi tersebut. Gelagapan, tak siap dengan semua itu, si
lelaki sedikit agak sempoyongan sebelum kemudian seperti kesurupan macan
dirinya bergoyang dengan liar bersama si perempuan itu. Hingga pada beberapa
kesempatan sempat tak sengaja menyenggol susunya atau bokongnya, atau si
perempuan juga entah sengaja atau tidak, beberapa kali juga tangannya sempat
mengenai pelir si lelaki yang tengah berahi itu. Tapi mereka berdua tak peduli,
tak mempermasalahkan peristiwa kecil itu.
Tayuban selesai. Mereka berdua juga
telah selesai bertukar nomor. Tiba di kos, si lelaki telah begitu tak tahan
akan provokasi semacam itu tadi.
Ia berlari ke kamar mandi, membasahi pelirnya, membalurinya sampo, mengocoknya dengan begitu kasar sembari
membayangkan tengah menyetubuhi si perempuan binal itu. Tak sampai semenit,
pelirnya muntah-muntah.
Sejak peristiwa senggol menyenggol
antara susu dan pelir itu, si lelaki dan si perempuan lalu semakin akrab saja.
Mesti mereka keluar seminggu sekali pada malam minggu. Tapi kalau berahi sedang
memuncaki otak si lelaki, biasanya pada malam-malam sebelum malam minggu si
lelaki akan berpura-pura mengantarkan makanan ke kos si perempuan. Tentu si
perempuan menyilakannya masuk terlebih dulu. Juga, perempuan mana yang tak
berahi jika perutnya telah dikenyangkan? Mereka berdua bergumul, berciuman
dengan ganas, saling menghisap, saling menelanjangi, saling menjilati, dan
selanjutnya terjadilah hal-hal yang diinginkan.
Tiga bulan berlalu. Ada hal
mengganjal pada si lelaki, yaitu bahwa di antara mereka berdua belum tumbuh
suatu ikatan. Padahal bukan semata-mata ia ingin menikmati si perempuan itu,
tapi ia juga menginginkan si perempuan itu menjadi kekasihnya, terlebih ia begitu mencintainya. Si lelaki memang tak pernah
bilang atau menyatakannya. Seingatnya, si perempuan juga tak tampak memberi
kode untuk minta dikalungi dengan status kekasih. Malah tampak si perempuan tak
peduli dengan status, yang penting perut kenyang saja.
Setelah saking begitu seringnya
saling menggauli satu sama lain, si lelaki memutuskan pada malam nanti ia akan
memintanya untuk menjadi kekasihnya. Sangat percaya diri bahwa si perempuan
akan menerimanya, sore-sore ia mulai membeli beberapa cemilan serta makanan
untuk si perempuan. Tak lupa juga membeli buah-buahan. Malam harinya, setelah
perut kenyang, dan tentu setelah bersetubuh, si lelaki membuka mulutnya.
Keringat persetubuhan belum juga kering, dan si lelaki dengan lancar membuka
mulut menyatakan maksudnya.
Oh begitu. Tapi maaf, selama sejauh ini aku tak punya perasaan padamu.
Aku tak mencintaimu sama seperti aku tak membencimu. Aku hanya senang
bersetubuh belaka, aku hanya senang diewe. Kamu lelaki baik, sopan, terlebih
menggelora di atas ranjang. Tapi hanya sebatas itu, aku tak menginginkan sebuah
ikatan apalagi membutuhkannya. Sungguh aku, begitu menikmati bersetubuh
denganmu. Lezat! Tapi sekali lagi, hanya sebatas itu. Aku hanya ingin jadi
perempuan bebas, tanpa ikatan, bisa bersama dengan siapa saja, bisa bersetubuh
dengan siapapun yang aku maui, bisa menghisap kontol lelaki manapun. Aku hanya
ingin bebas, sebab aku perempuan merdeka. Jangan sedih begitu, hei lelaki. Kamu masih bisa menyetubuhiku seperti sediakala,
kapanpun. Atau kamu mau main bertiga? Kebetulan nanti jam sepuluh Adnan datang
ke sini.
Lelaki itu beringsut, terburu-buru
memakai pakaiannya, pergi dengan tetesan air mata, dan luka, dan perih, dan
patah!
Perempuan Kelima
Perempuan itu menangis, sejadi-jadinya. Kalau ditadah
dengan bekas ember cat atau dengan baskom, mungkin air matanya memang bisa
benar-benar dipakai buat mandi karena saking derasnya. Telah dua hari dua malam
ia menangis, dan malam ini masuk malam ketiga. Meksi begitu, perempuan itu tak
tampak akan menghentikan tangisannya. Malah dari caranya mengeluarkan air
matanya itu, kiranya ia masih bisa menangis sampai sepuluh tahun atau bahkan
ratusan tahun. Wajahnya tentu telah bengkak, apalagi matanya, yang ditambah
oleh kurang tidur menjadi semakin menghitam tiap malamnya. Aduh kasihan.
Sabarlah hei kau perempuan, semua lelaki memang sekeparat itu. Perempuan itu batal menikah.
Mundur ke belakang sejauh lima hari, adalah malam di mana
perempuan itu menceritakan satu hal yang belum ia jelaskan sebelumnya pada
lelaki itu. Ia adalah calon suaminya belaka, yang setelah menjalani hubungan
serba romantis selama hampir setahun, memutuskan untuk menikahi perempuan itu.
Ketika lelaki itu menyatakan maksudnya, bagaimanapun perempuan itu benar-benar
berbahagia. Karena meski sebelumnya ia telah menduga bahwa awal akhir lelaki
itu akan menikahinya, tapi setelah menjadi kenyataan semua terasa begitu
berbeda. Terlebih begitu indah. Tapi satu hal yang mengganjal, hanya satu hal
saja. Perempuan itu belum bilang kalau dirinya pernah menjadi seorang pembunuh.
Lelaki itu adalah juru selamatnya, dan perempuan itu begitu
mencintainya. Sekiranya perempuan itu belum bertuhan, peluang untuk menjadikan
lelaki itu tuhannya sangat terbuka lebar. Yusuf namanya, dan kelakuannya pun
tak pernah melenceng dari namanya. Ia lelaki baik, tak banyak tingkah, rajin
ibadah terutama berwirid dan membaca shalawat. Lelaki itu memang santri tapi,
ini yang membikin perempuan itu menaruh hormat sekaligus mabuk kepayang, ia
adalah seorang Gus.
Sebelum sampai pada hari di mana lelaki itu menyatakan maksud
mulianya untuk menikahi perempuan itu, ia sempat kelimpungan karena belum
memiliki seorang calon pun. Banyak teman-teman ayahnya yang menawarkan anak
gadisnya, tapi tak pernah ada yang cocok. Teman-temannya pun tak sedikit yang
menawarkan perempuan padanya (tentu tanpa seizin si teman teman-temannya itu)
tapi sekali lagi, tak ada yang cocok. Ia bukan lelaki pemilih, ia hanya seorang
lelaki yang menginginkan seorang perempuan yang cocok, yang pas. Tak tahan
dengan jalan ceritanya yang tak begitu mulus sebab bagaimanapun ia telah
menjadi seorang lelaki dewasa dan tentu telah
seringkali membayangkan betapa
indahnya bila bisa bercinta di
jalan tuhan, ia kembali meminta temannya untuk mengeluarkan semua persediaan
teman-teman perempuannya padanya. Satu per satu temannya itu menunjukan foto
teman-teman perempuannya, dan kali ini seorang perempuan menarik hatinya,
terlebih pas.
Melalui perantara teman lelaki itu, Yusuf kemudian dikenalkan
pada perempuan itu. Awalnya ya biasa saja malu-malu tai kucing tapi, lama
kelamaan keduanya mulai terbiasa juga. Sebulan penuh mereka saling berbalas
pesan, dan selama itu pula malaikat-malaikat cinta menjadi begitu rajinnya
merajut benang-benang cinta di antara mereka. Baru pada bulan kedua lelaki itu
menembaknya yang meski sebenarnya perempuan itu juga mencintainya, tapi ia tak
langsung menerimanya. Perempuan itu mengatakan bahwa sebelum semuanya menjadi
semakin serius, ia ingin mengatakan segalanya tentang dirinya dan sebaliknya,
lelaki itu pun harus menceritakan semuanya. Mereka sepakat maka, pada suatu
siang di sebuah kedai keduanya bertemu.
Lelaki itu memulai terlebih dulu. Selama hidup, ia belum
pernah berpacaran tapi bohong kalau dirinya tak pernah main perempuan. Banyak
perempuan yang dekat dengannya dan lelaki itu hanya memanfaatkannya belaka
sebagai pengisi kekosongan saja tanpa pernah bermaksud menikahinya apalagi
mencintainya. Semua hanya main-main dan ia mengaku, pernah beberapa kali
berciuman serta
menggerayangi beberapa perempuan yang tak disebutkan namanya
itu. Sumpahnya bahwa ia tak pernah tidur bersama perempuan-perempuan itu
apalagi sampai berzina, menutup cerita mengenai petualangan cintanya. Perempuan
itu mengangguk, menenggak minum kemudian. Sekarang gilirannya.
Aku pernah berzina, dan bukan hanya pernah tapi sering. Aku
lupa telah berapa puluh atau ratus kali melakukannya. Tapi aku hanya
melakukannya dengan hanya seorang lelaki, aku bersumpah. Hanya seorang lelaki
saja. Sebelumnya aku tak pernah disentuh lelaki mana pun apalagi sampai dicium
atau berciuman atau sampai telanjang sebelum dengan lelaki yang ini. Tak
pernah! Aku juga heran mengapa dengan lelaki yang ini aku mau-mau saja berlaku
demikian. Tolol, mungkin waktu itu aku masih tolol. Dan sebenarnya aku juga
berpikiran, tak apalah sekali-kali menjadi nakal. Sialnya, karena pikiran
semacam itulah aku lalu terjerumus dalam laku perzinahan. Sebagai perempuan
yang pernah berzina, kau mungkin dapat membayangkan bahwa yang kulakukan adalah
tak hanya berzina. Maksudku, tak hanya perihal saling menusukkan kemaluan. Aku tentu
berciuman, leherku habis diciuminya, kupingku habis djilatinya bahkan seluruh tubuhku sebenarnya pernah merasakan
jilatannya. Saat aku bilang seluruh tubuh, maka itu artinya benar-benar
seluruhnya, pada segala bagian. Payudaraku tentu yang pertama dijlat. Setelah
itu dagu, dada, leher, ketiak, paha, betis, selangkangan, kemaluanku, perutku,
pusarku, pinggangku, punggungku, bahuku, rambutku, hidungku, keningku dan sudah
kubilang seluruhnya, seluruhnya pernah merasakan lidah dan ludahnya. Terserah
kamu, masih mau atau tidak denganku.
Anehnya, perempuan itu sangat tenang ketika menceritakan
mengenai dirinya. Ia mungkin telah mempersiapkan dirinya sejak sangat lama.
Mengumpulkan keberaniannya, berlatih untuk mengatakannya, sampai kemudian ia
untuk pertama kali mengatakannya secara langsung pada seorang lelaki. Bahkan
suaranya tak bergetar sedikit pun. Tak ada juga tanda-tanda matanya
berkaca-kaca apalagi menangis. Perempuan, aneh juga bisa setangguh itu.
Walau pada awalnya lelaki itu tampak gugup tak tahu bagaimana
harus merespon, tapi lalu ia dapat menguasai diri. Mungkin ia malu melihat
perempuan di hadapannya tampak begitu tenangnya. Tampak lelaki itu berpikir
sejenak, merenungkan segala hal yang telah didengarnya, mencoba mencernanya
terlebih dulu untuk memahami perempuan itu. Sambar geledek! Lelaki itu berkata
dengan begitu lembutnya bahwa semua orang suci punya masa lalu, dan semua
pendosa punya masa depan, (bajingan, anjing betul kata-katanya itu). Ia
melanjutkan bahwa tak ada seorang pun manusia yang luput dari dosa, sebab dosa
memang selalu menggiurkan, terlebih nikmat. Kau jangan menganggap dirimu kotor,
katanya. Biar Allah yang menghakimi, dan memang hanya Allah yang berhak
menghakimi. Lelaki itu menatapnya lekat. Sampai pada ketika pandangan mereka
saling beradu, lelaki itu berkata aku tak akan menjadikanmu seorang kekasih,
bulan depan aku akan langsung melamarmu.
Tapi menikahnya nanti, setelah aku lulus kuliah ya? Mereka berdua lalu tertawa.
Sengaja memang perempuan itu tak membuka rahasianya yang terakhir,
bahwa ia pernah membunuh. Itu ia lakukan untuk agak sedikit menjebak lelaki
itu. Pikirnya, mana mungkin lelaki yang telah menerima fakta bahwa dirinya
pernah menjadi seorang pezina tak menerima fakta bahwa sebenarnya ia juga
pernah membunuh. Beberapa bulan setelah lamaran, sempat terpikir oleh perempuan
itu untuk menyatakannya, tapi rasanya kurang cocok saja. Kerap kali hal itu
berulang mengganggu dirinya, terlebih menghantuinya. Aha, rasanya menjelang
pernikahan adalah waktu yang cocok, sebab tak mungkin lagi lelaki itu mundur.
Lelaki itu telah menerimanya sebagai seorang mantan pezina, dan cintanya tak
pernah berkurang malah bertambah. Tak susah rasanya buatnya untuk menerimaku
sekali lagi, tak bakal susah. Mungkin Yusuf akan marah, tapi itu hanya akan
sekejap. Yusuf tak mungkin mundur, ia tak bisa mundur. Begitulah logika
perempuan itu bekerja.
Pada lima hari yang lalu sebelum pernikahannya, perempuan itu
lalu menceritakannya. Perkiraannya meleset, salah total. Setelah mendengar
bahwa sebenarnya pada masa perzinahan tersebut, beberapa kali lelaki yang
tengah menumpakinya tak jarang kerap kelepasan mengeluarkan cipejuh ke dalam
farjinya, sesuai
dugaan, beberapa minggu setelah itu ia hamil, dan ia takut dan ia berniat
menggugurkannya sebelum perutnya semakin besar. Mereka berdua berkomplot
melakukannya. Berkat bantuan seorang dukun beranak terlatih, pada usia
kandungan dua bulan janin di perutnya dapat dihancurkan. Yusuf tak berkomentar,
hanya diam. Tapi ketika bercerita, kali ini perempuan itu menangis sembari
terselip kata maaf di sana sini sebab tak punya keberanian untuk mengatakannya
sedari awal. Yusuf masih diam, wajahnya tanpa ekspresi. Ia bangkit dari duduk,
meninggalkan begitu saja perempuan itu tanpa berucap suatu apa kecuali, “Aku
bisa menerima kemaluan bekas, tapi tak
mungkin membuahi rahim kotor!”
Perempuan itu barangkali melupakan satu hal, satu hal saja, yaitu
bahwa semua lelaki memang keparat! Tak peduli namanya Yusuf, atau
seorang anak Kyai sekalipun.
Komentar
Posting Komentar