Katalog Dosa


 

Dikira neraka itu dingin?

Bajingan, tobatlah kau sebelum terlambat. Segala dosa yang pernah atau akan kau lakoni, aku pernah mencecapnya. Semua, tanpa kecuali. Ini katalog dosaku, kumulai dari dosa-dosa besar menuju kecil. Bergonta-ganti aku ngentot perempuan, itu kebiasaanku dulu, kulakukan tiap hari. Dan tahukah kau bajingan, apa yang membuatku dulu bisa mengentot sebegitu banyaknya perempuan selain karena wajahku tampan? Salah, bukan itu. Ialah kenyataan bahwa cipejuhku tak pernah kering sehari pun, walau diperas atau dihisap atau diseduh tiap hari oleh perempuan berbeda. Lelaki lain kebanyakan lemah, mereka hanya mampu meniduri seorang perempuan mungkin tak lebih dari tiga kali seminggu. Tapi aku, tiap hari aku ngewe, tiap malam aku mengentot perempuan. Sementara seorang lelaki mungkin hanya berani menyetubuhi perempuan yang statusnya merupakan kekasihnya, tapi aku lain. Ini pun sering membuatku bangga bahwa tak hanya kekasihku saja yang rajin kusetubuhi, tapi teman dekat, gebetan, mantan-mantanku, atau yang menjadi langganan adalah mereka kekasih-kekasih lelaki lain. Itu baru perihal meliangi selangkangan perempuan.

         Pada suatu malam ketika tengah khusuknya aku mengentot kekasihku, mendadak aku lupa kendali pada tubuhku, lalu kelepasan menyemprotkan cipejuhku ke liang farjinya. Seketika aku kena tampar kekasihku tapi, aku tak marah. Kubilang padanya kalau sampai hamil aku akan bertanggung jawab (ini betulan, aku serius), dan ia tak meneruskan marahnya. Dua minggu kemudian di suatu pagi, kekasihku bilang padaku sembari menunjukan alat tes kehamilan bergaris dua bahwa dirinya hamil. Aku siap, aku akan tanggung jawab. Eh yang tak kuduga, kekasihku malah bilang mending kita gugurkan saja. Maka aku hanya menurut. Sebelum membesar, tepatnya kira-kira pada usia kandungan menjelang dua bulan, kami berhasil membunuhnya. Ya bajingan, aku juga pernah menjadi seorang pembunuh.

        Selama lima tahun aku pun tak pernah solat, mau itu solat wajib lima waktu, atau solat jum’at, atau apalagi solat-solat sunah. Bagiku dulu itu tak penting. Dengar bajingan, dengarkan dulu! Kurang kapir apa aku ini? Selain perkara solat, selama itu aku juga tak pernah puasa, segala jenis puasa aku tak pernah melakoni. Pokoknya begini biar mudah, aku tak pernah menunaikan ke-lima rukun islam. Sahadat tidak, solat tak pernah, zakat mana mungkin, puasa tak penting, naik haji apalagi. Telah jelas bajingan, jangan tanyakan lagi padaku perihal apakah aku juga tak pernah melakoni rukun iman sebab jawabannya telah begitu terang. Anying, goblok kau. Sekarang perhatikan tubuhku, kau bangsat! Tubuhku dulu penampung segala macam barang haram, obat-obatan, minuman haram, makanan haram. Segala obat atau minuman atau makanan haram pernah menjejali tubuh ini, hingga membusuk jadi daging, jadi darah, jadi kulit jadi tulang dalam tubuhku.

       Lidahku dulu begitu pandai menipu terutama tajam kala dipakai menikam. Telah banyak orang kesusahan karenanya, begitu banyak korban bergelimpangan, pun karenanya. Ujub, takabur, ria, iri, dengki serta segala macam penyakit hati yang ada di dunia ini kuamalkan dengan begitu ulet. Tak sedikit orang yang kena getahnya, tak sedikit orang yang merasakan khasiatnya. Aku pun pernah menjadi bangsat. Pernah barang-barang berharga semacam sepatu, laptop, hape, sepeda, atau bahkan motor, kugasak dari kosan teman-teman kuliahku. Pun tak terhitung telah berapa juta duit yang kucomot dari dompet teman-temanku itu. Aku jarang tak punya uang sebenarnya, tapi kadang aku kerap menjadi sebegitu rudinnya sebab duit dari orang tuaku kupakai untuk menunaikan dosa-dosaku itu. Ketika keadaan semacam itulah aku akan bermutasi menjadi garong, dan hebatnya aku, tak pernah sekalipun dicurigai apalagi kena tangkap.

    Heh bajingan, masa jam segini telah mengantuk? Aih, teman meronda macam apa kau ini. Aduh kau ini, benar-benar calon pendosa payah. Tapi, kasihan juga kau kalau harus mendengar segala dosa yang pernah kutunaikan, lagi pula kalau diteruskan mungkin baru akan selesai nanti subuh. Biar cepat dan biar kau bisa buru-buru tidur, sekarang dengarkan mengapa aku kemudian pada akhirnya berubah dan lantas bertobat.


Aku tak akrab-akrab amat dengan Gus Ahmad, pada awalnya. Fakta bahwa ia seorang anak Kyai pendiri sebuah pondok pesantren di daerah Tegal pun baru kuketahui belakangan setelah berkenalan. Kebetulan dulu saat kuliah, selama dua semester–sebab pada semester tiga dan kemudian selanjutnya ternyata ia pindah jurusan meski tetap di universitas yang sama–kami sekelas. Pada awalnya hanya kenal biasa saja, sebatas kenal tampang dan nama. Hanya saja suatu ketika pada kelas yang begitu membosankannya, entah ketika tengah mengobrolkan apa, tiba-tiba saja ia bertanya apakah aku bisa mengendarai mobil? Dengan canda kujawab bahwa saat bayi sebelum aku bisa berjalan, aku telah bisa mengendarai mobil. Gus bajingan itu ternyata terhibur, tertawa juga sebelum kemudian dosen menghardik kami.

          Obrolan berlanjut setelah kelas bubar, dan kesimpulannya, minggu depan aku akan menemaninya ke Jombang untuk suatu acara perkumpulan antar Gus se-Jawa. Sebenarnya Gus Ahmad pun bisa dibilang ahli dalam hal menyetir, tapi dengan jarak yang lumayan dapat dikatakan jauh, ia mesti butuh seorang sopir cadangan. Sejak saat itu, Gus Ahmad tak pernah tidak mengajakku kalau hendak pergi ke mana. Dan begitulah aku, pada beberapa tahun kemudian telah menjadi sopir cadangannya yang setia serta lantas menjadi sebegitu akrab dengannya. Dua tahun sebelum lulus, malah kami tinggal di kontrakan yang sama.

          Aku senang belaka mengobrol dengannya, dan kerap lupa waktu kalau telah begitu asyik. Banyak hal yang kusukai yang kemudian kukagumi darinya. Ia Gus yang tak pernah mengaku apalagi memanfaatkan statusnya sebagai Gus. Anjing juga ini orang, pikirku waktu itu. Gus Ahmad tak pandang orang kalau hendak berteman. Pada dasarnya Gus Ahmad dapat berteman dengan siapa pun, dengan yang bagaimanapun, termasuk dengan seorang bajingan sepertiku. Selain rendah hati, yang kukagumi darinya adalah kenyataan bahwa Gus Ahmad tak pernah sekalipun menghakimi kesalahan orang, meski kadang kurasa ia memang punya kapasitas untuk melakukan itu. Aku tak jarang melihatnya kadang meninggalkan solat subuh sebab ketiduran, atau menunaikan solat pada detik-detik terakhir waktu normal, dan yang paling sering malah pada menit-menit akhir tambahan waktu. Mungkin itu juga yang membikin Gus Ahmad tak pernah menghakimi kesalahan orang lain, sebab begitu sering ia berkata bahwa “yah namanya orang, siapa sih yang tak punya dosa?”

      Hanya butuh beberapa bulan hingga kemudian kami telah menjadi seperti sepasang buah pelir, selalu bersama. Kalau hendak keluar kota mesti bersamaku. Kalau hendak mengerjakan suatu urusan yang butuh tenaga aku pun diajaknya. Lama kelamaan, ke mana pun Gus Ahmad pergi mesti aku ada dengannya walau itu perihal urusan sepele semacam mengantarnya ke tempat laundry. Aku seringkali mengantarnya ke Krapyak untuk bertemu teman-temannya yang kemudian menjadi teman-temanku juga. Pertama kali aku merasai suasana pondok pesantren yang begitu sejuk itu ya dari Gus Ahmad. Saking seringnya, malah aku kerap menginap di sana. Aku pun kemudian hampir tiap malam nongkrong di warung kopi dengannya, dan saat beribadah ngopi, perbincangan dengannya menjadi seratus kali lipat lebih menyenangkan. Hingga kemudian aku dapat bercerita mengenai semuanya, mengenai segalanya, mengenai aku yang sebenarnya.

      Tahukah kau bajingan, pertanyaan apa yang pertama kali Gus Ahmad lontarkan saat aku mulai menceritakan perihal betapa nistanya aku? Ia bertanya padaku apakah aku pernah kentu. Jangankan kau, aku pun sama terkejutnya denganmu. Keparat, menarik juga Gus yang satu ini, umpatku ketika itu. Lantas aku menceritakan semuanya, segalanya mengenai diriku. Yang membikin aku lebih aneh, ketika mendengar ceritaku tak tampak Gus Ahmad terganggu apalagi terkejut. Ini Si Anjing yang satu ini mengapa bisa sebajingan ini, sekali lagi aku mengumpat dalam hati. Malah ketika segalanya telah kelar kuceritakan, Gus Ahmad tak memberiku respon apalagi nasihat. Gus Ahmad malah meneguk kopinya, membakar untuk kesekian kali rokoknya, dan malah terbahak tertawa. Aku yang lalu memaksa melalui pertanyaan padanya, “apa tak ada suatu nasehat pun wahai Gus Ahmad yang bajingan?” Asu, ia memisuhiku sembari ketawa. Duh, Gus yang satu ini memang anjing. Eh tapi Gus Ahmad lalu memungkasnya dengan “banyak-banyak baca selawat saja kalau kau berkenan.”

       Sejak malam itu, Gus Ahmad menjadi lebih sering mengajakku untuk nongkrong di warung kopi. Aku sama sekali tak pernah menolak, malah senang kalau ia mengajakku. Begitu seringnya kami menongkrong, begitu seringnya kami bersama, dan aku pun tenggelam dalam lingkarannya.

        Ketika itulah aku baru menyadari bahwa jadwal kentuku laun-laun berkurang. Lebih jauh dari itu, seluruh jadwal maksiatku menjadi berantakan. Karena keseringan bersamanya, aku lalu memulai kembali menjalankan solat lima waktu, yang pada awalnya kuniatkan hanya sebatas untuk menghargainya. Kadang aku juga menemaninya ikut berpuasa sunah senin-kamis, menjalar juga mengikutinya solat jum’at, dan menjadi lebih sering datang ke Krapyak serta menginap di sana. Kalau aku tengah tak ada uang dan kelaparan, Gus Ahmad tanpa banyak omong selalu menjamin keadaan perutku. Anehnya aku betah dengan pola baruku ini. Entah mungkin Gus Ahmad memang sedari awal telah berniat menjebakku, tapi aku merasa tak apalah kalau memang harus terjebak bersamanya. Aku tak berontak. Aku malah semakin kagum padanya, dan makin bertambah saja penghargaanku padanya. Sialan, mengapa malah menjadi sentimental seperti ini. Perlahan aku merasai bahwa diriku menjadi berbeda. Aku terlahir kembali, menjalani hari-hari baru, mencapai kesadaran baru dan, menjejaki kehidupan baru. Namun baru pada akhir tahun lalulah segalanya menjadi benar-benar terjungkir balik.


Seperti biasa, aku menjadi sopir cadangan Gus Ahmad. Kali ini ia hendak menghadiri acara beken bertajuk Haul Solo. Aku tentu tak pernah tahu acara apa itu dan Gus Ahmad pun tentu mengerti kebingunganku. Ia bercerita bahwa haul itu adalah semacam ulang tahun untuk orang-orang yang telah meninggal. Mengapa Haul Solo ini begitu penting, sebab ini adalah ulang tahun kematian bagi seorang manusia besar yang telah mengarang syair simtudduror yang menceritakan kisah hidup Baginda Nabi Muhammad SAW. Oh aku baru tahu, jawabku polos ketika itu. Gus Ahmad hanya tersenyum, dan dua jam kemudian kami sampai di Solo. Tak sulit bagi orang sekaliber Gus Islah untuk dapat tempat menginap. Bayangkan saja begini, saking banyaknya orang yang mengenalnya, kalau ia sedang berada di suatu kota maka dapat dipastikan sepuluh dari seratus orang di kota itu mesti mengenalnya. Aku saja kaget pada Gus bajingan yang satu ini. Oh ya, lalu kami menginap di rumah seorang teman yang katanya ayahnya adalah tangan kanan dari Habib Luthfi bin Yahya. Aduh, siapa pula itu Habib Luthfi, Gus? Tanyaku ketika itu. “Goblok!” hardiknya.

       Keesokan paginya kami berangkat ke tempat acara diselenggarakan. Baru kali itu aku menyaksikan sebuah acara ulang tahun yang dihadiri oleh berjuta-juta orang. Beberapa jam kemudian acara selesai, kami lalu kembali ke rumah tempat kami menginap. Setelah makan siang, dan setelah menyulut sebatang rokok, kami diberi tahu oleh teman Gus Ahmad bahwa nanti malam ada acara pengajian di suatu pesantren, masih di Solo. Kepulangan kami tunda, sebab teman Gus Ahmad bilang bahwa pengisi utama pengajian nanti malam adalah Habib Luthfi bin Yahya. Siang itu selepas sebatang rokok, kami pun bertidur siang dan baru bangun ketika ashar. Kami kemudian mandi, bersiap, menyeduh kopi, menyulut rokok, sembari menunggu maghrib. Baru setelah adzan maghrib kami berangkat lalu, lima belas menit kemudian telah sampai di lokasi.

       Seperti yang telah kubilang, sebab ayah dari teman Gus Ahmad ini adalah tangan kanan dari Habib Luthfi bin Yahya, maka kami langsung memasuki lingkaran utama. Aku, Gus Ahmad dan temannya itu, ditempatkan di lokasi di mana nantinya orang-orang penting akan berada, termasuk Habib Luthfi bin Yahya. Aku begitu malunya waktu itu, sebab yang berada di lokasi ini selain isinya orang-orang penting juga berisi cucu-cucu, keponakan-keponakan, anak-anak, atau kerabat-kerabat dari Habib Luthfi bin Yahya. Mudah ditebak, Gus Ahmad hampir mengenal semua orang yang berada di lokasi yang sama. Aduh, Gus, Gus.

      Mendadak di depan gerbang orang-orang pada ribut, langsung pada berdiri dan aku juga tak sadar telah ikut berdiri, beberapa orang membisikan bahwa Habib Luthfi bin Yahya telah sampai. Belum-belum aku telah gemetar, entah mengapa. Sial, sialan! Aku tak menyangka akan segerogi ini, tak terpikir akan semalu ini. Orang-orang pada berlari, menyambut dengan membentuk barisan di kiri-kanan untuk mengantri mencium tangan beliau. Aku tak langsung berlari, malah diam saja mematung. Aku malu, sumpah. Tapi bentakan Gus Ahmad memberiku nyali, “Ini langka, langka. Belum tentu setahun sekali kau bisa mencium tangannya. Mungkin ini hanya satu-satunya peluang dalam hidupmu. Ayo!” Demi mendengar Gus Ahmad, aku lalu bergegas, ikut berbaris dengan orang-orang.

       Sumpah, meski belakangan aku mendapati diriku telah berubah, tapi aku bukan tipikal orang yang relijius-relijius amat. Hanya saja demi melihat Habib Luthfi berjalan, tubuhku mengeluarkan keringat dingin serta begitu gemetarnya. Lidahku kelu, dadaku semakin bergemuruh tak karuan. Habib Luthfi masih tiga meter di depanku, dan aku melongo demi menyaksikan betapa seluruh cahaya yang ada pada malam itu tumpah pada beliau. Padahal tak ada lampu sorot yang menyoroti beliau tapi, Habib Luthfi begitu bercahaya. Aku semakin kikuk saja, aku semakin malu. Sempat terpikir untuk mundur ke belakang dan kabur tapi, aku sadar bahwa beliau kantun beberapa langkah lagi melewatiku. Maka aku tak bisa mundur dan, terjadilah apa yang harus terjadi. Aku maju menghampiri beliau, meniru orang-orang sebelumku, kuraih tangannya, kugenggam, dan punggung tangannya kucium dua kali. Begitu lembut, dan harum.

       Gus Ahmad kemudian pada keesokan harinya yang menceritakan bahwa setelah mencium tangan Habib Luthfi aku seperti orang sinting kena sirep. Diceritakan olehnya bahwa aku hanya melamun selama beberapa jam dengan tatapan kosong, dan begitu tidak nyambung ketika diajak mengobrol. Ia juga kemudian bilang bahwa betapa beruntungnya aku sebab pada kesempatan pertama langsung dapat mencium tangan Habib Luthfi. Sesungguhnya aku juga tak tahu apa yang sebetulnya malam itu kualami. Setelah mencium tangan beliau perasaanku berubah menjadi begitu tenangnya, dan lalu muncul suatu pikiran bahwa aku akan berupaya menjauhi segala jenis dosa, mau kecil apalagi besar. Malam itu sebelum tidur aku mendadak teringat seluruh dosa-dosaku, dan aku menangis, menangis. Benar bajingan, aku menangis. Mungkin, malam itu aku mengalami katarsis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...