Sekuntum Bunga dan Seekor Kumbang

 


Yang sedang di dalam ruang bersalin itu Namina Harti, anak gadisku satu-satunya. Ia sedang dalam pertarungan hidup-mati untuk melahirkan bayi yang sudah aku urus sejak dalam kandungan. Aku senang sekaligus khawatir. Senang mengetahui bahwa sebentar lagi anakku akan melahirkan bayi perempuan cantik, dan khawatir kalau-kalau terjadi masalah saat proses persalinan. Mudah-mudahan ia selamat, bayi itu selamat, dan kami bisa melanjutkan hidup berbahagia.

___

Tak pernah terbayang sebelumnya kebahagiaan semacam ini akan kami rasakan. Sebab sebenarnya kami hampir putus asa pada harapan untuk memiliki seorang anak. Enam bulan pertama pernikahan, kami masih biasa saja, tak merisaukan hal itu. Kupikir memang belum waktunya saja. Aku dan istri memang tak terlalu terburu-buru. Kami ingin menikmati masa-masa indah berdua sepuas mungkin sampai sebelum akhirnya memiliki anak, yang tentu akan merubah segalanya.

        Namun saat menjelang satu tahun pernikahan, kami mulai khawatir mengapa istriku tak juga hamil. Padahal selama ini, saat berhubungan suami-istri, aku tak pernah menggunakan alat kontrasepsi apa pun, istri juga. Setiap berhubungan, aku selalu mengeluarkan benihku di tempatnya, dan tak pernah sekalipun membuangnya di luar. Kemudian untuk menghindari kekhawatiran yang berlarut, kami memutuskan untuk memeriksa kesehatan alat reproduksi sekaligus berkonsultasi dengan Dokter. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan, anehnya hasilnya normal. Tak ada yang salah dengan kami berdua. Dokter lalu menenangkan kami, bahwa mungkin memang belum dikasih saja, belum waktunya, katanya.

            Setelah mendapat kepastian bahwa kami berdua baik-baik saja, sehat-sehat saja, aku dan istri merasa bisa agak tenang. Kami lalu menggenjot segala macam usaha untuk memiliki anak. Tentu pertama dengan merapatkan jadwal berhubungan intim, menjadi lima kali dalam seminggu. Kesehatan mulai kami perhatikan seseksama mungkin, terutama asupan makanan dan minuman. Aku mulai mencari tahu perihal jenis makanan apa saja yang dapat membuat sperma kental, sehat nan subur, istri juga. Olahraga tentu tak ketinggalan, apalagi berdoa. Maka kemudian, setelah berusaha mati-matian sekaligus menunggu dan melewati segala macam keputusasaan selama dua tahun, beberapa bulan setelah ulang tahun pernikahan yang ketiga lewat, istriku pun suatu pagi, muntah-muntah. Setelah diperiksa, benar saja. Istriku hamil. Alhamdulillah!

            Ketika akhirnya ia lahir, benar kata orang bahwa anugerah paling besar bagi sepasang suami-istri adalah hadirnya Si Buah Hati. Anugerah yang mewujud kebahagiaan tak berbatas. Ia yang telah kami nanti selama tiga tahun. Ia yang kami dambakan selama itu. Ia yang akan melengkapi kami, menyempurnakan kebahagiaan kami. Ia yang menasbihkan kami menjadi Papa-Mama. Ia yang memberi kami arti, dan untuk itu kami menamainya Namina Harti.

___

Tanggal 29 Desember, kami merayakan ulang tahun Harti yang pertama, sekaligus yang terakhir baginya untuk melihat ibunya. Empat bulan setelah genap satu tahun, Harti kehilangan ibunya, istriku meninggal kena kanker payudara. Bagiku itu bukan kesambar petir di siang bolong, tapi serasa mobil yang kukemudikan bertabrakan dengan pesawat di kedalaman lautan, tidak nyambung apalagi masuk akal. Hidup memang setidaknyambung seperti itu. Mendadak saja selama tiga bulan terakhir kesehatannya menurun drastis. Istriku sering pingsan, dan merasakan lemas yang tak berkesudahan. Setelah menjalani perawatan selama beberapa hari di rumah sakit, biang keladinya terungkap, “Istri anda sudah mengidap kanker payudara stadium akhir, dan saat ini hanya berdoa yang anda bisa,” ucap Dokter.

Bahkan meski jungkir balik aku berdoa pada Tuhan untuk kesembuhan istriku, nyatanya doa pun tak menolong, sedikit pun tidak! Di bulan keempat sejak Harti berulang tahun, istriku lalu pergi begitu saja di suatu pagi. Pagi, petaka. Aku kehilangan istirku, Harti kehilangan ibunya, tapi kami masih punya kehidupan yang harus kami selesaikan, sampai tamat, sampai kiamat.

Maka semenjak istriku meninggal, aku memutuskan untuk fokus mengurusi anakku. Bukannya apa-apa, aku adalah orang yang tak mudah percaya. Aku tak percaya pada orang tuaku, yang terus menyarankan bahwa lebih baik mereka saja yang mengurus Harti dan kau fokus saja untuk mengurus pekerjaan dengan pertimbangan bahwa mereka lebih punya pengalaman dalam hal mengurusi anak daripada aku, bujuknya. Kukatakan tidak, pada orang tuaku. Mertuaku selanjutnya yang meminta supaya mereka saja yang mengurus Harti, dan aku menolaknya, halus.

Aku menginginkan yang terbaik untuk Harti, sebab aku Ayahnya. Aku tak percaya siapapun, aku harus mengurusnya sendiri. Aku ingin merasakan memandikannya, mencuci pakaiannya, memberinya makan, membersihkan bekas ompol atau beraknya. Aku akan belajar memasak untuknya, aku akan mengajarinya segala hal yang kutahu. Kalaupun aku tak tahu mengenai suatu hal, maka aku akan belajar. Aku akan belajar, aku akan bisa, aku akan mampu, demi Harti. Aku ingin Harti mendapat semua itu dariku, dari Ayahnya. Aku tak mau kehilangan cintanya, tak rela. Aku akan memberikan seluruh waktu dan hidupku untuknya, untuk Harti. Harti harus mendapat semuanya dariku, dari Ayahnya. Aku akan memenuhi segala kebutuhannya. Aku akan mengabulkan apa yang Harti ingin, selalu. Aku tak akan membuatnya kecewa. Aku tak akan mengecewakannya, “Papa tak akan mengecewakanmu, dan ingat janji Papa ini!” Di ayunan, Harti tersenyum.

___

Lima belas tahun serasa kemarin saja, dan besok Harti akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam belas. Harti gadisku, dengan hanya seorang ayah, telah menjelma menjadi gadis yang luar biasa. Harti cerdas, selalu menjadi nomor satu di sekolahnya. Ia gadis periang, dan terlebih punya kemampuan bermandiri yang aku sendiri kadang takjub. Mungkin karena terbiasa diurus oleh hanya seorang ayah, dari kecil Harti telah terbiasa untuk mandiri. Tapi yang paling utama dari semua itu adalah, kenyataan bahwa Harti secara sempurna mewarisi kecantikan ibunya. Kulitnya, matanya, hidungnya serta rambutnya persis ibunya. Mungkin hanya tinggi badannya saja yang menurun dariku. Kalau lama-lama memandanginya mendadak aku selalu mengingat ibunya, kadang juga membikinku merindukan istriku, terutama merindukan tidur dengannya.

Tumbuh tanpa seorang ibu, membuat Harti begitu mencintaiku. Tak pernah ada batas antara aku dan Harti. Segalanya Harti ceritakan padaku, dari mulai kesehariannya di sekolah, sedang sebal pada siapa, benci dengan guru agamanya, atau mengenai betapa muaknya Harti pada acara-acara televisi di Indonesia. Aku menjadi Ayah sekaligus Teman baginya. Sejujurnya, aku bisa menjadi apapun yang Harti inginkan, apapun. Pada umurnya yang hampir enam belas, kami tak sama sekali kehilangan irama penuh kasih sayang cinta ini. Setiap sebelum berangkat sekolah, kami selalu berpelukan sebelum ia mencium tangan, kening, dan pipiku, yang juga selalu kubalas dengan mencium keningnya, lalu pipinya. Setiap setelah sepulang sekolah kami juga melakukannya. Harti akan memelukku, kemudian menciumku, lalu berkata aku sangat mencintaimu Papa, sangat!

Tapi sepulang sekolah sore tadi, lain cerita. Tak seperti biasanya, tanpa mengucap salam Harti membuka pintu dan lalu masuk begitu saja ke kamarnya tanpa menghiraukan aku yang sedang duduk di sofa menonton sebuah berita. Aku tahu Harti tak memiliki sifat semacam itu, maka ini adalah hal aneh serta langka sekaligus baru, dan aku kemudian menyusulnya masuk ke kamarnya. Harti tengkurab di kamar dan kudengar ia terisak, Harti menangis. Maka seperti biasanya ketika Harti menangis, aku menghampirinya untuk kemudian duduk di sebelahnya, memijit-mijit bahunya atau mengelus-ngelus rambutnya.

Harti memang kadang-kadang menangis, dan itu tentu hal yang wajar untuk seorang gadis seusianya. Kadang Harti menangis karena tak tahan menahan sakit di perutnya saat akan menstruasi, apalagi menstruasi pertamanya waktu itu. Kadang Harti menangis sebab kecewa padaku karena aku tak jadi membelikannya gawai idamannya, atau lupa membelikannya makanan kesukaannya, atau yang paling banyak dan paling sering adalah Harti menangis sebab sedang merindukan ibunya dan itulah saat-saat yang paling mengharukan. Harti akan menangis, sementara aku akan berkaca-kaca sembari memeluknya sebelum kemudian menghiburnya dengan menceritakan betapa aku juga merindukannya, menceritakan betapa ibunya adalah seorang perempuan yang sangat cantik nan menarik terlebih cerdas, dan mengenai betapa ibunya sangat mirip sekali dengannya. Dengan begitu, biasanya Harti akan semakin erat memelukku, dan lalu perlahan-lahan tangisnya tuntas.

Sementara tangisan ini, bukanlah tangisan Harti sebagaimana biasanya. Ini adalah tangisan baru, jenis dari tangisan yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Perlahan sembari terus mengelusnya aku lalu mencoba bertanya mengapa ia menangis, apa Papa lupa membelikanmu sesuatu atau lupa menepati janji yang pernah Papa buat, atau apakah kamu sedang merindukan Mama? Dan Harti hanya menggelengkan kepalanya, tak berucap suatu apa. Hingga kemudian setelah sekitaran sejam menemaninya menangis, barulah tangisan Harti perlahan mereda, ia lalu bangkit, duduk, dan memelukku.

___

Harti masih memelukku serta masih sesenggukan ketika ia mulai menceritakan mengapa dirinya menangis. Tadi di lorong sekolah, saat ia dan beberapa teman sedang berjalan menuju parkiran, tiba-tiba saja Si Irfan dan beberapa temannya secara bergantian sembari berlari menepuk bokongnya, dan bahkan Si Angga selain menepuk malah menambahnya dengan sedikit remasan sebelum kemudian kabur. Kejadiannya begitu cepat, dan Harti tak sempat bereaksi kecuali spontan berteriak memaki mereka semua. “Harti sakit hati Papa, Harti jijik!”

Kemudian aku menyadari satu hal dari cerita anak gadisku, bahwa lihatlah dirinya, ia memang sedang mekar-mekarnya menjadi seorang perempuan. Tingginya, berat badannya, lekuk tubuhnya, bokongnya yang padat, payudaranya yang ranum menuju sempurna, dan sekarang Harti telah sangat pandai berdandan serta mengurus dirinya.  Maka wajar saja sebenarnya kalau ada dari teman lelakinya yang sadar dengan potensi Harti itu, sebuah potensi luar biasa yang menyediakan bermacam kenikmatan. Betapa selama ini aku abai terhadap perubahan-perubahan Harti, terutama perihal perubahan fisiknya itu. Harti anak gadisku tengah mekar, ia sedang dalam puncak-puncaknya, dan oh, Harti sempurna mewarisi ibunya.

Demi tubuh Harti yang masih memelukku, mendadak dengan perlahan kemaluanku menegang. Tangannya yang melingkari leherku, wajahnya yang tumpah pada bahuku, dan payudarnya yang menempel di dadaku, membuat konsentrasiku buyar. Kurasakan darahku berdesir tak karuan, tanganku mulai keringatan, serta lagi-lagi kemaluanku semakin menegang, bahkan kali ini mulai mengeras. Aku tak bisa menghilangkan adegan persetubuhan yang biasa kulakukan dengan istriku dalam kepalaku, ia terus saja berputar-putar, menyala-nyala. Potongan demi potongan adegan persetubuhan itu begitu jernihnya dalam kepalaku, semakin kuat aku menolak malah adegan itu begitu menjadi. Aku mulai menggigil, mulai tak dapat mengendalikannya, dan tampaknya aku memang akan kehilangan kendali.

“Papa, mengapa dari tadi hanya diam saja? Apa Papa tak marah Harti dibegitukan mereka?”

Pertanyaan Harti menyentakku, dan sekejap itu mengembalikan kesadaranku. Aku kemudian, dengan tergagap-gagap meyakinkan bahwa nanti hari senin Papa akan datang ke sekolah untuk mengurus semuanya, kamu tenang saja sayang, tak usah khawatir. Lalu Harti perlahan mulai menjadi tenang, ia sudah tak lagi sesenggukan, dan lalu mencium pipiku sembari mengucapkan terima kasih sebelum kemudian kembali menggelayut dengan pelukannya yang kini makin erat. Dan demi pelukannya yang erat itu yang membuat payudaranya terasa semakin menekan dadaku, potongan-potongan adegan persetubuhan itu kembali menyerbu, dan kali ini malah bertambah. Seandainya aku bisa… Harti…

“Papa, mengapa Papa dari tadi hanya diam?”

“Tidak sayang, Papa hanya sedang memikirkan, kalau saja kamu…”

“Kalau apa Papa?”

“Andai saja Papa bisa… kamu…”

“Maksud Papa?”

“Tidak sayang, Papa hanya begitu merindukan Mama.”

Harti mundur, melepaskan pelukannya, dan menatapku tenang-tenang. Matanya menyorotiku tajam, sebelum kemudian mengungkapkan bahwa dirinya juga sangat merindukan ibunya, sangat. Aku bisa merasakan nafas Harti sebab jarak kami begitu dekatnya, kulihat dadanya naik-turun dengan begitu indahnya. Lalu semua tampak gelap, entah kekuatan apa yang menggerakanku maka tiba-tiba saja aku mencium bibirnya. Harti kaget, ia buru-buru mundur dan tampak belum dapat mencerna kejadian barusan. Begitulah sebelum kemudian Harti dapat mengerti duduk perkaranya, aku membaringkan Harti dengan paksa dan lantas menindihnya. Harti tak sempat melawan, ia hanya menangis ketakutan dan sesekali berteriak walau tentu saja teriakannya tak merubah apapun apalagi menolongnya.

Aku melumat bibirnya, dengan paksa kubuka baju seragamnya sampai kancing-kancingnya beterbangan, dan tentu saja aku tak perlu melepas roknya sebab itu adalah justru bagian paling mudah. Harti menangis, Harti meronta, berteriak, kemudian terus menangis sebelum lalu berteriak lagi dan sebelum kembali meronta. Ia terus melawan tapi, apalah artinya tenaga seorang gadis bagi lelaki yang telah paripurna dalam urusan persetubuhan? Ketika kemudian aku membuka kutangnya, astaga, begitu indahnya pemandangan susunya itu. Aku tentu menghisap keduanya, dan kadang sesekali menggigit putingnya dengan kalap. Aku benar-benar telah kehilangan kendali, terlebih telah kehilangan kesabaran. Tanpa terlalu banyak mukadimah aku lalu mengangkat kedua pahanya, lalu tergesa mengeluarkan kemaluanku yang sudah sangat keras  itu, kemudian lesaplah kemaluanku ke dalam farjinya. Oh betapa, aku telah lama tidak merasakan kenikmatan semacam ini, sebuah kenikmatan menyetubuhi seorang perawan.

Sore itu, kubayar tuntas rinduku pada istriku melalui Harti. Aku menyetubuhinya berkali-kali, mewujudkan fantasi terliarku akan kegiatan persetubuhan. Selain di kamar, setelah magrib aku menyetubuhinya di atas sofa, lalu memindahkannya ke kamar mandi sebelum kusetubuhi lagi sembari berdiri, dan sebelum tidur sekitar jam sepuluh aku kembali menyeretnya untuk kusetubuhi di bak mandi tempat dulu aku dan istriku biasa bercinta. Tentu Harti tak henti-hentinya menangis, ia terus melawan, berontak padaku. Namun bukankah sudah kukatakan kalau aku adalah lelaki yang telah paripurna dalam bab persetubuhan? Itulah kado untuk ulang tahunnya yang ke enam belas.

___

            Enam bulan semenjak Harti rutin kutiduri, pada suatu pagi ia muntah-muntah. Aku sudah dapat menebaknya, karena memang selama menyetubuhinya aku kadang kelepasan mengeluarkan benihku di dalam farjinya, meski memang kebanyakan aku membuangnya pada mulutnya atau pada perutnya atau pada duburnya. Harti pun hamil, dan aku benar-benar senang mengetahuinya. Perasaan itu sama seperti senangnya diriku pada saat dulu mengetahui istriku hamil, malah rasanya aku berani mengatakan lebih. Semasa mengandung, Harti menjadi seorang gadis pendiam malah cenderung tak pernah berucap barang suatu apa. Itu bukanlah suatu masalah, sebab semenjak sering kutiduri ia memang sudah tak banyak bicara, dan menurut saja pada segala kemauanku.

          Hampir sembilan bulan sudah Harti mengandung, dan pagi tadi ia kubawa langsung ke rumah sakit setelah kuketahui bahwa dirinya akan segera melahirkan. Jujur saja sekarang aku semakin gugup dan bertambah cemas akan keadaan Harti di dalam ruang bersalin itu. Aku yakin Harti akan kuat, ia akan sekuat ibunya ketika melahirkan dirinya. Kuatlah kau sayang, Hartiku. Oh ya, sebenarnya aku juga bingung memikirkan hal ini: saat bayi perempuan itu keluar, aku harus menganggap ia anak atau cucu? Tapi sudahlah, biar itu urusan nanti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...