Kata-kata Lapar!
Segalanya
tercampur berkelindan di dalam kepala, pengap! Adakah yang lebih menyakitkan
selain dari merasa bisa tapi nyatanya tak ada hasil alias tak melakukan apapun? Rasanya hal itu mudah. Ah,
nanti seiring waktu berjalan juga akan sampai pada giliranku. Atau oh, aku tahu tapi aku malas, tak menghasilkan. Sebenarnya bukan
tak mau, tapi hal-hal semacam itu menurutku tak membawa manfaat bagi
masyarakat. Aku hargai pendapatmu tapi, maaf itu bertentangan dengan prinsip
hidupku.
Demikianlah aku, di dalam diriku mesti terjadi kecamuk
pertentangan semacam itu. Aku menginginkan hal ‘ini’, tapi aku tak ingin mengambil
jalan ‘itu’ demi mewujudkan yang ‘ini’. Aku hanya ingin melakukan ‘ini’ demi
mencapai ‘ini’, begitulah. Keadaan itu menjadi semacam rantai yang membelenggu
tangan dan kaki terutama hati, untuk sekadar
pergi mencari pekerjaan tetap yang setiap bulannya mendapat gaji tetap dan akan
senantiasa membikin diriku tetap. Apa salah jika aku punya impian ‘ini’ dan hanya
ingin melakukan ‘ini’ untuk mencapai ‘ini’? Atau apa aku terlalu munafik untuk mengakui atau untuk
sekadar menyadari bahwa sebenarnya banyak jalan untuk mencapai impian ‘ini’?
Kadang begini, apa yang ingin aku usahakan aku rasai sangat penting
dan terutama begitu mendesak untuk kelestarian kehidupan kebudayaan. Kita telah
begitu terlalu jauhnya terpisah dari identitas komunal kita sebagai suatu suku,
dan yang membuat miris adalah kenyataan bahwa bukan semata perihal keterpisahan
kita dari identitas komunal itu
tapi, kita telah tercerabut dari akar kebudayaan leluhur yang begitu luhur. Aku
telah kehilangan identitas! Aku tak tahu apapun perihal diriku, aku tak tahu
bahkan secuil pun mengenai apa, siapa, dan dari mana aku ini. Serasa aku, hanya
onggokan barang bekas di pojokan gudang yang tebal diselimuti jaring laba-laba
dalam rumah yang lama telah ditinggalkan pemiliknya sendiri.
Tapi kemudian tuntutan demi tuntutan datang, ancaman demi
ancaman mencuat, dan sekaligus kebutuhan demi kebutuhan mendesak. Apa benar aku
ingin mewujudkan mimpi ‘ini’ dengan hanya melewati jalan ‘ini’ tanpa peduli jalan ‘itu’? Apa termasuk munafik kalau aku ingin mencari rumah yang
ditinggalkan pemiliknya itu, membuka kembali gudangnya, membersihkan jaring laba-laba
yang telah bersemayam selama katakanlah seratus tahun untuk kemudian dapat
mengurus kembali barang bekas itu, dan kalau mungkin merawatnya hingga aku
mati?
Hanya saja perut tetaplah perut, ia perlu diberi makan.
Impian seagung apapun rasanya tak akan mampu buat mengenyangkan bahkan satu
perut yang lapar. Lapar merupakan binatang buas yang tak pernah puas, terlebih
ganas. Lapar selalu mengintai orang-orang sebelum kemudian menerkamnya di antara
detik. Lapar selalu mengancam setiap orang tak peduli siapa pun itu, tak peduli dari mana pun itu, tak peduli! Lapar akan
tetap menjadi lapar tanpa pernah menjadi tua, tanpa pernah peduli usia. Lapar
akan selalu beringas!
Tai kucing mati-matian merawat kebudayaan yang memang sudah
lanjut usia dan ujung-ujungnya mesti mati juga. Omong kosong bermimpi setinggi alam
semesta untuk mengurus kebudayaan kalau ngasih makan perut saja tak becus! Munafik kala kau terus bersetia pada keyakinanmu bahwa ini
adalah mimpi mulia yang lebih penting sekaligus tugas mulia untuk kembali
membangunkan peradaban yang telah lelap ribuan tahun jika cari uang saja tak
bisa, kalau untuk makan saja masih mengandalkan orang lain, atau yang terparah,
mengandalkan orang tuamu. Makan itu kebudayaan moyangmu!
Komentar
Posting Komentar