Dua Mahasiswa di Pos Ronda


 

Nyaris dua bulan di rumah, Jang Iki sudah tak betah, Jang Iki jengah, dan Jang Iki ingin secepatnya cabut ke Jogja. Walau sebenarnya libur kuliah masih menyisakan sekitar satu bulanan lagi, Jang Iki mulai tak kerasan. Tak banyak yang dapat Jang Iki perbuat di rumah. Kegiatan Jang Iki sehari-hari praktis hanya meliputi makan, tidur, dan sesekali kadang menikmati angin sore di pantai sembari menanti matahari surup. Selain itu benar-benar tak ada yang dapat Jang Iki kerjakan. Apa-apa susah di kampung, kedai atau warung kopi saja tak ada, jaringan internet susah, dan kampung serasa seperti kuburan padahal baru jam delapan malam, sepi, bikin suntuk!

Padahal pernah atau bahkan dapat dikatakan sering Bapaknya menyuruh Jang Iki untuk sekadar membantu Mang Oje mengajar ngaji anak-anak di masjid sehabis magrib, supaya dirinya tak terlalu bosan di rumah melulu, dan terlebih punya kegiatan. Tapi Jang Iki menolaknya, merasa dirinya tak pantas untuk mengajar ngaji, merasa malu dan tak ingin melangkahi yang lain-lain yang biasa mengajar ngaji, dan yang menjadi pertimbangan utama Jang Iki adalah betapa akan menyusahkannya mengajar ngaji anak-anak kecil itu. Lain waktu Bapaknya menyarankan supaya Jang Iki bergaul dengan anak-anak Karang Taruna untuk kemudian sekadar bantu-bantu mempersiapkan pengajian rutinan malam jumát, tapi lagi-lagi Jang Iki menolak dengan alasan bahwa hal-hal sederhana seperti itu cukup anak Karang Taruna saja yang mengerjakan, terlebih menurutnya hal itu terlalu kecil, tidak substansial. Bayangkan saja, gerutunya, di Jogja banyak hal yang biasa Jang Iki kerjakan mulai dari rapat-rapat komunitas dan organisasi, merencanakan sebuah acara; menggagasnya, mengonsepnya dan mengeksekusinya, berdiskusi sampai pagi di warung kopi dengan teman-teman; memisuhi kapitalisme laknat, mencaci kebijakan-kebijakan rezim korup pemerintah, mengkritik kebijakan kampus mengenai UKT, dan hal-hal besar lainnya yang tak mungkin terbayang apalagi terpikir oleh teman-teman sebayanya di kampung.

            Ambil saja Si Beben sebagai contoh. Tiap pagi kerjaannya hanya mencari cacing untuk umpan memancing di sore harinya, kalau tidak, Si Beben hanya akan pergi berburu babi ke hutan di lain harinya, terus saja seperti itu. Kemudian kalau menongkrong denganku di pos ronda, Si Beben jelas tak dapat kuajak diskusi mengenai ini-itu, ataupun diajak diskusi mengenai kebijakan serampangan pemerintah yang hanya dan selalu menguntungkan pengusaha-pengusaha keparat, yang dibicarakannya paling hanya mengobral bahwa hari ini ia dapat ikan atau belut berapa, atau mentok pada cerita bagaimana serunya berburu babi. Sungguh membosankan, terlebih tak ada guna. Sementara obrolan Si Ruslan yang seorang perawat itu, sungguh hanya berputar-putar pada betapa membosankannya kalau ia harus piket malam, atau betapa ribetnya mengurus pasien lansia, atau mengenai betapa meski sudah kerja hampir setahun di puskesmas gajinya tak kunjung naik. Getir memang, tapi Jang Iki tak begitu tertarik pada masalah-masalah sepele semacam itu.

Sejauh ini hanya ada satu orang yang menurut Jang Iki lumayanlah bisa rada nyambung untuk diajak berbincang. Ialah Si Mijan anak Guru Solih yang sama seorang mahasiswa seperti Jang Iki, berkuliah di Bandung, dan tak jadi soal meski Si Mijan sebenarnya berada di bawahnya tiga tahun serta kampusnya adalah kampus swasta, setidaknya ia bisa diajak berbincang bertukar informasi mengenai kegiatan di kampus masing-masing. Kebetulan siang tadi Jang Iki melihatnya ada di rumah, baru pulang dari Bandung, dan lalu Jang Iki mengajak Si Mijan untuk mengobrol di pos ronda nanti malam.

___

            Perbincangan ini kemudian terjadi pada malam dingin berangin. Di pos ronda sebelum obrolan dimulai, Mang Saji secara panjang lebar memberikan mukadimah dengan menerangkan pada Jang Iki dan Jang Mijan bahwa hawa dingin yang diiringi angin kencang ini adalah akibat dari proses peralihan dari musim hujan menuju kemarau. Oleh karena air menjadi sedikit, Mang Saji mengeluhkan bahwa setiap hari dirinya harus memeriksa saluran irigasi untuk memastikan tak ada sampah yang menghalangi lajunya air. Pernah sekali waktu Mang Saji lupa memeriksanya sebab ia mesti pergi ke huma, dan yang terjadi adalah Mang Saji kena omel si pemilik sawah yang diurusnya, yaitu Haji Adung. Tak sampai di situ, Mang Saji lalu berceloteh perihal betapa tidak enaknya menjadi tua, menjadi ringkih.

“Tidak enak rasanya. Diajak kerja sebentar badan sudah capek, tenaga mulai berkurang, jadi mulai sering pegal-linu. Tapi masih Alhamdulillah Jang, untungnya Mang Saji tidak punya asam urat dan rematik. Tapi juga di musim pancaroba seperti ini penyakit jadinya lebih mudah datang. Mang Saji tiga hari yang lalu meriang Jang, terus ditambah pilek-batuk, suara serak, dan terpaksa harus menginap di puskesmas semalam.”

“Jadi begitu, Mang?” Tanya Si Mijan cengengesan.

“Betul Jang, begitu. Makanya merondanya lanjut berdua saja, Mang Saji pamit duluan. Ini juga badan sudah mulai tidak enak. Wah kayanya masuk angin ini.”

Seketika Mang Saji pergi begitu saja meninggalkan pos ronda, maka berakhir pulalah mukadimahnya. Hawa semakin malam semakin bertambah dingin, angin juga.

“Libur berapa lama Jan?” Jang Iki memulai.

“Tiga bulan A. Cuma kalau swasta kan memang jadwalnya beda sama negeri.”

Jang Iki mengangguk, kemudian bereaksi dengan mulai melempar pertanyaan pada seputaran bagaimana rasanya menjadi seorang mahasiswa, apakah ujiannya lancar, bayar uang kuliah berapa, bagaimana rasanya hidup di Bandung, terkait harga kos-kosan atau kontrakan, kegiatan sehari-hari selain kuliah, dan apakah Si Mijan bergabung dengan komunitas atau UKM atau organisasi atau perkumpulan-perkumpulan lain di luar kampus, dan pertanyaan-pertanyaan yang belakanganlah yang memang menjadi perhatian utama Jang Iki sebenarnya.

“Enggak sih A. Baru setahun kuliah, dan setahun ini kuliah ya kuliah saja, tak ikut komunitas, atau UKM, apalagi gabung organisasi. Takutnya nanti kuliah berantakan, kasihan Si Bapak.” Jawab Si Mijan enteng sembari ketawa.

“Bagaimana bisa orang mengaku mahasiswa tanpa ikut komunitas atau UKM apalagi tak berorganisasi? Organisasi itu penting Jan, penting! Kalau kamu hanya kuliah-pulang-kuliah-pulang nanti tak bakal dapat apa-apa, paling mentok cuma dapat omongan dosen, itu pun kalau nyangkut. Berorganisasi itu penting, sebab bisa mengasah soft skill Jan. Di dalam kamu dilatih buat bekerja sama, dibiasakan disiplin, diajari tanggung jawab, digembleng mental, cara berpikir kamu pun bisa terasah terus karena setiap saat banyak teman yang bisa diajak untuk berdiskusi, mendewasakan pikiran, dan yang lebih penting, kalau kamu berorganisasi teman-teman kamu pasti banyak sekaligus jaringan menjadi semakin luas. Coba perhatikan saja Jan, tak ada orang sukses yang tak berorganisasi, tak ada orang hebat yang tak berorganisasi, lebih-lebih tak ada orang besar yang lahir tanpa pernah berorganisasi. Kalau perihal takut kuliah menjadi berantakan, itu memang sudah resiko, dan kalaupun kuliah memang harus dikorbankan maka hal itu sudah pasti sepadan. Lagi pula itu balik lagi ke diri sendiri, bagaimana pintar-pintar kita mengatur waktu. Terus kalau tidak berorganisasi, sehari-hari setelah kelar kuliah kerjaan apa?”

“Paling nongkrong bareng teman-teman A. Kalau kebetulan ada tugas, nongkrongnya sambil mengerjakan tugas. Kalau tak ada, ya hanya nongkrong saja. Itu pun kalau libur, dan waktunya ada.”

Jang Iki keheranan. Bagaimana ceritanya di jaman segenting seperti sekarang masih ada mahasiswa yang leha-leha tak ada kerja, tak berorganisasi. Bagaimana bangsa kita akan cepat maju kalau pemudanya saja bentukannya seperti Si Mijan ini. “Sudah baca buku apa saja?” Jang Iki merubah arah.

“Jarang A, malah enggak pernah.”

“Madilog, Tan Malaka?”

Si Mijan menggeleng.

“Tetralogi Buru; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Pram?”

Kembali menggeleng.

“Soe Hok Gie?”

Menggeleng.

“Buku-buku filsafat? Kesenian? Budaya? Ekonomi? Sejarah, politik, atau sastra?”

Si Mijan hanya menggeleng, dan hanya menggeleng. Bagi seseorang seperti Jang Iki, Si Mijan jelas telah gagal menjadi seorang mahasiswa seutuhnya, Si Mijan telah gagal menjadi agen perubahan yang bersetia pada idealismenya, bersetia pada orang-orang yang termarjinalkan, dan kukuh dalam pergerakan perjuangan membela ketidakadilan serta penindasan. Mahasiswa seperti Si Mijan adalah jenis dari mahasiswa yang tentu tak dapat diandalkan, dan bagaimana bisa Si Mijan dapat menjadi sebenar-benarnya mahasiswa kalau tak ikut suatu organisasi? Bagaimana bisa Si Mijan disebut seorang mahasiswa kalau baca buku saja tak pernah? Mahasiswa macam apa Si Mijan ini? Tak bisa diandalkan apalagi diharapkan!

Di tengah kecamuk pikiran Jang Iki, Si Mijan tiba-tiba saja berkata bahwa “Aku tak ikut ini-itu karena harus kerja di kedai kopi. Lumayanlah buat bantu-bantu Si Bapak bayar kos, dan buat nambah-nambahin untuk biaya kebutuhan sehari-hari. Kuliah sambil kerja saja sudah banyak menyita waktu A, jadi ya memang tak ada waktu buat ikut organisasi atau untuk sekadar baca-baca buku.” Kembali Si Mijan dengan caranya, enteng, dan tak lupa ketawa.

Selanjutnya Jang Iki hanya membuang muka.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...