Desa Anjing
Anjing! Malam ini begitu dingin
begini, dan lagi-lagi aku harus terjebak bersama Si Gerandong, Si Nyanyuk, Si
Fauzi Buluk dan Si JI alias Jang Idang di pos ronda keparat ini. Ya, seperti
yang sudah menjadi kebiasaan di kampung, kami berlima masing-masing
menggantikan tugas ronda bapak masing-masing. Kalau tak terpaksa, sebenarnya
aku malas untuk meronda. Lihat saja, dari tadi Si Gerandong hanya sibuk dengan
gitar bututnya merasa dirinya Iwan Fals
atau kadang terkaing menjadi Ebiet G. Ade, sementara Si Nyanyuk dan Si Fauzi
Buluk sibuk menunduk bukan pada Tuhan tapi pada permainan daring keparat di
gawainya. Pada malam di tengah cuaca dingin berangin, hanya aku dan Si JI alias
Jang Idang yang punya cukup kewarasan untuk menghangatkan badan pada kobaran
api anggun yang tak henti menari digoyang angin sembari membakar beberapa
singkong sumbangan dari Mang Saji.
Seperti
yang kubilang tadi, kalau tak terpaksa sebenarnya aku malas untuk meronda,
sebab tak banyak hal yang dapat kulakukan selain makan angin. Kata beberapa
nelayan di kampung, angin sedang berbalik menuju ke barat yang kemudian mereka
sebut sebagai angin kulon, itu sebab mengapa hawa menjadi sedingin ini.
Sementara Mang Bubun mewakili pihak petani mengatakan bahwa hawa menjadi dingin
sebab alam sedang memasuki tahap perpindahan, dari musim hujan menuju musim
kemarau. Namun mau bagaimana lagi, mau tak mau, ingin tak ingin, di tengah hawa
dingin keparat ini aku mesti tetap meronda. Karena kalau tidak, tak ada yang bakal
menjamin desa kami tak kemalingan lagi.
Hampir
sekitar tiga bulanan terakhir, desa kami jadi tempat liburan menyenangkan bagi
bangsat-bangsat untuk menggarong. Bagaimana tidak, hampir setiap minggu di
setiap kampung, mesti ada saja warga yang digarong harta bendanya. Pada bulan
pertama, mereka menguras habis gudang hasil tani yang berupa beras, cengkih
serta cabe milik Haji Adung di Cieurih. Sontak, esoknya Haji Adung mendadak kena
struk! Selanjutnya di Pojok, beberapa ekor sapi dan kambing milik Mang Suhada juga
diangkut dengan santai. Di kampungku Sukasirna, warung Ceu Rina dibobol, motor
Haji Solih dan Abah Didi digondol, dan komputer-komputer di MI Bahrul Ulum juga
ludes (termasuk kabel-kabelnya). Itu semua belum termasuk keropak masjid yang
dibongkar dari dindingnya, sepatu-sepatu yang entah ke mana perginya dan ampli
di kantor desa juga entah hilang ke mana.
Pihak
Koramil bungkam tak berkomentar pada kejadian-kejadian tersebut, Polsek juga
malah seperti tak ada niatan sungguh untuk sekadar mencari tahu siapa
garongnya, dan Pemerintah Desa juga sama polosnya tak tahu apa-apa. Maka
demikian, menanggapi gentingnya keadaan keamanan di desa, satu-satunya solusi
yang terpikir oleh Kepala Desa adalah dengan kembali menggalakan ronda di
kampung-kampung yang kemudian melalui Pak RW dan Pak RT kebijakan tersebut
disebarluaskan ke masyarakat desa. Sementara seperti lazimnya, Koramil dan
Polsek hanya bisa menunggu bola datang lewat laporan warga.
___
Sebenarnya
sebelum tiga bulan yang lalu, sebelum banyak kejadian warga kemalingan, desa
kami termasuk di antara desa yang paling aman. Tak pernah ada kejadian rumah,
warung, kandang, atau bahkan keropak masjid kemalingan, apalagi dengan jarak
waktu yang berturut-turut seperti sekarang, tak ada ceritanya! Kalaupun ada,
paling hanya sendal-sendal warga di teras yang raib, itu pun bukan karena
digarong bangsat tapi, oleh anjing-anjing yang kadang usil menggiwingnya ke
semak-semak atau ke lapangan. Keadaan tak pernah segenting dan semencekam
seperti sekarang, sebab sebelum tiga bulan yang lalu, di desa dan di
kampung-kampung, hampir setiap rumah punya anjing, hampir setiap orang
memelihara anjing.
Sebab
kebanyakan dari warga di desa adalah petani, maka kebiasaan memelihara anjing adalah
kegiatan lumrah sekaligus turun-temurun. Tak ada dari para petani yang tak
memiliki anjing, tak peduli hanya satu atau dua ekor, karena memang entah
bagaimana ceritanya setiap petani mesti punya anjing lebih dari dua. Tapi
berbeda dari kebiasaan orang luar negeri yang menempatkan anjing pada posisi
dapat masuk rumah seenaknya, di desa, tak ada alasan lain para petani
memeliharanya selain untuk kebutuhan kerja. Anjing-anjing tersebut akan
menemani para petani ke sawah, ke huma, atau ke hutan untuk berburu babi yang
seringkali merusak tanaman. Anjing-anjing itu juga menjadi teman yang mumpuni
dalam segala keadaan, bisa menjadi penjaga sekaligus pelindung bagi mereka, dan
tentu anjing-anjing adalah hewan yang setia.
Banyaknya
anjing-anjing di desa inilah yang sebenarnya membuat keadaan desa kami selalu
dalam keadaan aman. Sebab ketika malam, mereka akan menyalak pada orang baru,
atau orang yang tak mereka kenali, sebelum mengejarnya habis-habisan dan yang
hanya bisa dihentikan oleh si pemilik. Maka oleh karena itulah orang-orang baru
atau orang-orang luar desa atau siapa pun tak berani semena-mena apalagi
sekonyong-konyong masuk desa, kalaupun memang ada suatu urusan atau keperluan,
maka mereka akan minta ditemani oleh orang yang mereka kenal di desa kami.
Begitulah anjing-anjing warga terutama anjing-anjing para petani menjaga desa
kami, sebelum kemudian Ceng Yana putra Ajengan Suhon pulang dari kuliahnya.
___
Ajengan
Suhon adalah pemuka agama sekaligus tokoh masyarakat sekaligus orang yang sangat
berpengaruh sekaligus merangkap pribadi yang begitu mashur, setidaknya untuk
sekup kecamatan. Ajengan Suhon sangat dihormati, dijunjung tinggi, saran-saran
atau pendapat-pendapatnya dapat langsung menjelma menjadi sebuah titah, dan
beliau adalah pendiri sekaligus pemimpin pondok pesantren kecil di desa. Namun
meski begitu, Ajengan Suhon adalah pribadi sederhana nan bersahaja yang dikenal
sebab budi pekertinya yang begitu luhur.
Sementara
Ceng Yana adalah satu-satunya anak yang diharapkan dapat meneruskan apa yang
Ajengan Suhon sudah kerjakan dan berikan untuk masyarakat. Maka demi
tercapainya maksud yang demikian itu, Ajengan Suhon memberangkatkan Ceng Yana
untuk kuliah di kota. Enam tahun lamanya Ceng Yana mengenyam bangku
perkuliahan, dan beberapa bulan lalu langsung pulang ke desa setelah selesai
diwisuda. Semenjak itu, Ceng Yana mulai mengajar ngaji di pesantren, mulai
mengisi pengajian-pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak, mulai menjadi imam di
masjid, mulai mengisi ceramah-ceramah, dan singkatnya mulai mengemban tanggung
jawab yang dulu dipikul oleh Ajengan Suhon.
Sebab
Ceng Yana adalah anak sekaligus penerus Ajengan Suhon, maka masyarakat pun
memperlakukan Ceng Yana sebagaimana mereka memperlakukan Ajengan Suhon.
Masyarakat menghormatinya sebagaimana mereka menghormati Ajengan Suhon,
masyarakat menjunjungnya sebagaimana mereka menjadikan Ajengan Suhon junjungan,
mudahnya, Ceng Yana memiliki segala apa yang pernah dimiliki oleh Ajengan
Suhon. Sampai suatu hari, setelah pulang dari pengajian, ibu berkata
padaku bahwa mulai besok kita harus mengusir anjing-anjing kami dari rumah, tak
mau tahu dengan cara apa yang penting segala anjing-anjing lenyap dari kampung.
Ibu
menuturkan, adalah Ceng Yana yang berkata bahwa
jika ingin desa kami menjadi desa berkah, maka masyarakat desa harus mengusir
anjing-anjing mereka dari rumah. Sebab anjing adalah binatang najis, sebab
anjing adalah binatang yang menjijikan yang menjadi sebab sebuah rumah tak akan
pernah dimasuki oleh Malaikat. Bagaimana bisa desa kami dapat
mendapat berkah jika Malaikat saja ogah mampir ke rumah-rumah. Anjing adalah
binatang najis, dan tak pantas untuk sekadar dipelihara apalagi dijadikan
kawan. Maka ibu-ibu, mulai besok usir segera anjing-anjing dari rumah. Atau
kalau kasihan, jual saja itu anjing-anjing pada orang-orang Cina dan kalau
mereka enggan membelinya maka berikan saja tanpa perlu minta bayaran. Lagi pula
tak ada berkahnya uang dari hasil menjual anjing, sebab anjing binatang najis.
Haram hukumnya ibu-ibu punya anjing di rumah, apapun alasannya. Tak boleh!
Demikianlah
kemudian Ceng Yana selalu menyelipkan ceramah mengenai kenajisan dan keharaman
anjing untuk dipelihara pada setiap kesempatan, di pesantren pada
santri-santri, di pengajian pada ibu-ibu dan bapak-bapak, di sekolahan pada murid-murid,
saat jum’atan atau dalam ceramah-ceramah umum. Padahal kata bapak, selama ini
Ajengan Suhon tak pernah membesar-besarkan perkara masyarakat yang doyan
memelihara anjing, dan kalaupun ada seseorang bertanya padanya maka Ajengan
Suhon hanya akan berkata dengan santai bahwa “kalau mau pelihara ya pelihara
saja.”
Memang
ada beberapa warga yang bertanya sekaligus mengadu pada Ajengan Suhon mengenai
sikap Ceng Yana ini, namun Ajengan Suhon telah begitu sepuhnya untuk mengurusi
hal demikian, beliau sudah tak ada tenaga. Maka meski enggan, demi menghormati
Ajengan Suhon, warga terutama para petani mulai mengusir anjing-anjing mereka
dari rumah. Kebanyakan warga memilih untuk menjualnya pada orang-orang Cina
meski dengan harga murah, ada juga warga yang memberikannya secara cuma-cuma,
dan anjing-anjingku, kuberikan pada seorang teman dari luar kecamatan.
Begitulah
lalu kampung-kampung menjadi sepi dari gonggongan anjing-anjing, orang-orang
luar desa mulai bebas berkeliaran di desa kami, dan awal petaka ini
bermuara. Sebab anjing-anjing telah diusir karena najis, sebab anjing-anjing
telah disingkirkan karena haram, sebab anjing-anjing tak lagi dapat dijadikan
kawan, maka bangsat-bangsat serasa berulang tahun setiap minggunya. Maka
demikianlah aku, Si Gerandong, Si Nyanyuk, Si Fauzi Buluk,
dan Si JI alias Jang Idang kemudian luntang-lantung menyangkut di pos
ronda keparat ini. Dan sesungguhnya aku, merindukan anjing-anjingku.
Komentar
Posting Komentar