Mengunjungimu Sekali Lagi


 

Mengunjungimu sekali lagi, dalam ingatanku. Aku tatap kamu, kamu tetap seperti dulu. Seperti biasanya, selalu seperti yang dapat kuingat.

     Hal itu tak datang dengan semena-mena, melainkan melalui laku tapa dalam durasi ribuan tahun lamanya. Duduk bersila, mengatur nafas, berlatih untuk fokus, dan mengalirkan aliran yang selama ini tersumbat. Terus saja aku ulangi laku tapa semacam itu, sepuluh tahun, seratus tahun, seribu tahun, sampai entah kapan. Aku capek, tentu. Tapi aku puas, selalu. Sebab hanya dengan begitu aku dapat mengunjungimu, hanya dengan begitu aku dapat memelukmu, dan hanya dengan begitu kerinduanku bisa luruh.

    Aku dan kamu lalu menaiki perahu, mengarungi aliran kerinduan bersama. Berdua kita berceloteh mengenai bunga-bunga yang kita tanam, bersenandung menimbrung kicauan burung di atas pohon di pinggir aliran itu, dan kadang terlelap dalam sunyi merdu percikan air yang memabukkan itu. Oh aku sungguh, berbahagia.

        Bisa berada di sampingmu, menggenggam tanganmu, memandang matamu, merasai rambutmu yang berulang jatuh pada pundakku dan kadang pada leherku. Angin sejuk sore hari menyelimuti aku dan kamu. Membuai aku dan kamu dalam lamunan abadi ini. Oh aku sungguh, mencintaimu.

        Aku dan kamu terus mengalir, menyusuri lika-liku luka percintaan menuju matahari yang gelisah di ujung sana. Semua sampah semua tumpah.

Namun kian hari kian perahu sepi. Kian hari kian perahu ke tepi. Kian hari kian aku mengerti. Kian hari kian kamu berlari. Meninggalkan aku sendiri, di atas perahu, dalam deras aliran itu. Kamu telah melakukan kesalahan, dan terima saja. Relakan saja! Tak usah mengingkarinya, tak perlu menghindarinya, dan jangan coba untuk menolaknya.

         Mungkin kamu kuat, mungkin kamu tangguh, mungkin kamu penabah. Tapi kamu lupa, bahwa kamu hanya sehelai bulu di hadapan kenyataan. Kamu ringan di genggamannya, kamu mudah dihempaskannya, dan kamu akan selalu kalah. Tak peduli seberapa keras kamu mencoba melawannya, pada akhirnya kamu akan selalu kalah. Sekuat apapun kamu melawan, kamu akan kalah. Setangguh apapun kamu berjuang, kamu akan kalah. Setabah apapun kamu bertahan, dan kamu akan tetap selalu kalah.

___

Di atas perahu kemudian aku sendiri, dan yang menetap hanyalah bunga-bunga, senandung kicauan burung, sejuk angin sore dan deras aliran itu. Lama aku termenung, lama aku tercenung, di atas perahu itu. Menyesali semuanya, meratapi kepergianmu. Kamu pergi dan katamu itu adalah salahku. Kamu pergi dan aku tak berusaha menghalangimu. Kamu pergi dan aku, tak lagi melihat Matahari.

            Bunga-bunga masih di sana, burung-burung masih bersenandung, aliran itu masih tetap deras, dan kali ini datang Bulan menggantikan Matahari. Aku turun menghampiri bunga-bunga, menyapa burung-burung, menatap aliran itu, dan lalu mengajak Bulan berbincang.

            Aku menceritakan pada Bulan bahwa mulai besok aku tak akan lagi meratapi kepergian kamu. Aku tak akan. Aku bilang padanya kalau mulai besok aku akan menyiram bunga-bunga, aku akan selalu menemani burung-burung bersenandung, aku tak akan melawan aliran itu. Kukatakan padanya, “aku berjanji!”

    Kemudian bunga-bunga tersenyum bermekaran. Kemudian burung-burung menyanyikan senandung-senandung baru. Kemudian aliran itu membawaku kembali pada kesadaranku. Mataku terbuka, aku duduk bersila, dan gelap, dan hening, dan… sunyi.

___

Perahu itu terapung. Perahu itu kosong. Perahu itu sendirian, di tengah aliran kerinduan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...