Kejadian Singkat
Meski
begitu, sebenarnya sulit bagiku untuk meninggalkanmu. Bahkan mungkin aku masih
mencintaimu. Namun demi mendengar pengakuanmu itu, sungguh sangat membuatku
terguncang. Mendengar kau menuturkan bahwa dulu kau pernah tidur dengan
perempuan lain, dan bukan sekadar pernah tapi sering, itu membuatku hancur.
Mengapa kau lakukan ini padaku? Mengapa kau menyiksaku seperti ini? Teganya
kau!
Padahal kau
begitu mencintaiku. Aku tahu kau begitu mencintaiku, dan katamu, itulah alasan yang
membuatmu harus mengatakan pengakuan sialan itu. Karena kau begitu mencintaiku,
maka kau merasa harus menceritakan semua masa lalumu itu, masa kelammu itu.
Biar adil, biar aku tahu, biar aku tahu siapa sesungguhnya lelaki yang aku
cintai ini, katamu. Kau merasa perlu mengatakan semuanya itu agar dirimu merasa
tenang. Kau tak ingin membohongiku seumur hidup. Kau tak mau hidup denganku
dalam keadaan merasa bersalah.
Persetan
dengan masa lalumu itu. Persetan itu semua. Harusnya kau tak usah menceritakan
semuanya itu padaku. Harusnya kau membohongiku saja seumur hidup. Jangan kau
ceritakan, jangan kau jujur seperti ini. Bohongi saja aku! Dengan begitu,
setidaknya aku bisa hidup berbahagia denganmu tanpa pernah peduli apakah kau
pernah tidur dengan perempuan lain atau tidak. Dengan begitu aku tak akan
merasakan kesakitan ini. Dengan begitu, aku tak perlu menanggung penderitaan
menyedihkan ini. Persetan dengan masa lalumu itu. Seharusnya kau jangan jujur. Seharusnya
kau jangan menceritakan semuanya. Aku mungkin masih mencintaimu. Bohongi saja
aku! Bohongi saja! Bohongi saja aku seumur hidup!
Teganya
kau! Teganya kau merenggut harapanku. Teganya kau menghancurkan mimpi-mimpiku.
Harapan hidup bersama denganmu di hari depan, mimpi-mimpi untuk kebahagiaan
bersama, semua yang sudah kita rencanakan sia-sia. Kau menghancurkan semua itu.
Kau yang membuatnya menjadi sia-sia. Benar saja kata orang, manusia hanya bisa
berencana dan Tuhanlah yang menentukan. Dan kau, kau... lelaki yang aku cintai,
lelaki yang menjanjikan sebuah kehidupan padaku, lelaki yang bersumpah akan
mencintaku sampai aku mati, telah menjadi palu Tuhan yang menghantam meremukkan
aku.
Mengapa tak
kau katakan sedari dulu? Mengapa baru kau katakan sekarang? Mengapa? Jangan diam
saja!? Jawab! Ayo jawab! Kau... mengapa? Mengapa baru sekarang? Mengapa baru
kau katakan saat aku tengah berbahagia menyongsong hari pernikahan kita bulan
depan, hah? Teganya kau! Teganya kau menyiksaku seperti ini. Dasar bajingan!
Lelaki brengsek! Setan! Mengapa baru sekarang kau katakan? Mengapa? Jawab bajingan!?
Jawab! Mengapa diam saja?! Jawab! Ayo jawab?!
Setahun
lebih sudah kita menjadi sepasang kekasih, dan selama itu kita telah
mendefinisikan kebahagiaan dengan sempurna. Kita telah menyelam bersama ke
dasar samudera kehidupan, berjuang bersama menaklukan kegelapan, bersama
menghadapi rasa takut, berdua menuju kedalaman, sampai kemudian menemukan
mutiara. Mutiara yang kelak akan kau jadikan mas kawin di hari pernikahan kita,
mas kawin buatku. Masa-masa indah itu... kegemilangan cinta yang pernah kita raih...
kasih sayang yang telah kita tanam... tapi kau... tapi...
Tapi, sudah
cukup. Rasanya sudah tak usah diteruskan lagi persiapan pernikahan kita. Walau
atas nama cinta padaku kau berdalih mengatakan siapa dirimu sebenarnya, aku tak
peduli. Aku tak bisa menikahi lelaki sepertimu, tak mungkin. Aku sudah selesai
denganmu, aku tak mau meneruskannya. Aku tak bisa. Sudah tak ada lagi urusan.
Dan aku sudah tak peduli cinta, aku tak peduli dengan cintamu itu. Cinta adalah
nasi, dimakan jadi tai.
Tak usah
menghubungiku lagi.
Komentar
Posting Komentar