Hawa Malam Hari


Entah ini sudah berapa kali, tak lagi dapat kuhitung. Aku tak dapat mengingatnya lagi, tak mampu. Sudah keberapa kali, telah berulang kali, dan aku salah lagi. Setidaknya sejauh ini aku merasa seperti itu, merasa salah terhadapmu. Benarkah aku salah? Apakah aku salah? Mungkinkah aku salah? Akulah yang salah? Salahkah aku?

Benar, aku salah. Aku salah. Mungkin aku salah. Akulah yang salah. Salah. Aku salah. Namun sebentar... rasanya aku tak benar-benar salah. Aku tak salah. Mungkin tak salah. Tak salah.

Begini. Aku tak mengharap sesuatu apapun saat kutanya apakah mungkin untuk kita bisa melakukan pertemuan. Kamu pun dengan jawabanmu itu membuatku yakin kalau hal itu memang mungkin. Apalagi kita sedang berdekatan. Aku tak memaksa, dan kamu pun kupikir tak merasa terpaksa. Karena jika sedari awal kamu telah malas terhadapku, maka sejak sedari awal pula kamu akan malas terhadapku. Tak usah menunggu sampai seperti ini, sampai seperti sekarang.

Aku hanya ingin bertemu denganmu, hanya itu. Aku hanya menginginkan sebuah pertemuan. Pertemuan yang mungkin dapat menghiburku dari kekelaman masa lalu. Pertemuan yang mungkin dapat menata kesemrawutan alam pikiran. Pertemuan yang mungkin dapat meredam kecamuk dalam hati. Sebuah pertemuan hangat dengan secangkir teh dan segelas kopi, dipadu serta dengan obrolan yang penuh canda bercampur tawa, penuh kasih bertabur kisah, penuh cinta antara kita, dan penuh rindu yang menggebu.

Meski begitu, bukan maksud aku hendak mengulang apa yang pernah kita jalani pada masa hampir sepuluh tahun lalu itu. Bukan maksudku begitu. Tidak ada maksudku ke situ. Telah kuucap perasaanku mengenai keinginanku yang sederhana itu. Aku hanya ingin bertemu kamu. Aku hanya berharap kita dapat bertemu. Aku hanya butuh sebuah pertemuan. Sebuah pertemuan yang mungkin... tapi ah, kamu sudah menutup pintu. Tak berucap, tak berkecup. Tanpa kata antara kita.

Ketika pintu telah kau tutup, ketika pintu tak mungkin lagi kuketuk, maka sekarang kepalaku mendadak sesak oleh pertanyaan yang menyerbu ini:

Aku salah karena kamu yang membuatku salah. Kamu yang mungkin sedang mencari perlindungan dari ketidakyakinanmu padaku dengan cara memilih sembunyi di balik kesalahanku yang kau cipta itu. Aku salah karena prasangkamu yang membuatku salah. Prasangka yang mewujud atas ketidakpercayaanmu yang lalu membisikimu untuk kemudian menyalahkanku. Sebuah prasangka tanpa tanya, adalah kebrutalan atas kemanusiaan. Aku salah karena keadaan yang membuatku salah. Keadaan laknat yang sentosa mengiringi kita. Keadaan keparat yang membikin aku dan kamu, ciut. Membikin kita gentar akan hari esok.
___

Kamu ada tanpa bisa kuraba. Kamu hadir tanpa pernah berakhir. Kamu nyata tanpa pernah bicara, lagi.

Kamu diam, kamu bungkam. Kebungkamanmu itu menjadikanku gagu untuk sekadar bertanya mengapa kamu menjadi bungkam. Lantas aku, setiap harinya hanya menunggu sembari bertanya-tanya sekaligus menjawabinya. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin, mengedepankan persoalan-persoalan yang itu-itu saja, menertawakan bahwa meski hal tersebut konyol tapi aku kerap saja mengulanginya. Miris. Terus menunggu, terus bertanya-tanya, terus menjawabinya, terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan, terus mengedepankan persoalan-persoalan yang, itu-itu saja. Tragis.

Melalui layar benderang (dan hanya melalui itu) aku masih bisa memandangi kamu. Mencoba menangkap pesan yang mungkin kamu selipkan pada sebatang cuitan atau pada sepotong curahan yang kamu ukir di dinding alam mayamu. Tapi tak ada, aku tak mampu menangkapnya apalagi memahaminya. Semakin kuperhatikan, semakin tak ada kamu menunjukan sesuatu apa. Kamu mungkin sudah tak peduli. Kamu mungkin muntab.

Aku ingin seperti kamu yang bisa serba benar. Namun apa daya, keadaan membuat aku serba salah. Jelas untuk mudahnya, aku kantun menanyakan mengapa kamu memilih menutup mulut seperti ini. Tapi setelah kupikir, mungkin kamu diam karena kamu memang ingin diam, bukan diam karenaku, dan tidak ditujukan padaku. Serba salah jadinya; tak bertanya aku penasaran, tapi bertanya malah takut salah sasaran.

Maka aku harus bagaimana, wahai keturunan Hawa? Kalau ini memang teka-teki dari kamu, setidaknya berilah sebuah petunjuk supaya aku dapat bertahan. Biar terang jalan ini, agar aku tak tersesat dalam belantara dirimu. Sedalam apapun diammu itu, seterjal apapun marahmu itu, segersang apapun sikapmu itu, yang kubutuhkan hanyalah sebuah petunjuk. Sebuah petunjuk yang bisa menjadi nafas, sebuah petunjuk yang mungkin menjadi langkah, dan sebuah petunjuk yang semoga menjadi air.

Dan ngeri juga membayangkan kalau benar bahwa memang diammu itu bukan karenaku, tidak ditujukan untukku.
­­­___

Tidak sedikit orang menasehatkan bahwa katanya rasa percaya merupakan tulang punggung kebahagiaan bagi sepasang kekasih. Aku percaya. Aku iman. Aku mengimani bahwa pada waktunya kamu akan datang, kita akan mengobrol, dan (mungkin kalau boleh) berbahagia. Tadi malam memang... sebuah pertemuan singkat.

Kamu menangis sesenggukkan menatap aku, dan air mata merias wajah kamu yang merona itu. Tapi jelas kamu tidak sedang dalam keadaan merona, kamu sedang merana. Susah untuk melupakan debar yang berdebur dalam dadaku saat aku menghampiri kamu apalagi saat kemudian aku memeluk kamu. Lagi pula memang tak ada niatan untuk melupakan juga sebenarnya.

Menatap mata kamu sedekat ini, mengamati wajah kamu serinci ini, menjadi terang bahwa kamu telah menangis sudah sejak sedari lama. Mungkin setahun, mungkin juga sembilan tahun, atau siapa tahu telah seratus tahun. Dan selama itu kamu hanya menangis. Hanya menangis. Semacam tangisan pilu yang berlarut.

Aku masih memeluk kamu. Kamu masih sesenggukkan. Aku tetap memeluk kamu. Kamu tetap sesenggukkan. Aku teruskan memeluk kamu. Kamu teruskan sesenggukkan. Tak peduli aku sedang dalam keadaan serba salah, tak peduli meski kamu selalu dalam keadaan serba benar, kuberanikan akhirnya untuk bertanya. Kamu tak apa?

Dasar lelaki, memang goblok!
___

Lama, telah aku peluk kamu. Lama, kamu telah sesenggukkan. Dan setelah kita berlama-lama, kamu kemudian mulai tenang. Namun kamu masih diam, tetap diam, dan terus diam. Tapi tak apa, yang penting kamu terus tenang, dan tetap tenang.

Kamu mengangguk. Kamu mungkin telah siap untuk bicara. Tapi sebentar... tanganmu merogoh tas di sampingmu, kemudian mengeluarkan berlembar-lembar kertas, lalu memberikannya padaku. Itu adalah berlembar-lembar kertas yang banyak, penuh dengan tulisan. Tanpa mengucapkan sepatah kata, kamu menyuruh aku untuk membacanya. Kamu menyuruh aku untuk memahaminya. Aku mengerti, dari sorot mata kamu.

Kumulai mencoba membacai kertas itu. Akan tetapi aku tak dapat membacanya apalagi memahaminya. Aku tak dapat membaca kata-kata dalam lembar kertas itu, aku tak dapat mengerti kalimat-kalimat dalam lembar kertas itu, aku tak memahaminya. Padahal jelas, itu adalah sebuah tulisan sebagaimana lazimnya sebuah tulisan. Ada kumpulan huruf-huruf, ada kumpulan kata-kata, ada kumpulan kalimat-kalimat. Tapi aku masih tak bisa membacanya. Aku tak bisa memahaminya.

Kemudian dalam keadaan bingung, mendadak muncul serentak perasaan campur aduk. Aku mulai merasa  salah, aku mulai merasa sedih, aku mulai ingin menangis. Meski aku tak dapat membacanya, tapi kata-kata itu seakan menuntutku untuk mengerti. Kata-kata itu terus memburu. Aku tak berdaya. Aku menangis. Aku menangis dan terus menangis. Dada terasa sesak, hati terasa perih, padahal aku tak bisa membacanya.

Kamu pun hanya diam. Kamu pun tetap bungkam. Kamu hanya melihatku datar, tak mengucap suatu apa. Kamu diam, kamu bungkam. Kamu hanya melihatku datar, tak mengecup suatu apa. Kamu diam. Kamu bungkam. Kamu hanya melihatku datar.

Aku tak dapat mengerti kata-kata dalam lembar kertas itu. Aku tak bisa membacanya. Namun aku terus diburu perasaan itu. Aku terus dihantui perasaan itu. Kata-kata itu terus mengejar, kata-kata itu terus memburu, kata-kata itu terus menuntut aku untuk mengerti. Tapi aku tak bisa membacanya, kata-kata itu. Aku tak dapat memahaminya. Dada semakin sesak, hati semakin perih. Aku tetap menangis, menangis, dan menangis. Hanya menangis. Aku tak bisa membacanya.

Kamu pun tetap diam, diam, dan diam. Hanya diam. Kamu melihatku datar.
___

Keringat membanjir. Aku terbangun. Kamar gelap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...