Mei-Fu


Mei Penghabisan

Tahun ini tak sempurna, tanpa Mei. Tahun ini begitu lusuhnya, tanpa Mei. Tahun ini teramat kelam, tanpa Mei. Tahun ini penghabisan, juga tanpa Mei.

Benih rindu kadung keburu gugur, mati. Tak dapat hidup dalam alam hati yang kering, tandus. Tak ada air, tak ada tanah, tak ada cahaya, tak juga ada udara. Hanya kosong. Kosong. Tanpa kehidupan, tanpa kasih sayang, tanpa cinta.

Seorang lelaki merintih, seorang perempuan tersenyum. Seorang lelaki meraung, seorang perempuan tertawa. Seorang lelaki terluka, seorang perempuan mengucapkan selamat tinggal.

Selamat tinggal padamu yang tak mungkin dapat berubah. Selamat tinggal padamu yang mustahil untuk tumbuh. Selamat tinggal padamu yang tak mengerti aku. Selamat tinggal padamu lelaki kalah. Aku telah muntab.

Selama ini hanya racun yang kau beri padaku. Aku dan kau mustahil berjalan baik, apalagi berhasil. Dewa telah menuliskannya, dewa telah menggariskannya, dan tinta telah kering. Apa yang telah kita bangun hanyalah berisi racun, racun, dan racun. Membuatku sakit, membuatku mual, membuatku muntah, membuatku sakit, membuatku muak. Tak ada lagi mimpi indah, tak ada lagi nyanyian rindu, tak ada lagi hangatnya peluk.

Sudah. Aku telah memilih, kau terlalu berbeda. Kau tak mungkin mengerti semua, apalagi mengerti aku. Telah jelas, begitu jernih, teramat bening, dan kau tak melihatnya, tak memperhatikannya, tak mau mengerti. Walau begitu, meski telah menjadi demikian, akulah yang salah. Kesalahan ada padaku, dan bukan padamu. Aku yang salah, maka aku yang pergi.

Kau lelaki yang telah karam. Aku tak mau peduli, aku tak akan peduli, aku tak akan menangisi. Kau kekasih yang telah mati, tak akan aku nanti. Aku akan pergi.

Seorang lelaki merintih, seorang perempuan tersenyum. Seorang lelaki meraung, seorang perempuan tertawa. Seorang lelaki terluka, dan seorang perempuan mengucapkan selamat tinggal.

Tanah Februari

Subuh itu kau mendadak datang, menyapaku dari balik layar benderang dengan seikat senyum. Ah, memang benar, sudah sewindu lebih kita tak bertemu, bisikmu membalas. Tuhan telah mengirimku kembali, padamu. Mari kita kembali membuka lahan, menanam, menyiram, dan sepenuhnya merawat kebun kita. Kebun yang telah terlalu lama kering itu. Mari, Kekasihku...

Benarkah Tuhan mengembalikanmu, padaku? Oh salah, itu pertanyaan keliru. Mungkin begini: mampukah aku untuk memainkan peran selanjutnya? Dan peran apa yang harus aku mainkan? Peran apa yang akan diberikan Tuhan, padaku? Benar juga apa katamu. Aku tak perlu bertanya. Ya benar, aku hanya harus (dan memang hanya ini yang bisa) menjalaninya. Tuhan menyuruhku bergerak, bukan bertanya.

Percayalah pada-Ku, maka berjalanlah.

Mungkin ini adalah jalan baru untuk kita, ini jalan yang kedua, dan Tuhan telah menunjukannya. Mari kita melangkah, mari berjalan bersama, bergandengan, menuju ke sana. Ke dermaga lapuk itu. Tempat kita menunggu cinta yang perlahan telah tumbuh kembali. Tempat aku dan kau, berlabuh, bersama, untuk terakhir kali, selamanya.

Subuh telah luruh, pagi datang menanti, rindu mulai tersenyum, dan cinta sedang bermekaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...