Mimpi Basa dan Mimpi Basi


Seorang perempuan tentu ogah menjalin sebuah hubungan dengan lelaki yang tidak bertanggung jawab minimal untuk diri sendiri, ucapnya. Setelah beberapa bulan berlalu, ia mulai merasa tertekan, muak, dan bertekad untuk bersikap masa bodoh pada kekasihnya itu. Sebabnya, kekasihnya masih saja terlihat sama di matanya, yaitu seorang lelaki pemalas yang tak pernah benar-benar berusaha untuk mendapatkan kerjaan.

            Kekasihnya itu sudah lulus kuliah padahal, dan telah diwisuda pada bulan Agustus lalu, sementara ini sudah akhir dari bulan Desember, dan ia masih saja menganggur. Bukannya tak pernah perempuan itu menyuruhnya untuk cepat-cepat mencari pekerjaan, tapi kekasihnya selalu saja mengelak dengan jawaban-jawaban retoris semacam aku tak ingin kerja kantoran, atau kerjaannya terlalu mudah, kurang menantang, atau aku tak bergairah melakukan kerjaan semacam itu, atau rasanya itu bukan pekerjaan yang cocok untukku, atau aku ingin kerjaan yang nyaman, yang sesuai, yang dapat kunikmati, yang saat aku berangkat kerja itu serasa berangkat liburan, atau setidaknya aku telah menyalurkan hasrat menulisku dan mengirmnya ke koran-koran meski memang belum menghasilkan uang, apalagi menjanjikan, atau yang paling klasik sekaligus paling sering ia ucapkan adalah tentu, mungkin memang belum waktunya, Sayang.

            “Benar kata orang, lelaki Sunda memang terlalu santai. Malah cenderung pemalas!” Tajam, kritik perempuan itu suatu ketika, saat mereka sedang bertengkar.

            Tentu hal itu tak selalu benar, dan masih bisa diperdebatkan.
“Malas atau tidaknya seseorang itu tidak ditentukan oleh Suku. Sebagaimana seorang Bajingan, ia bisa ditemukan di semua agama.”

            “Kalau begitu kenapa kamu masih belum kerja?” balasnya sengit.

“Itu tak benar, aku sudah banyak melamar kerja. Tapi, mungkin memang belum waktunya, Sayang.”

            Ya, mungkin memang belum waktunya adalah jawaban yang hampir selalu menjadi penutup percakapan mereka. Saat sampai pada mungkin memang belum waktunya, biasanya mereka berdua lalu saling terdiam, menahan emosi masing-masing, meski rasa kesal sudah sangat mendidih di ubun-ubun. Kalau tidak, si perempuan akan berkaca-kaca sebelum kemudian meneteskan air mata, dan kekasihnya lalu memeluknya, menenangkannya. Selalu seperti itu.
___

Tuhan, dari mana aku harus memulainya? Aku bingung. Ah ya, mungkin sebaiknya kumulai saja dari kejadian tiga minggu yang lalu yang sekarang sudah mendekati genapnya, sebulan. Hari itu pagi-pagi, kekasihku menelpon, dan tentu aku kaget sebab tiga hari sebelumnya ia berkata padaku agar tak usah menghubunginya lagi karena katanya percuma saja, dirinya merasa tak memberi pengaruh baik padaku. Itu bagai adzan pada jam tujuh pagi, begitu mengagetkan sekaligus mahiwal.

            Di telpon, saat aku bertanya tentang apa yang menyebabkan dirinya menjadi seperti itu, ia pun menuturkannya sembari sesenggukan menangis. Ia muak, katanya. Muak melihatku yang masih saja belum kerja, atau setidaknya tak pernah terlihat ada usaha dariku untuk mencari kerja dengan sungguh. Selama enam bulan ia tertekan, keluhnya. Memikirkan aku yang dari hari ke hari selalu saja sama atau bahkan malah lebih buruk. Ia juga takut dan ragu, untuk mempertahankan hubungan dengan seorang lelaki yang tak bertanggung jawab minimal untuk dirinya sendiri, apalagi aku lelaki, tandasnya sembari tetap terisak menahan tangis.

           Sebagai lelaki, ulu hati dan kepalaku terasa dihantam palu gada hingga remuk. Namun sebagai seorang kekasih, aku mengerti maksudnya. Ia benar, dan berhak, dan memang sudah seharusnya untuk menuntut seorang kekasih supaya bekerja keras demi masa depannya. Bukan semata-mata sekadar demi mengumpulkan uang untuk bertahan hidup, atau menabungnya untuk kemudian di akhir cerita yang bahagia digunakan untuk biaya menikah. Lebih dalam aku memahaminya bahwa ini bukan soal uang semata, tapi menyoal kesungguhan seseorang, lelaki.

         Bahwa apakah benar aku sungguh-sungguh mencintainya, bahwa apakah benar aku sungguh-sungguh berkomitmen padanya, bahwa apakah benar aku sungguh-sungguh ingin menikahinya, bahwa apakah benar aku sungguh-sungguh sudah mencari kerja untuk memulai semuanya, bahwa apakah benar aku sungguh-sungguh peduli pada hubungan ini di masa depan, bahwa apakah benar aku sungguh-sungguh ingin membahagiakannya, bahwa apakah benar aku sungguh-sungguh ingin menjadi kekasih terbaiknya, bahwa apakah benar aku sungguh-sungguh menghormatinya, dan bahwa beribu-ribu serta berjuta-juta sungguh-sungguh lainnya. Sungguh benar, ini soal kesungguhan.
___

Harusnya aku bekerja keras untuk menunjukannya padamu. Harusnya aku mencoba lebih keras lagi untuk menunjukannya padamu. Harusnya aku mencari ke sana-sini. Harusnya aku mati-matian untuk menunjukannya padamu. Harusnya aku mengerti apa yang kau maksud. Harusnya aku mencoba lebih keras untuk mengerti apa yang kau maksud. Harusnya aku tak banyak diam. Harusnya aku banyak bergerak. Harusnya aku tidak menghalangimu. Harusnya aku mendukungmu sepenuhnya. Harusnya aku mengantarkanmu ke Jakarta. Harusnya aku tidak tinggal diam di Yogyakarta. Harusnya aku menyediakan semuanya untukmu. Harusnya aku bantu kau mengangkut barang-barangmu. Harusnya aku percaya padamu. Harusnya aku percaya sepenuhnya padamu. Harusnya aku tidak ragu padamu. Harusnya aku membelikanmu tiket. Harusnya aku mengajakmu nonton ke bioskop. Harusnya aku mengajakmu jalan-jalan. Harusnya aku mengajakmu menghabiskan waktu untuk bersantai. Harusnya aku mengajakmu liburan. Harusnya aku lebih ekspresif untuk menunjukan betapa cintanya aku padamu. Harusnya aku menemanimu di saat-saat sulit. Harusnya aku ada saat kau sulit. Harusnya aku menjemputmu setiap kau pulang kerja. Harusnya aku mendengarkan apa katamu. Harusnya aku tidak keras kepala. Harusnya aku mencoba untuk mempertimbangkan kata-katamu. Harusnya aku lebih perhatian padamu. Harusnya aku merubah sikap tak acuhku. Harusnya aku mengajakmu berkeliling sebelum kau pergi. Harusnya aku memelukmu lebih erat di stasiun. Harusnya aku terus memelukmu. Harusnya aku menciummu di stasiun. Harusnya aku menangis untukmu di stasiun. Harusnya aku memberimu kejutan-kejutan kecil. Harusnya aku setiap hari menghubungimu. Harusnya aku menelponmu. Harusnya aku mengirim pesan singkat setiap hari untukmu. Harusnya aku membeli telpon genggam baru. Harusnya aku membuatkan puisi untukmu. Harusnya aku mengirimimu puisi setiap hari. Harusnya aku memahami apa keinginanmu. Harusnya aku tahu apa kebutuhanmu. Harusnya aku membuatkanmu lagu rindu. Harusnya aku menyanyikanmu lagu-lagu cinta. Harusnya aku memberimu hadiah. Harusnya aku belajar menabung. Harusnya aku belajar peduli. Harusnya aku mengajakmu makan makanan kesukaanmu. Harusnya aku membelikanmu es krim. Harusnya aku membawakanmu banyak lemon. Harusnya aku peduli. Harusnya aku mengerti. Harusnya aku berbuat lebih untukmu. Harusnya aku berbuat banyak untukmu. Harusnya aku tak jadi lelaki. Harusnya aku jadi kekasihmu. Harusnya aku... Harusnya aku... Harusnya aku... Harusnya..., dan harusnya. Hidup hanya selalu tentang sekelumit harusnya bagi seorang Pecundang sepertiku.
___

Pantas saja lelaki lebih sering menangis, sebab mewek dan memek hanya beda sedikit. Untuk itu, lelaki sepertinya bisa dikatakan lebih perasa daripada perempuan. Sudah banyak bukti mengenai hal ini. Kenyataannya lebih banyak perempuan yang meninggalkan kekasihnya untuk menikah dengan lelaki lain.

Alasan tentu beragam. Mulai dari aku tak melihat harapan dalam hubungan kita karena kamu masih begitu-begitu saja tak berubah, atau aku tak bisa melanjutkan hubungan dengan orang yang bahkan tak bisa bertanggung jawab minimal untuk dirinya sendiri, atau aku sudah cukup umur tapi kamu malah terkesan menunda-nunda untuk menikahiku, atau orang tuaku sudah menyuruhku untuk cepat-cepat menikah tapi kau masih saja selalu bilang belum siap, atau aku mencintaimu tapi kau masih saja belum menyelesaikan kuliahmu, atau maafkan aku, ternyata ibu sudah memilihkan calon lelaki untuk menggantikanmu dan ia siap langsung menikahiku, atau aku sudah tak tahan dengan hubungan kita, aku merasa kamu tak pernah ada niat untuk serius, atau terlalu banyak perbedaan di antara, sadarkah kau bahwa setiap hari kita selalu saja bertengkar dan saling menyalahkan, maka dari itu lebih baik kita berteman saja, atau tiba-tiba saja si perempuan memutus komunikasi selama katakanlah sebulan, dan tiba-tiba si lelaki mendapat kabar kalau kekasihnya ternyata sudah menikah dengan lelaki lain, dan percayalah, ini yang paling sering terjadi.

Pada titik ini, seorang lelaki tak dapat berkutik. Mau seluas samudera pun alasan yang dikemukakan sebagai pembelaan untuk mencegah hal itu, tapi ia akan selalu kalah. Oleh karena, ternyata perempuan adalah makhluk yang pandai sekali berenang, terutama di atas air mata lelaki.

Seorang lelaki kemudian akan remuk, seperti tubuh yang dilempar dari atas gunung. Ia hanya bisa merenung, menyesali mengapa selama ini ia tidak melakukan hal yang lebih untuk kekasihnya. Padahal semua lelaki tahu, perempuan hanya butuh lelaki yang lebih. Lelaki yang lebih perhatian, lelaki yang lebih serius, lelaki yang lebih menyayanginya, lelaki yang lebih mencintainya, lelaki yang lebih giat bekerja, lelaki yang lebih menepati omongannya sendiri, lelaki yang lebih mapan, lelaki yang lebih rupawan, lelaki yang lebih berbudi, lelaki yang lebih sopan, lelaki yang lebih beriman, lelaki yang lebih alim, lelaki yang lebih soleh, lelaki yang lebih pintar, lelaki yang lebih sabar, lelaki yang lebih mengerti, lelaki yang lebih dewasa, lelaki yang lebih kuat, lelaki yang lebih rajin, lelaki yang lebih matang, lelaki yang lebih ekspresif, lelaki yang lebih humoris, lelaki yang lebih rapi, pokoknya lelaki yang lebih, yang lebih dari lelaki lainnya.

Setelah masa penyesalan dan perenungan, barulah ia akan meneteskan air mata, tidak di depan kawan-kawannya tentunya, melainkan menyendiri di kamar kos atau kontrakan sebelum kemudian akan menangis dengan tangisan getir yang terkesan ditahan. Seorang lelaki patah hati tak akan pernah menangis meraung-raung saat ditinggalkan perempuan, yang ia bisa dan mampu hanya semacam tangisan tertahan itu tadi. Namun meski demikian, seorang penulis pernah berkata bahwa “Lelaki memang tidak menangis, tapi hatinya berdarah dik!”
___

Kadang tak mudah membedakan seseorang yang keras kepala dengan orang yang berprinsip. Mereka akan sama-sama yakin kalau pendapat merekalah yang hebat, perkasa, tanpa cela dan tentu tak dapat dikalahkan. Orang yang keras kepala tak akan mudah menyerah untuk melakukan serangan balik atas apa yang mungkin dikatakan orang padanya. Satu hal yang kukagumi dari orang-orang macam itu, yaitu kegigihannya. Gigih dalam mempertahankan kekeraskepalaannya. Tak peduli kalau sebenarnya mereka memang salah, tapi yaitu tadi, mereka akan selalu melakukan serangan balik untuk menyerang lawannya, dan kalau bisa mematikannya.

          Sementara di sisi lain, orang berprinsip juga demikian. Bedanya mungkin ia hanya lebih tenang saja, dan dapat mengontrol diri dengan sempurna. Tak peduli seberapa susah keadaan yang sedang menimpanya, ia akan tetap memegang teguh prinsipnya. Itu sudah harga mati. Dan sepertinya, kalau pun si orang yang berprinsip ini diserang oleh orang-orang yang tak sependapat mengenai prinsip yang ia yakini, ia akan memilih untuk tersenyum sebelum lalu mengabaikannya, dan berkata bahwa aku menghargai pendapatmu, tapi aku sudah punya prinsip.

        Kira-kira seperti itu. Kemudian tiba-tiba muncullah seorang perempuan dengan mulut penuh ranjau, yang akan digunakan untuk menghancurkan kekasihnya sendiri. Ia berkata pelan, sayup terdengar mengucapkan bahwa rasanya sudah cukup sampai di sini, aku tak bisa meneruskan hubungan kita, dan lebih baik kita berteman saja. Intinya aku capek, terlalu banyak perbedaan di antara kita. Kalau pun kamu minta penjelasan dariku mengapa bisa semendadak ini, percayalah kamu tak akan pernah paham. Buktinya selama ini kau tak paham. Dan rasanya dengan jalan seperti ini, kelak mungkin kau akan paham sendiri. Sudah cukup, kita berteman saja mulai dari sekarang.

        Sudah kubilang kau tak pernah paham. Selama ini, selama sebelas bulan aku mencoba untuk membuatmu mengerti, tapi kau tetap saja tak pernah mengerti. Kau tetap tak berubah. Kau tetap pemalas, dan hidupmu begitu-begitu saja. Sekarang, aku tak bisa melihat adanya harapan dari hubungan kita. Lebih baik kamu fokus sama diri sendiri, urus diri sendiri, dan jangan lupa dengan tujuanmu untuk mandiri secara finansial dan lalu membahagiakan keluargamu. Aku juga sama, aku akan begitu, fokus pada tujuanku sendiri seperti yang pernah kuceritakan padamu. Kau boleh sedih, dan tentu itu wajar, tapi jangan terlalu lama. Aku juga sama sedih. Bahkan kamu tak akan bisa membayangkan bagaimana perasaan aku sekarang. Jadi sudahlah, kita berteman saja.

          Bukan begitu, sudah kubilang aku malas untuk berbasa-basi. Intinya yaitu tadi, kita sudah tidak sejalan, kita terlalu berbeda. Aku malas menjelaskannya, terlalu banyak hal yang harus aku jelaskan padamu. Sudah kubilang, intinya aku capek punya kekasih sepertimu. Ini tak ada hubungannya dengan orang lain, ini murni masalah internal hubungan kita. Saat ini aku belum bisa memastikan hal itu, belum terpikir untuk menerima lelaki baru apalagi yang belum sebenarnya tahu aku bagaimana. Aku hanya ingin fokus, dan aku ingin kamu fokus. Fokus urusi diri kita masing-masing. Sudahlah, kalau jodoh tak akan ke mana.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...