Bilangan Marja


Mengenai perempuan, kiranya tak akan pernah tuntas ia dapat dikupas. Tidak mungkin tuntas, tepatnya. Ia bukan teka-teki, melainkan misteri yang selalu. Sebelum perempuan bisa menikmati hak-hak hidup yang sama seperti sekarang, ia pernah mengalami sejarah panjang paceklik; kehormatan, pendidikan, dan kesempatan yang sama dengan lelaki.

Kita tentu tahu, perempuan hanya dijadikan keset tak bernilai pada masyarakat Arab Jahiliyah sebelum Islam melalui Nabi Muhammad mengangkat kehormatannya, derajatnya. Pada zaman kekelaman tersebut, perempuan hanya dijadikan budak seks, diperjualbelikan untuk dinikmati, dan dibuang kalau sudah usang. Dan setelah melalui pengalaman dan perjuangan selama berabad-abad, perlahan tapi pasti, perempuan mulai bangkit. Menyuarakan isi hatinya, menuntut keadilan, persamaan hak dan kesempatan.

Hasilnya tercermin pada diri Marja. Dalam novelnya Bilangan Fu, Ayu Utami mendeskripsikan seperti apa seharusnya menjadi seorang perempuan. Marja menjadi cermin bagi perempuan-perempuan modern untuk mengaca. Terlebih, untuk berpikir.

Marja merupakan seorang mahasiswa jurusan desain. Sandi Yuda menuturkan bahwa Marja tidak tergolong pada perempuan cantik, padahal ia pacarnya. Marja bukan tipikal perempuan pesolek. Marja tak menghabiskan uang beratus-ratus atau berjuta-juta demi tampil ‘cantik’. Lebih tepatnya untuk diakui cantik. Marja tak butuh pengakuan. Marja tak terlalu memedulikan cangkang.

Marja juga tidak dapat digolongkan pada kaum medioker, yang hanya-sangat tertarik pada dirinya sendiri. Marja tidak terjebak di lingkaran itu. Marja hadir dalam kesederhanaan yang lazim. Marja adalah perempuan periang, dan yang penting adalah bahwa ia bukan dari jenis ‘perempuan korban.’ Marja tak pernah mengumbar kesedihan pada khalayak supaya diperhatikan yang demi merengkuh seluruh itu menghalalkan segala macam tipu daya.

Marja mandiri. Dengan begitu ia menjadi seorang perempuan merdeka, yang tidak gagap pada sekadar tren pakaian atau sepatu atau tas atau pada gaya hidup kerlap-kerlip kota atau pada kutipan-kutipan cinta menye-menye.

Dalam Bilangan Fu, Marja nyaris digambarkan sempurna. Kukatakan ‘nyaris.’ Sebab pada akhirnya, Ayu Utami tetap melemparkan kritik pada kebiasaan perempuan (yang gawatnya selalu dianggap bawaan naluriah oleh kebanyakan perempuan) dalam cara menyelesaikan masalah.

“Begitulah perempuan. Daripada menyelesaikan segala sesuatu secara terbuka, mereka lebih suka mengambil keputusan sendiri, diam-diam. Bukan, bukan maksudku meremehkan perempuan. Baik. Baiklah. Daripada aku kena marah dua kali, oleh perempuan yang kukenal ini dan perempuan-perempuan yang tidak kukenal. Begini. Lelaki suka menyelesaikan sesuatu secara terbuka, dan itu artinya melalui perkelahian. Ini cara buruk yang maskulin. Cara buruk yang feminin adalah memendamnya: mengambil kesimpulan sendiri dan menghukum sendiri. Seperti yang dilakukan Marja kepadaku. Hari itu ia tak mau bicara lagi kepadaku.” Sandi Yuda, hal: 436.

            Bagaimana pun, menjadi ideal adalah persoalan dari mana kau memandang. Itu persoalan perspektif. Lebih kepada kaca mata apa yang kita gunakan untuk melihat sesuatu. Begitu pun perempuan. Tak lebih, ia hanyalah perspektif belaka.

Beranikah seorang perempuan untuk merubah perspektifnya? Taruhan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...