Sigur Rós; Seikat Album Pengantar Tidur


Seketika, terlempar dari langit sekumpulan kalimat tanpa huruf dan menjelma serupa benih yang begitu dibutuhkan bagi lestarinya proses metabolisme serta detoksifikasi tubuh malam hari. Sebongkah kamus tebal berjilid-jilid tak mampu untuk menangkap apalagi memberi makna pada alunan teriakan yang mengalun merdu pada kawasan hutan lindung di bagian utara kepala. Aku hanya bisa merasakan semacam perasaan pemberontakan terhadap kesunyian yang terjalin berkelindan mesra dengan deru mesin pompa air keparat itu. Satu hal yang pasti niscaya, adalah bahwa aku akan pergi ke Islandia, bukan untuk beribadah umroh tapi, untuk ikut berpartisipasi dalam ritual karnaval kegembiraan bangsa Nordik.

Intensitas insomnia dalam diri secara perlahan tapi pasti meluruh akibat bom waktu yang ditanam Jón Pór ‘Jónsi’ Birgisson, pemimpin ritual itu. Enam jam lebih ia berkhotbah di depan kami semua, dan anehnya kami tak merasa bosan. Buktinya dari lima juta peserta yang datang, peserta hanya berkurang sebanyak lima orang di akhir acara, dan itu pun bukan karena mereka bosan. Namun sebab, yang tiga orang meninggal karena tak kuat menahan suhu dingin di sana lalu terkena hipoternia, sementara sisanya meninggal karena penyakit asmanya kambuh. Mereka berlima dikebumikan secara layak menurut tata cara adat setempat di lokasi upacara, karena di dalam surat wasiatnya yang ditemukan di dalam tasnya masing-masing, mereka berpesan untuk dikuburkan di lokasi upacara dan enggan untuk dikirim pulang jika meninggal. Upacara pemakaman dipimpin langsung oleh Jón Pór ‘Jónsi’ Birgisson, dibantu Georg Hólm sebagai asisten pribadi mantan SAS dan, Ágúst Ævar Gunnarsson mantan KGB sebagai ajudan. Ia juga mengajak para peserta untuk memberikan penghormatan terakhir dengan menyanyikan lagu Stairway to Heaven dari Led Zeppelin, dan Hio dari Iwan Fals, serta dilanjutkan dengan tahlilan bersama selepas sholat isya nanti.

Jika aku tidak salah–harap maklum karena selain berbicara dengan menggunakan bahasa Sunda Buhun, Jón Pór ‘Jónsi’ Birgisson juga berbicara menggunakan bahasa Hopelandic karangannya sendiri,–isi khutbahnya menerangkan mengenai empat prinsip dasar untuk menjalani hidup bahagia tanpa bahan kimia, dan selaras dengan alam. Prinsip pertama berbunyi Ágӕtis Byrjun yang kurang lebih berarti menahan, Takk yang berarti menghindari, Með Suð i Eyrum Við Spilum Endalaust yang berarti saling mengasihi atas dasar cinta, dan Kveikur yang berarti merenung. Lebih jauh Jón menjelaskan bahwa dalam hidup, kita harus bisa menahan kemudian mengendalikan hawa nafsu kita. Sebab, kebanyakan dari manusia yang tidak bisa merasakan kebahagiaan adalah mereka yang tidak mampu menahan dan mengendalikan. Dan gejala yang banyak ditemukan di lapangan adalah, nafsu untuk mengejar uang yang berlebihan serta nafsu untuk lolos mengikuti tes CPNS.

Yang kedua adalah Takk. Cepat saja ia menjelaskan, bahwa apa pun yang dapat menjerumuskan kita kepada keburukan, haruslah kita menghindari. Seperti, kita harus menghindari masuk ke dalam ormas yang salah. Kalau pun butuh ormas, maka masuklah ke dalam ormas yang sudah terbukti khasiatnya, seperti NU dan Muhammadiyah, atau PKI. Berikutnya ketiga, yang rada panjang, yaitu Með Suð i Eyrum Við Spilum Endalaust. Ini harus kita terapakan pada seluruh alam, dan seluruh makhluk hidup yang ada di dalamnya, walau itu rumput sekalipun. Dan terakhir yaitu Kveikur, bahwa kita harus bisa lebih mendawamkan merenung daripada menyinyir, pungkasnya pendek. Khotbahnya kemudian ditutup dengan satu kalimat yang ia lantunkan dalam nada dasar sarkas, “bahwa satu-satunya jalan supaya dapat selamat dalam mengarungi kehidupan adalah dengan memperkuat akidah,” yang lalu disusul oleh tertawaan seluruh jamaah.

Setelah selesai, panitia menghimbau para jamaah untuk berdiri dan tetap berada di tempatnya masing-masing karena selanjutnya Jón Pór ‘Jónsi’ Birgisson, Georg Hólm dan Ágúst Ævar Gunnarsson akan menyalami seluruh jamaah satu per satu tanpa membiarkan satu pun terlewat. Maka setelah mendapat himbauan tersebut, seluruh jamaah kemudian berdiri dengan perasaan senang karena mengetahui dirinya akan mendapat kesempatan menyalami atau bahkan mencium tangan junjungannya. Aku juga demikian, tentunya, dan kebetulan aku berada di barisan paling depan. Setelah menyalami sepuluh orang, datanglah kini mereka bertiga menghampiriku. Sebelum mencium tangan mereka bertiga, aku kemudian menanyakan satu hal pada Jón Pór ‘Jónsi’ Birgisson, tentang bagaimana bisa ia fasih berbicara bahasa Sunda Buhun. Jón lalu tertawa mendengar pertanyaanku, dan balik bertanya apakah aku orang Sunda atau bukan, dan ‘’benar,’’ jawabku singkat. Mendengar jawabanku, ia lalu mulai bertutur menceritakan pengalamannya.

Sebenarnya semuanya berawal dari sebuah kebetulan, katanya. Dulu Jón adalah seorang wartawan di Reuters, dan pada 2001, dirinya ditugaskan untuk menghadiri dan mengabarkan bagaimana jalannya Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) yang diselenggarkan oleh Yayasan Kebudayaan Rancagé, pada tanggal 22-25 Agustus di Gedung Merdeka, Bandung. Banyak Pakar dan Budayawan Sunda yang hadir pada saat itu, diantara yang masih bisa Jón ingat adalah Ajip Rosidi, Akhdiat K. Mihardja, Abdullah Mustappa, Ayatrohaedi, Jakob Sumardjo, Hawé Setiawan, Nano S., Kang Ibing, dan Abah Asép Sunandar Sunarya. Jón mendapat kehormatan untuk mewawancarai mereka semua dengan masing-masing wawancara berdurasi hampir sejam, seperti acara ngobamnya Gofar Hilman, dirinya mencontohkan. Banyak hal yang membuatnya pelan-pelan mengagumi Budaya Sunda, dan orang yang membuatnya langsung jatuh cinta pada Budaya Sunda untuk pertama kalinya adalah terutama Abah Asép Sunandar, yang banyak menceritakan mengenai wayang golek dan perkembangannya di dunia. Itu yang membuat Jón akhirnya memutuskan untuk mempelajari Budaya dan Bahasa Sunda. Oh ya, Jón menerangkan bahwa dirinya sangat menyukai tembang Cianjuran, dan sangat suka dengan lagu Mupu Kembang dan Kabandang Ku Tatar Sunda. Bahkan sampai saat ini, Jón masih memutar secara rutin dua lagu tersebut di spotify, dan menjadikannya sebagai lagu wajib pengantar tidurnya.

Ketenanganlah yang kemudian merasuk, bergilir silih berganti dengan proses katarsis yang terproses tahap demi tahap setelah menjalani seluruh rangkaian upacara karnaval tersebut. Apa yang sesungguhnya aku cari tak pernah benar-benar aku temukan, dan ternyata hal itulah yang malah membuatku tenang. Aku juga tak pernah benar-benar dapat mengerti aliran kepercayaan semacam apa yang diyakini Sigur Rós, apakah post-rock yang mendayu, atau ambient yang mengawang, atau musik folk ceria khas karnaval bangsa Nordik, itu pun masih misteri bagiku. Barangkali yang aku percayai adalah Sigur Rós itu sendiri, bukan kepercayaannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...