Re-inkar-nasi
Kau adalah paduan keindahan surga yang kuimpikan, dan kepahitan dunia
yang kurasakan. Awal pasti kecewa pada Utuy Tatang Sontani, sebab Utuy tak
membuatkannya semacam doa untuk membawa Mira kembali dan malah membikinkannya
ungkapan puitis tapi tak berguna itu, yang ujung-ujungnya malah menjadi mantra
sakti bagi para lelaki pesakitan yang cintanya bertepuk sebelah tangan. Asu,
kau Utuy! Lebih bajingannya lagi, Utuy dengan sengaja malah membuat
Mira–perempuan yang sangat dicintainya itu–berkaki buntung, dan karena itulah
cintanya menjadi bertepuk sebelah tangan.
Awal menceritakan padaku bahwa awalnya dirinya senang diberi kalimat
dialog seperti itu, betapa romantis, pikirnya. Namun setelah mendengar cerita
dari seorang teman bahwa temannya bisa kembali bertemu dengan kekasih lamanya
yang sudah mati lebih dari sembilan tahun lalu, bahkan setelah itu temannya
lalu menikah, dan berbahagia selamanya. Ia menceritakan pada Awal, bahwa
semenjak temannya melewati segala macam penderitaan akibat kehilangan perempuan
yang dicintainya itu, dan dalam penderitaannya ia lalu menemukan sebaris
kalimat utuh, lengkap dengan tanda baca serta intonasi dan waktu untuk pengucapannya.
Aku menemukan kalimat itu di dalam tumpukkan lagu-lagu Peterpan, kemudian aku
mengucapkannya setiap tengah malam bahwa ‘mungkin nanti.’ Kalimat itulah yang
membuat kekasihku bisa kembali dari kematian, terang temannya.
Bagaimana bisa, adalah pertanyaan Awal pertama kali saat mendengar
temannya memberikan keterangan semacam itu. Bagaimana bisa dua kata tersebut
menghidupkan seseorang yang sudah mati selama sembilan tahun. Bagaimana bisa,
bagaimana caranya? Kau jangan membohongiku seperti itu, kawan. Tidak, itu tidak
benar. Itu, tidak mungkin. Bajingan kau!
Tentu saja itu benar, dan mungkin. Bukankah aku mengalaminya? Kau
sendiri pernah melihatnya, dan berkenalan dengannya, dan ya, ia kekasihku yang
hidup kembali itu. Dengar kawan, ini bukanlah sebuah omong kosong seperti yang
biasa diucapkan oleh para politisi keparat di dalam acara televisi. Bukan! Ini sungguhan, ini nyata.
Sudah kubilang padamu, aku mengalaminya sendiri. Tidakkah kau percaya pada kawan
baikmu ini? Aku tak mungkin mengibulimu, apalagi menipumu. Coba kau
ingat-ingat, apakah selama ini aku adalah teman semacam itu? Pernahkah aku
menipumu?
Itu benar, kau memang tak pernah menipuku. Meski aku telah melihatnya,
melihat dengan mataku sendiri perempuan yang kau sebut kembali dari kematian
itu, aku tetap tak percaya padamu. Bisa saja kau asal mencomot perempuan itu
dari pasar atau kolong jembatan, atau di jalanan seperti yang biasa ditampilkan
dalam sinetron murahan. Tentu itu sangat bisa kau lakukan. Lagipula, aku belum
pernah mendengar cerita mengenai seseorang yang sudah mati selama sembilan
tahun bisa ujug-ujug kembali. Kecuali itu cerita komedi.
Itu juga benar, kawan. Bukankah kita semua hanya aktor amatiran yang berperan
memainkan naskah komedi ilahi? Memang, memang komedi. Aku juga dulu tak percaya
kalau kekasihku bisa kembali dari tidur panjangnya. Bahkan hari ini, detik ini,
aku masih tak percaya. Namun setiap pagi, saat aku bangun, aku menemukan kenyataan
bahwa diriku sedang terbaring bersama perempuan yang sangat kucintai, dan kami
berdua telanjang. Itu nyata, kawan. Aku bisa menyentuhnya, aku bisa merasakan
sentuhannya. Aku juga bisa menciuminya, dan merasakan bibirnya yang merah itu. Bahkan
kawan, secara rutin setiap malam kami selalu melakukan ritual kencing bersama,
dan rasanya, oh…, dan itulah kenyataan. Percayalah kawan, aku menceritakan
sebuah kenyataan, bukan karangan.
Tunggu sebentar, tahan dulu teman. Rasa-rasanya aku juga sedang
mengalaminya. Ya, aku mengalami apa yang kau alami. Meski belum terjadi, tapi
kupikir aku merasakan kekasihku akan kembali. Aku juga sama sepertimu, pernah
kehilangannya selama delapan tahun dan bukan sembilan. Persis seperti yang kau katakan,
aku dulu pernah mengamalkan dua kata itu, mungkin nanti. Namun bagaimanapun,
aku tidak mengucapkannya setiap malam seperti yang kaulakukan. Aku dulu hanya
mengatakannya sekali, itu pun tidak lisan, tapi tulisan. Aku menulisnya di facebook. Dan anehnya, setelah kekasihku
pergi, ia sempat menyukai unggahanku dan menjadi orang pertama yang
melakukannya. Aku tak pernah sekali pun memikirkan kemungkinan gila semacam
itu, tapi itu sebelum aku mendengar ceritamu. Aku percaya padamu, teman. Aku percaya
padamu, meski sebenarnya aku belum mengalaminya, belum mengalami kembali
bersama-sama dengan perempuan yang sangat kucintai itu apalagi sampai menikah
sepertimu. Dan jika dipikir-pikir, kau tak mungkin mengarang cerita semacam itu, kecuali… kecuali kau sinting.
Tapi sudah kubilang Mira tak pernah kembali. Hentikan semua omong kosong
ini! Aku tak pernah bisa meraihnya kembali padahal ia belum mati, dan masih di dunia. Tapi tetap ia tak kembali, tak akan, tak mungkin, tak pernah. Ia tak
menginginkan kembali padaku sebab kakinya buntung, sebab Utuy membuatnya
buntung. Asu, kau Utuy! Dan aku, dan aku, dan sekarang aku, hanya bisa memandanginya dari
jauh, dari balik kenyataan ini, tak bisa menyentuhnya apalagi kencing
bersamanya. Kau membuatku terjebak dalam cerita ini. Oh bukan, kau memang
sengaja menjebakku. Sialan, kau Utuy! Aku tak akan keluar, aku tak mungkin
keluar, aku tak pernah bisa keluar dari Awal dan Mira. Dasar kau, asu buntung!
Komentar
Posting Komentar