Karena Korona Kirana
Aku bingung. Bingung sekali. Sangat bingung. Sungguh bingung. Harus ke
mana mencari masker. Minggu lalu kujelajahi sungai Eufrat, tak kutemukan
masker. Masker. Masker. Masker. Enam hari yang lalu kususuri sungai Amazon, tak
kutemukan masker. Masker. Masker. Masker. Lima hari yang lalu kulayari sungai
Citarum, toko masker tutup. Masker. Masker. Masker. Empat hari yang lalu
kuselami sungai Musi, masker habis. Masker. Masker. Masker. Tiga hari yang lalu
kusisir sungai Halimunda, pabrik masker kebakaran. Masker. Masker. Masker. Dua hari
yang lalu kukunjungi sungai di pedalaman Kalimantan, pabrik masker sudah
pindah. Masker. Masker. Masker. Sehari yang lalu kudatangi Terusan Suez,
barangkali masih ada kapal-kapal yang mengangkut masker, ternyata masker hanyut.
Masker. Masker. Masker. Terakhir hari ini kukunjungi Leuwi Sipatahunan; juga tak
ada masker, yang ada hanya suara kecapi-suling sedang memainkan tembang sunda
buhun.
Itu baru tujuh hari yang lalu. Empat belas hari yang lalu selama tujuh
hari tujuh malam aku mengelilingi negeri-negeri di mana sekiranya masker masih
dijual. Aku sempat berkunjung ke Kerajaan Pasir Batang Anu Girang, bertanya
pada Baginda Prabu Purba Negara perihal masihkah masker dijual di negeri ini,
dan beliau menjawab “sudah tidak.” Baginda Prabu Purba Negara kemudian memberikan
sedikit saran bahwa cobalah untuk pergi ke Kahiangan dan tanyakan pada Guru
Minda anak dari Sunan Ambu di Buana Nyungcung, siapa tahu ia masih punya
persediaan masker. Aku pun mengiyakan, dan lalu pamit.
Aku keluar dari gerbang kerajaan yang besar itu, menapaki jalan setapak
menuju bukit di sebelah barat sebelum kemudian memasuki hutan belantara. Di
tengah hutan, dibantu Aki Panyumpit yang membacakan rajah, aku perlahan mendaki
menaiki tangga ke Buana Nyungcung. Seketika kemudian, aku sampai di depan
gerbang Kahiangan dan langsung disambut Bujangga Tua, Bujangga Sida, Bujangga
Sakti dan Bujangga Dewata. Aku bertanya pada mereka apakah aku bisa menemui
Guru Minda, dan mereka menjawab tidak, sebab Guru Minda sudah tidak tinggal
bersama dengan Sunan Ambu dan sekarang ia tinggal di Karang Kaputran. Tapi kalau
kau ingin menemuinya mari kami antar, letaknya tak jauh dari sini.
Di dalam Guru Minda sedang memantau perkembangan virus korona melalui televisi.
Ketika aku datang, ia langsung mematikan tv-nya seraya berbalik badan
menyambutku. Tak banyak bermuqodimah, aku langsung mengutarakan maksud
kedatanganku. Guru Minda lalu menjelaskan bahwa di Karang Kaputren masker juga
sudah habis karena ia bagikan pada sato-sato, pohon-pohon, dan penduduk di
Buana Pancatengah. Masker sudah tak ada. Masker habis. Sebelum aku pergi, Guru
Minda sempat menyaraniku untuk mencari masker ke Kerajaan Galuh.
Sampai di Galuh, tanpa protokoler yang ribet aku langsung dapat bertemu
dengan Raja Kandihawan yang bergelar Batara Wisnu ring Medanggana di pendopo
Kerajaan. Karena waktu yang sedikit, sama seperti sebelumnya aku langsung
bertanya pada Raja Kandihawan apakah di Galuh masih ada masker tersisa. Sayangnya
masker sudah habis, jawab Sang Raja seraya menghela nafas panjang. Sudah tak
ada lagi masker. Masker sudah tak ada. Kemarin, persediaan masker sudah dibagi
dengan Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Sunda pimpinan Sri Maharaja
Tarusbawa. Aku kemudian disuruh mencoba bertanya ke sana. Aku pun pamit.
Di Kerajaan Tarumanagara, Sri Maharaja Linggawarman juga menjelaskan
bahwa masker sudah tak ada. Sudah tak ada masker. Saat bertolak ke Kerajaan
Sunda keadaan juga tak berbeda. Sri Maharaja Tarusbawa menyampaikan hal serupa,
masker habis masker tak ada, sudah tak ada masker.
Di tengah perjalanan di atas bus Budiman, sebuah pesan singkat masuk
berisi informasi bahwa mungkin di Kabuyutan Ciburuy di Garut Selatan masih
terdapat persediaan masker. Itu pesan dari Aki Panyumpit. Aku lalu turun,
berpindah naik bus Sakura dari Cipatujah menuju Ciburuy. Di sana lagi-lagi,
persediaan masker habis masker tak ada, tak ada lagi masker. Untuk sekadar
menghibur diri sejenak, aku memutuskan untuk mampir ke perpustakaan di
Kabuyutan dan membaca Amanat dari Galunggung yang berisi nasehat dari Rakéyan
Darmasiska, Raja Sunda yang memerintah tahun 1175-1197. Siapa tahu dapat
pencerahan.
Selesai membaca, seorang tua penjaga perpustakaan menghampiriku. Tanpa
bertanya ia kemudian langsung menyebutkan kalau ingin membeli masker, cobalah
ke Bandung ke apotek de Voor Zorgh yang terletak di pojok barat daya simpang
grote postweg dan karapitanweg. Siapa tahu masih ada persediaan di sana,
tukasnya. Aku lalu memesan gojek ke stasiun, dan di sana langsung membeli tiket
dan langsung naik kereta menuju stasiun Kiaracondong. Di kepalaku hanya ada
masker. Masker. Masker. Masker.
Sampai di Bandung, lekas tak membuang waktu aku langsung menuju ke
apotek de Voor Zorgh. Seorang perempuan Indo melayaniku. Kujelaskan padanya
bahwa aku ingin membeli masker, kalau bisa mau kuborong. Si perempuan Indo
menyeringai, jangankan memborong satu saja sudah tak ada. Masker sudah tak ada,
tak ada masker. Masker habis. Mendengar itu aku lemas. Menyadari itu aku putus
asa. Masker keparat!
Bajingan. Astaga. Aku lupa sesuatu. Sekarang sudah tahun 2020, harusnya
aku pergi ke McD Cibiru untuk menemui kekasihku, Kirana. Semoga ia masih di
sana menungguku. Ah tapi, aku sudah terlambat sekitar lima puluh tahun. Bukan,
bukan aku yang telat. Negara kita yang lambat, dan aku terjebak di dalamnya. Oh
pemerintah, jangan karena urusan masker sialan ini aku tidak dapat menemui
kekasihku Kirana. Sudah kuusahakan untuk mencari masker ke mana-mana, tapi
memang masker sudah susah sudah tak ada sudah habis. Masker. Masker. Masker. Mengapa
aku menghabiskan waktu untuk mencari masker sementara kekasihku sedang resah
menungguku. Masker sialan! Astaga. Sabar Kirana. Aku akan datang meski tanpa
masker. Aku akan datang tanpa masker. Aku tak butuh masker. Sabarlah. Aku akan
datang. Aku sebentar lagi sampai. Tak apa ya aku tak memakai masker? Ini semua
karena korona, Kirana. Ini semua karena korona Kirana.
Kalau saja Pak Jokowi...
Komentar
Posting Komentar