Kalimat Subuh


Melupakanmu tidak semudah itu, apalagi mengingatmu, tidak sesudah itu. Setidaknya untuk melupakanmu yang kubutuhkan adalah nanti, sementara untuk mengingatmu hanyalah sekarang. Tak ada yang mudah. Tak ada yang sudah. Sehabis mudah rasalah gundah. Sehabis sudah tenggelamlah sedih. Dan sehabis sedih terbitlah subuh.

Subuh-subuh mengingatmu bukanlah hal bijak yang dapat memberiku imajinasi untuk misalnya mengarang sebuah puisi cinta, tentu untukmu. Subuh adalah siksaan bagiku. Karena pada matanya aku tak dapat mengelak bahwa aku seringkali menemukanmu. Telak. Aku tak bisa melancarkan serangan balik atawa membalikan serangan. Subuh mesti selalu digdaya.

Dingin merasuk tulang, tulang terasa rapuh serapuh harapan untuk bisa bersamamu. Tak ada tempat untuk berlindung dari subuh. Aku pun tak boleh mengeluh. Hanya bisa melenguh akibat mimpi basahku denganmu di atas pasir putih pantai Pok Tunggal yang sehabis kita bercinta kemudian aku menyaksikan debur ombak timbul tenggelam di matamu sembari menenggak es kelapa muda yang sebenarnya tak muda-muda amat. Aku merindukannya. Peristiwa itu.

Teringat bibir merahmu yang basah oleh air kelapa muda serta kepalaku yang basah sebab memikirkan ludahmu bisa meludahi bibirku. Eh yang basah malah falusku. Wajarlah itu. Dengan tatapmu yang seperti lesakkan anak panah itu mana bisa aku tak basah. Kalau tak basah justru nanti kamu yang kecewa karena tak bisa mendesah dan mungkin hubungan kita akan musnah.

Sial, aku lupa lagi! Hubungan kita memang sudah musnah semenjak awal. Astaga! Kenyataannya kita tak pernah menjalin sebuah hubungan. Aku lupa bahwa itu hanyalah mimpi seorang lelaki kesepian.

Aku memang lelaki kesepian. Saat aku berpikir bahwa februari selalu menjadi bulan yang istimewa bagiku sebab pada saat itu kita pertama kali saling menyatakan cinta, ketika itulah aku kembali sendiri. Kemudian februari kedua datang. Aku sekali lagi menyatakan cinta dan kita lalu menjalin kisah asmara yang penuh kasih, ketika itulah aku kembali merasakan hunusan pedang menyayat hati. Apa yang salah dengan februari, jujur sampai sekarang aku tak menemukan jawabannya. Apa yang salah dengan kalian, jujur aku juga tak dapat menjawabnya. Ketika muncul pada apa yang salah denganku, aku menemukannya. Semua salahku.

Subuh adalah terjangan tombak. Subuh adalah hunusan pedang. Subuh adalah kilatan petir. Subuh hanya meluruh pada saat muadzin memanggil. Panggilan Penciptamu, ku, kau, dan nya.

Mengingatmu lebih baik daripada tidur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...