Lelaki Pemikul Tanda Tanya
Lelaki tadi bercerita padaku kalau
dirinya baru saja diputuskan oleh kekasihnya, hanya lewat sebuah pesan singkat
yang kira-kira isinya begini; bahwa lebih baik kita berteman saja, dan aku yang
salah, bukan kamu, ini semua salahku. Ia begitu kelihatan tertekan, atau lebih
tepatnya, ia memang sedang tertekan. Lelaki itu menuturkan bahwa sejak ia dan
kekasihnya menjalin hubungan jarak jauh tiga bulan yang lalu, hubungan mereka
baik-baik saja. Ia dan kekasihnya masih bertukar pesan hangat, menanyakan
kabar, dan saling mencurahkan kerinduannya. Kadang si kekasih menceritakan
pengalaman mengenai pekerjaan barunya, bagaimana rasanya hidup di ibu kota
negara dengan hingar bingar dan segala hiruk pikuknya. Memang ia akui, bahwa ia
dan kekasihnya kadang hanya bertukar pesan singkat seminggu dua kali atau
paling banter, tiga kali seminggu, dan itu hal biasa bagi mereka. Tak ada yang
aneh.
Lelaki tadi melanjutkan, bahwa
tiba-tiba saja sekitaran seminggu yang lalu, setelah kekasihnya menghilang
selama sekitaran dua bulanan lebih, tiba-tiba pesan singkat itu datang. Ia
terkejut membacanya, sama seperti terkejutnya Amerika saat Jepang mengebom
Pangkalan Militer mereka di Pearl Harbour pada siang bolong. Selama sekitar dua
bulanan lebih ketika kekasihnya mendadak tidak dapat dihubungi, si lelaki
bingung. Ini tak seperti biasanya. Kalau pun ada masalah, kekasihnya bukan
jenis dari perempuan seperti ini, yang akan mendadak menghilang. Kekasihnya
adalah jenis dari perempuan yang kalau pun ada masalah akan selalu bercerita
padanya, seberat apa pun. Kekasihnya adalah jenis dari seorang kekasih yang
terbuka, yang tak pernah menutupi segala macam persoalan. “Lalu mengapa
mendadak ia memutuskanku seperti ini? Aneh sekali,” gerutunya padaku.
Si lelaki kesal, dirinya tidak
terima diputuskan dengan cara semacam ini. Kalau pun si kekasih memang ingin
menyudahi hubungan mereka, mengapa tidak katakan saja alasan sebenarnya? Memang
intinya sama saja, sama-sama putus, tapi setidaknya ia bisa tahu mengapa
dirinya diputuskan. Kalau pun misalnya, ia diputuskan karena kekasihnya jatuh
cinta dengan lelaki lain, itu pun tak mengapa, yang penting ada alasan jelas.
Sikap yang akan diambil si lelaki pun kemudian akan jelas, tidak menggantung
dan bertanya-tanya seperti ini. Si lelaki itu hanya ingin tahu mengapa.
Mengapa? Mengapa dirinya diputuskan, dan mengapa kekasihnya memutuskannya. Hanya
itu, sesederhana itu.
***
Selanjutnya seperti apa yang aku
baca dari Pschology Today pagi tadi,
bahwa si lelaki tersebut ternyata merupakan korban dari kekejaman emosional
kekasihnya. Dalam artikel yang berjudul This
Is Why Ghosting Hurts So Much dijelaskan mengenai salah satu istilah psikologi
baru, yaitu ‘Ghosting’. Istilah tersebut
mula-mula muncul pada tahun 2011 berjalan seiring dengan perkembangan
teknologi, dan masifnya penggunaan media sosial. Empat tahun setelahnya, ghosting kemudian masuk dalam Collins English Dictionary. Sederhana saja
katanya mengapa istilah yang dipilih untuk perbuatan semacam itu disebut ghosting, sebab yang menjadi korban akan
selalu merasa terus dihantui oleh bayang-bayang orang yang melakukannya.
Jennice Vilhauer dalam tulisannya
menyebutkan, bahwa seseorang yang diputuskan hubungannya dengan cara ghosting akan mengalami perasaan batin
yang tidak karuan. Orang yang menjadi korbannya akan merasa seperti idiot,
merasa tidak dihargai, dan yang lebih buruk adalah si korban akan merasa bahwa
ada seseorang yang menganggap dirinya tidak layak untuk diputuskan dengan cara
baik-baik. Vilhauer melanjutkan bahwa salah satu penyebab terjadinya ghosting adalah karena salah satu pihak
ingin menghindari ketidaknyamanan emosionalnya, dan biasanya pelaku tak pernah
memikirkan bagaimana perasaan orang yang diputuskannya. Ia menyebut bahwa ghosting akan membuat seseorang menjadi bingung
untuk bereaksi seperti apa. Apakah khawatir, atau marah.
Vilhauer
kemudian menjelaskan mengenai salah satu aspek paling mengerikan dari ghosting¸ bahwa seseorang yang menjadi
korban akan terus mempertanyakan mengenai hubungan yang telah mereka jalani,
mulai meragukan diri sendiri, dan dalam kasus yang paling umum terjadi, hal itu
akan membuat korbannya kerap menyalahkan dirinya sendiri sembari terus
bertanya-tanya mengapa semua ini bisa terjadi. Ia menutup artikelnya dengan
menulis bahwa ghosting berada satu
tingkat di atas daripada sekadar mendiamkan seseorang. Tindakan ini, menurut
pakar kesehatan jiwa sering dianggap sebagai bentuk dari kekejaman emosional.
***
Pantas saja lelaki itu kemarin
lebih mirip mayat daripada makhluk hidup.
Komentar
Posting Komentar