Titik Api
Menepi dari
malam yang sumuk, menjejaki tanah yang sedari lama sendu, meramu obrolan
perihal kedangkalan omong kosong percintaan, dan meruncingkan harapan pada asap
tembakau siluk keparat. Beberapa minggu berlalu, masalah tetap sama. Semu, berantakan,
tak tahu dengan cara semacam apa benang kusut sialan ini dapat diurai. Hari-hari
hanya berisi huru-hara yang meledak-ledak tanpa hura-hura. Bayangan kegagalan semakin menjadi, karena untuk
sekadar hidup bahagia ternyata tak bisa bertumpu pada cinta semata, sebab hasrat
akan materi adalah kuasa sejati penguasa manusia.
Langit basah,
tanah juga, mata pun demikian demi mengingat obrolan hangat kita selama sebelum
hari ini. Semuanya menguap, sekarang, saat ini. Lebih-lebih karena cuaca di
dalam hati sedang tak menentu. Pohon-pohon kehujanan, maka kayu-kayu pun kedinginan,
dan kemudian dengan apa aku harus menjaga agar obrolan kita tetap hangat? Tungku
tempat kita biasa bercengkrama mempercakapkan mengenai masa sulit, harapan, dan
harga belanjaan, retak sudah di sana sini. Tak lagi sempurna untuk menampung
obrolan kita yang memang semakin jarang dan sedikit sekaligus tiada.
Pulanglah Mei,
bulanku. Kembalilah! Sebab tahun tanpa Mei adalah tak sempurna, dan aku tanpa
Mei adalah tak berarti. Maka sekali lagi, pulanglah kekasihku! Aku rindu debur
ombak dalam bibirmu. Aku rindu desir angin dalam tubuhmu. Aku rindu hangat matahari
dalam pelukmu. Terutama aku rindu, pada cahaya bulan malam hari, cahaya bulanku,
Mei.
Komentar
Posting Komentar