Obrolan di Malam 24
“Kah?”
Perempuan itu menjawab.
“Masih membaca
buku itu?”
“Sudah
jarang, tapi tinggal sedikit.”
“Oh ya, aku
lupa. Masih terobsesi dengan hotel-hotel?”
“Maksudmu?”
“Tak ada
hotel kau tak hidup!”
“Tidak,
lagipula mereka suka masakanku.”
“Cabe bukan
masakan, bikin hati jadi pedas.”
“Tak usah
mengira-ngira. Tidak baik!”
“Ya memang,”
lelaki itu terdiam, lalu “omong-omong banyak terima kasih untuk lagunya, ‘Well maybe I’m a crook. For stealing your
heart away!’”
“Sama-sama.
Sudah lihat videonya? Kau sekali, bukan?”
“Sudah. Aku
tak mengerti.”
“Menyebalkan!
Setidaknya kamu mengerti liriknya.”
“Dan
sialnya lagu macam itu bisa menempel di kepalaku.”
“Ups!
Mungkin memang merepresentasikan kamu.”
“Syukurlah
hanya representasi, bukan kenyataan.”
“Lagipula
itu sudah menjadi kenyataan.”
“Tidak!
Representasi hanya menegaskan apa yang ingin dilihat orang dari orang.”
“Hal yang
mewakili, bahkan sudah terjadi.”
“Kau harus
jadi pengalam jika ingin tahu apa itu kenyataan!”
“Tak usah,
aku sudah merasakannya.”
Lelaki itu kemudian
mengalihkan pembicaraan.
“Belum
tidur, kenapa?”
“Sedang
terbangun saja. Sebaliknya?”
“Merayu angin,
kerjaanku tiap malam.”
“Nikmatilah,
jangan mengundangku!”
“Aku memang
tidak mengundangmu.”
“Kau mengundangku.
Sudahlah biar angin itu berlalu.”
“Angin memang
selalu berlalu.”
“Kepergiannya
hanya terasa beberapa detik.”
“Tidak, aku
masih merasa dingin.”
“Itu bukan
ulahku!”
“Tak peduli
yang mana, aku tetap membutuhkannya.”
“Aku rasa
makhluk sebebasmu akan bosan jika tidak terhempas angin”
“Ya, jadi
puting beliung.”
“Yang itu
bukan amarahku.”
“Aku
membicarakan rotasi, bukan amarah.”
“Nikmati
saja kebahagiaan barumu.”
“Tak pernah
ada kebahagiaan baru. Kebahagiaan selalu seperti itu.”
“Semaumu!
Syukur kau masih bahagia.”
“Ya,
memang. Lagipula angin itu hanya ilusi.”
“Angin itu
ada!”
“Kita tak
pernah benar-benar bisa melihatnya.”
“Yang kita
pedulikan hanya ulahnya. Kasat mata tapi terasa.”
“Kau sangat
keliru memaknainya.”
“Tak perlu
kau membenarkanku!”
“Tidak, hanya
saja angin yang kita maksud berbeda.”
“Ah, betapa
egoisnya yang satu ini.”
“Egois, dinding
pembatas diantara kita.”
Komentar
Posting Komentar