Cerita dari Siburaka
Penjara yang kemudian akan menjadi
tempatnya menghabiskan dua belas kali ulang tahun ini, mungkin tidak setenar
Nusakambangan. Meski begitu, bagi masyarakat sekitar yang telah mengenalnya melalui
cerita-cerita yang secara turun temurun diceritakan oleh para karuhunnya akan
memilih untuk bunuh diri daripada harus dihukum dimasukkan ke sana lalu mendekam
untuk menghabiskan sisa umur. Penjara Siburaka, begitulah kerap kali masyarakat
sekitar menyebutnya. Sebab konon katanya, penjara ini adalah perwujudan nyata
dari paduan siksa kubur dan siksa neraka di alam dunia.
Penjara Siburaka
berlokasi di pinggiran sebuah kabupaten yang terletak di daerah pesisir. Persisnya
di samping rawa besar tempat para buaya dikembangbiakkan dan dilestarikan oleh pemerintah
setempat dengan alasan jika ada napi yang mencoba kabur dan lalu kemudian
gagal, maka si napi tersebut tak akan dimasukkan kembali ke dalam sel namun
akan langsung dilemparkan ke muara tersebut untuk dijadikan santapan mereka.
Sekilas
penjara ini mirip dengan bangunan yang sedang menanti ajalnya, menanti keambrukkannya.
Dinding-dindingnya tak pernah dicat ulang, lantainya usang tak pernah bersih
dari debu, besi-besi jerujinya juga nampak mulai banyak yang karatan, kamar
mandinya selalu kuning bau pesing, tikus-tikus berkeliaran bebas, kecoa-kecoa malahan
menjadikan penjara Siburaka sebagai tempat indah untuk bersafari. Belum lagi,
populasi ular-ular liar seakan tak pernah turun dari tahun ke tahun. Kadang
ular-ular liar tersebut berkeliaran bebas di sekitaran penjara Siburaka dan tak
jarang masuk ke sel-sel para tahanan sebelum kemudian mencabut nyawa para
tahanan menggantikan tugas malaikat maut.
Sore hari
ini, seorang lelaki melangkah turun dari mobil yang mengantarnya. Ia adalah
napi baru yang akan dikurung selama dua belas tahun itu. Ia tampak lemas,
berjalan lebih seperti terhuyung dikawal dua orang sipir bersenjatakan balok
kayu walikukun. Setelah mencocokkan data si napi di bagian administrasi, dua
orang sipir tadi kemudian membawanya ke sebuah ruangan lembab. Di sana, si napi
kemudian disemprot air bertekanan tinggi menggunakan selang yang biasa dipakai
untuk memadamkan kebakaran oleh salah satu sipir tadi, dan disuruh untuk
menggosok dirinya dengan sabun dan sampo yang sudah disediakan. Setelah itu ia
kembali dibilas oleh air yang sengaja dihantamkan deras ke arahnya.
“Keringkan
badanmu!” Ucap sipir satunya dengan nada cabul sembari melempar handuk. Ia
mengamati napi telanjang di depannya ini. Kulitnya cukup bersih, seperti kulit
yang biasa dirawat. Badannya lumayan putih, mukanya juga ganteng, dan astaga,
lihat kemaluannya! Ia lalu menghampiri si napi, “masih ada satu lagi!” ucapnya.
Dari arah belakang, muncul seorang sipir lain, memukul kepala si napi dengan
balok kayu. Si napi ambruk dalam keadaan setengah sadar. Sipir-sipir itu
kemudian mengikat tangan dan kaki si napi, memosisikan napi tersebut seperti
bersujud tapi menungging. Sore itu, selama tiga jam si napi diperkosa dengan
berbagai macam cara oleh ketiga sipir tersebut secara bergiliran.
***
Kemudian ia terbangun, setelah
hampir selama sejam tak sadarkan diri. Matanya masih berkunang-kunang, dan ia
merasakan kepalanya pun masih sedikit pusing. Beberapa saat setelahnya ia hanya
diam, membayangkan apa yang mungkin telah terjadi pada dirinya. Lubang duburnya
masih terasa perih, sangat perih bahkan. Ia tahu, dirinya telah diperkosa
sipir-sipir keparat itu, dan demi merasakan itu semua ia menangis terisak, dan
perasaan lemas mulai menyerangnya.
“Liang
taimu masih terasa perih, ya?” Ucap seorang lelaki kurus di depannya
cengengesan.
“Tenang
saja, lama kelamaan kau akan terbiasa. Kami dulu juga merasakannya.” Timpal
lelaki tambun di sebelahnya yang kemudian disusul dengan ledakkan tawa mereka
berdua.
Sekali lagi
lelaki itu hanya diam, hanya merubah posisi tubuhnya dari berbaring ke posisi
duduk. Tadinya ia membayangkan kalau dirinya akan mempunyai sel sendiri, terpisah
dari napi-napi lainnya seperti di film-film yang pernah ia tonton. Namun
penjara Siburaka punya peraturannya sendiri, yang berlaku di sini adalah bahwa
satu sel harus diisi dengan tiga orang napi. Tak kurang dan tak lebih.
“Setelah
diperkosa habis-habisan oleh mereka, kau pasti haus, kan?” Tanya si napi tambun
membuyarkan lamunannya.
Si napi
baru diam.
“Mau
minum?” Tanya si napi tambun kembali.
Si napi
baru sekali lagi hanya diam.
Si napi
kurus kemudian menimbrung, “Semua napi di penjara ini pernah diperkosa oleh
sipir-sipir, semuanya, tanpa terkecuali. Terima saja kenyataan bahwa kau memang
diperkosa mereka.”
Si napi
baru masih terdiam. Jauh di dalam kepalanya ia sepakat bahwa apa yang dikatakan
si napi kurus itu memang benar, dan itulah kenyataannya, dan ia memang harus
membiasakan diri. Namun untuk berdamai dengan segala macam kegilaan yang ada di
penjara ini, tentu bukan suatu hal mudah semisal membalikkan telapak tangan. Ia
merasa malu, merasa jijik dengan dirinya, merasa semua menjadi serba tak jelas.
Ia merasa dirinya sudah menjadi lelaki lain yang tak dikenalnya, menjadi
seorang lelaki kotor yang tak suci lagi.
“Minum?” Si
napi tambun menyodorkan sebotol coca-cola.
“Dari mana
kau mendapatkannya?” Si napi baru mulai membuka mulut, pelan.
“Dari
seorang sipir. Ia tadi datang untuk memintaku melayaninya sebab katanya dirinya
sedang sange.”
“Benarkah?”
Sangsinya.
“Benar.
Padahal sebenarnya aku lelah setelah seharian bercinta dengan si kurus ini.” Ia
tersenyum, melirik si napi kurus, lalu melanjutkan “Tapi, saat sipir itu bilang
akan memberiku coca-cola jika aku bersedia melayaninya, yasudah apa boleh
buat?” Ia lalu tertawa puas.
“Kenapa
sipir itu tidak saling menyetubuhi dirinya satu sama lain dan malah memilihmu?”
“Sebab
katanya lelaki tambun sepertiku lebih enak untuk disetubuhi.” Kembali tawanya
berderai.
“Oh!” Jawabnya
datar. Setelah meneguk sedikit coca-cola ia kemudian melanjutkan bertanya “Mengapa kau dipenjara?”
“Aku dulu
membunuh seorang santri.”
“Hah?”
“Ya, aku
membunuh seorang santri. Dulu saat sedang di pesantren ada seorang santri yang
tiap malam hampir selalu memerkosaku di kamar mandi. Selama berbulan-bulan aku
diperkosanya, dan kadang kalau sedang bosan ia hanya memintaku untuk mengulum
atau sekadar mengocok pelirnya. Ia santri senior, pengurus santri putra bagian
keamanan. Aku waktu itu sangat ketakutan dan frustasi menjalani hari-hari di
pondok. Bayangkan saja, usiaku waktu itu baru tiga belas tahun, aku baru lulus
madrasah ibtidaiyah.”
“Kemudian?”
“Kemudian
suatu malam, tengah malam tepatnya, seperti biasa ia datang ke kamarku untuk
membangunkanku, dan menggiringku ke kamar mandi. Ia tak menaruh curiga padaku,
mungkin pikirnya sampai kapan pun aku tak akan pernah punya keberanian untuk
melawannya karena aku masih seorang bocah ingusan baru lulus MI. Padahal
sebelum tidur aku telah menaruh obeng di lipatan sarungku, dan rencana untuk
menghabisinya sudah kurencanakan sejak seminggu yang lalu. Tak lama kami berdua
sudah di dalam kamar mandi. Ia buru-buru melepas sarungnya, dan menyuruhku untuk
segera melepaskan sarungku juga.”
“Lalu kau
membunuhnya?”
“Belum,
goblok! Aku menunggu ia lengah, aku menunggu dirinya untuk memerkosaku.
Kemudian ia memerkosaku dengan kasar seperti biasanya, dan setelah sepuluh
menit isi pelirnya pun keluar memenuhi liang taiku. Ia lalu bersandar ke
tembok, lemas. Saat itulah, saat ia lengah, aku tiba-tiba berbalik dan
menusukkan obeng itu ke perutnya dengan membabi buta, ia pun ambruk. Sebab
masih kesal padanya, aku pun kemudian menusuk-nusuk kelaminnya dengan obeng
tadi untuk memuaskan hasratku. Sial, malam itu seorang santri yang sedang piket
melihatku keluar dari toilet. Esoknya mayat santri senior itu ditemukan, menggegerkan
pondok. Begitulah aku kemudian dilaporkan oleh santri yang sedang piket
semalam, diinterogasi polisi, dan lalu masuk penjara.”
“Santri
bajingan!” Komentar si napi baru asal.
“Ia memang
bajingan, tapi aku harus berterima kasih padanya.”
“Kenapa?”
“Sebab
sejak saat itu aku mulai menikmatinya, disetubuhi lelaki memang enak.” Ia
kembali tertawa, kali ini terbahak.
Si napi
baru bergidik ngeri mendengar sekaligus membayangkan cerita si napi tambun itu.
Napi tambun sialan, bisa-bisanya malah merasa keenakan dan kemudian ketagihan
setelah diperkosa oleh seorang lelaki. Jiwanya mungkin sudah hancur, atau ia
barangkali memang tak punya jiwa, atau mungkin ia adalah seorang lelaki berjiwa
perempuan. Dunia memang ruwet. Ia kembali menenggak coca-colanya, sebelum
kemudian mulai beralih bertanya pada si napi kurus yang sedari tadi lebih
banyak diam mendengarkan mereka.
“Kalau kau,
kenapa kau dipenjara?”
“Aku
membunuh kepala desa.” Jawab si napi kurus dingin. “Mau dengar ceritanya?”
Si napi
baru belum sempat menjawab saat kemudian si napi kurus mulai bercerita tanpa
basa-basi.
“Aku dulu
menikah muda dengan perempuan yang lumayan agak cantik di desa. Ternyata
kehidupan setelah menikah tidak seindah apa yang ada dalam bayangan. Aku dan
istriku sangat sering bertengkar, mempertengkarkan segala macam hal, dan
kebanyakan kami bertengkar karena masalah ekonomi. Kami hidup susah, sebab aku
hanya bekerja sebagai kuli bangunan. Demi memperbaiki keadaan ini, istriku
berinisiatif untuk bekerja di rumah kepala desa yang katanya sedang membutuhkan
seorang pembantu. Waktu itu sore, sekitar jam empat, aku sudah pulang ke rumah
tapi tak bisa masuk sebab kunci dibawa istriku. Ia mungkin lupa menaruhnya di
atas kusen pintu. Setengah jam aku menunggu, dan istriku masih belum balik. Padahal
biasanya ia pulang setengah empat atau jam empat, dan ini sudah setengah lima.
Kesal menunggu, aku kemudian memutuskan untuk mendatanginya saja ke rumah
kepala desa itu, toh rumahnya juga tidak terlalu jauh, pikirku. Rumah kepala
desa itu terlihat sepi, mungkin istri pak kades sedang pengajian karena hari
itu memang hari jum’at. Sesaat sebelum mengetuk pintu, aku menajamkan telingaku
karena rasanya aku mendengar suara desahan. Kemudian aku melihat ke dalam
melalui tirai yang sedikit agak terbuka, dan aku melihatnya. Istriku sedang
menungging di lantai, disetubuhi kepala desa itu dari belakang. Aku mencoba
memutar gagang pintu dan tidak dikunci, mungkin mereka lupa menguncinya. Aku
perlahan masuk, mereka berdua telanjang, penuh peluh keringat, suara desahan
istriku makin menjadi. Aku sempat terpaku saat menyaksikan betapa istriku
terlihat bahagia sekali disetubuhi seorang kepala desa, berbeda saat ia sedang bersetubuh
denganku. Perempuan jahanam. Kemudian selanjutnya dengan amarah menyala, tubuh
kepala desa itu kutarik dan kucekik lehernya. Kepala desa itu tak melawan, ia
mati lemas. Istriku masih bertelanjang, menggigil ketakutan sembari menangis.
Aku kemudian memaki dan menyiksa istriku, dan lalu menyetubuhinya dengan penuh
nafsu setan tak peduli meski kemaluannya masih basah oleh isi pelir si kepala
desa. Aku menyiksanya sembari menyetubuhinya sekaligus, dan kemudian
membunuhnya.”
“Jadi kau
membunuh istrimu juga?”
“Bagaimana
bisa aku tidak membunuh istri jahanam semacam dia?”
“Oh ya, ya.
Istrimu memang jahanam.”
“Dan kau,
kenapa kau dipenjara? Apa kau juga membunuh istrimu?” Si napi kurus balik
bertanya.
“Tidak!”
“Lalu siapa
yang kau bunuh?” Tanya si napi tambun.
“Apa
maksudmu? Aku tidak membunuh siapa pun.”
“Hanya
seorang pembunuh yang dikirim ke Siburaka.” Terang si napi kurus.
“Oh jadi
begitu rupanya.” Si napi baru mengembuskan nafas panjang.
Ia pun mulai
bercerita.
“Aku baru
menikah selama dua bulan, dan masih hangat-hangatnya untuk selalu ingin
bercinta. Malam itu aku pulang bekerja, dan ingin sekali bercinta. Tapi istriku
menolak dengan alasan sedang ‘capek.’ Aku terus menggodanya supaya ia mau untuk
bercinta, kuciumi tengkuknya, kuciumi belakang kupingnya, kuraba-raba payudara
dan kemaluannya, tapi sekeras aku menggodanya sekeras itu pula ia menolaknya
dengan menambah alasan menjadi sedang ‘tak ingin.’ Aku menggodanya sekali lagi
dan ia hanya menjawab ketus bahwa ‘aku sedang haid.’ Sebab aku sudah tak tahan,
aku kemudian bertanya apakah ia mau melakukan anal, atau oral, atau sekadar
mengocok pelirku, dan semuanya dijawab dengan ‘tidak mau.’ Aku sedikit agak
frustasi dan tentu kesal, dan tak berpikir panjang sebelum kemudian aku mulai
melumat bibirnya dengan rakus, menciumi payudaranya penuh nafsu serta sesekali
menggigit putingnya, dan membuka dasternya dengan paksa. Aku kemudian menganal
istriku sebentar sebelum bergeser sedikit ke arah kemaluannya, tak peduli meski
ia sedang haid. Setelah itu aku kembali menganalnya dan mengeluarkan isi
pelirku di sana. Istriku menangis, malam itu ia tak bicara sepatah kata pun. Ia
hanya pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan langsung tidur.”
“Setelah
itu kau baru membunuhnya?” Potong si napi tambun.
“Sudah
kubilang aku tak membunuhnya!”
“Terus?”
“Keesokan
harinya aku seperti biasa berangkat bekerja. Aku seorang pegawai negeri di
dinas pendidikan. Kira-kira pada jam sepuluh pagi, dua orang polisi datang ke
kantorku. Mereka masuk dan menunjukkan surat perintah penangkapan atas diriku.
Aku bertanya pada mereka perihal mengapa aku ditangkap, dan dengarkan ini,
‘istri anda yang melaporkan anda, atas tuduhan melakukan kekerasan seksual.’ Dan
akhir cerita, dua hari yang lalu hakim menyatakan aku bersalah karena telah
melakukan kekerasan seksual terhadap istriku yang berupa: pemaksaan hubungan
seksual saat istri sedang haid/menstruasi, pemaksaan hubungan seksual sesuai
selera seksual suami dengan bentuk-bentuk hubungan yang tidak dikehendaki istri
yaitu oral seks dan anal seks. Aku dihukum dua belas tahun, tanpa remisi.”
“Dunia
memang sudah gila, dan untungnya kita terhindar dari kegilaan itu sebab masuk
penjara lebih dulu.” Si napi kurus berkomentar.
“Penjara
tetaplah penjara, tak ada yang lebih baik dari jeruk busuk dan apel busuk.
Sama-sama busuk.” Si napi baru membalas.
“Setidaknya,
pada jamanku, tak pernah dan tak akan pernah ada seorang istri biadab seperti
istrimu yang melaporkan suaminya sendiri ke polisi.”
“Memang
benar.”
Si napi
tambun terlihat masih kebingungan, tak mengerti dengan apa yang diceritakan
oleh si napi baru. Ia kemudian bertanya sekali lagi padanya, “Jadi siapa sebenarnya
yang kau bunuh?”
“Aku
membunuh Hak Asasi Manusia, setidaknya begitu menurut undang-undang.”
***
Sejak saat
itu si napi baru mulai membiasakan diri dengan kehidupan di penjara. Ia menjadi
teman akrab mereka berdua. Selain akrab ia juga mulai menjadi teman yang
pengertian, sungguh, mereka bertiga saling mengerti satu sama lain. Saat si
napi kurus bosan menyetubuhi si napi tambun, ialah yang akan menggantikan
posisi si tambun. Si napi kurus pun juga tak kalah pengertian siap menampung
kalau si napi baru sedang ingin menyetubuhinya. Terkadang si napi kurus dan si
napi baru menyetubuhi si napi tambun secara bergiliran, dan sekali pun si napi
tambun tak pernah ingin gantian menyetubuhi mereka berdua meski mendapat
tawaran tersebut. “Aku hanya ingin disetubuhi, tidak menyetubuhi.” Ucapnya
suatu waktu.
Komentar
Posting Komentar