Gerakan Khilaf Ah: Kejadian Dua


            Padahal sebelum Abi berbicara seperti itu, hubungan kami baik-baik saja, malah sangat baik-baik saja. Kami berdua memang memutuskan untuk berhijrah bersama-sama secara kaffah. Saat itu, saat kami memutuskan untuk berhijrah secara kaffah, memang saat-saat paling genting dalam kehidupan rumah tangga kami. Kami berdua hanya hidup di rumah kontrakan yang tidak terlalu besar, hanya ada satu kamar tidur, satu ruang tamu mungil, satu kamar mandi kecil, dan dapur seadanya. Keadaan ekonomi kami sangat buruk. Kami selalu telat untuk membayar kontrakan dan bayar listrik. Hutang ke warung selalu bertambah karena setiap hari kami mengutang untuk membeli sembako supaya tetap bisa makan. Kami selalu merasa tak pernah tenang, selalu merasa ketar-ketir menjalani hidup. Namun, semua kesengsaraan itu berbalik menjadi kesenangan saat kami memutuskan untuk berhijrah.

            Persis tiga bulan sebelum hari ini, kami dipertemukan secara tidak sengaja di sebuah pusat perbelanjaan. Pada saat itu aku masih bekerja sebagai kasir di toko pakaian dan peralatan bayi. Sepasang suami-istri yang dari tadi memang mengantre kemudian mendapat gilirannya, dan rasa-rasanya aku mengenali mereka berdua. Ternyata firasatku benar, tiba-tiba suami-istri tersebut mengucapkan salam padaku, kemudian menyalamiku, lalu bertanya bagaimana keadaanku. Tentu saja aku kaget, dan awalnya aku hanya diam memandangi lebih teliti wajah-wajah yang ada di depanku ini. Mereka segera mengerti melihat kebingunganku, maka mereka pun mulai mengembalikan ingatanku dengan cara mengenalkan diri. Selanjutnya untuk meyakinkanku, mereka terus mengorek ingatanku dengan menceritakan bahwa kami dulu satu sekolah, kami dulu satu kelas. Sekarang aku kembali mengingat semuanya, kembali mengingat masa-masa itu.

            Satu-satunya hal yang membuatku sulit mengenali Indri dan Andri pada saat melihatnya adalah disebabkan perubahan drastis penampilan fisik mereka. Indri teman sebangkuku sekarang bergamis hitam, dengan kerudung panjang hitam menjuntai sampai hampir lutut, wajahnya ditutupi cadar hitam, tangannya bermanset hitam, dan berkaos kaki hitam. Sementara Andri memakai peci bulat putih, dengan potongan celana putih di atas mata kaki, baju gamis putih selutut, dan dagunya ditubuhi jenggot lebat tanpa kumis. Sembari makan di restoran cepat saji, tentu setelah aku selesai bekerja, Indri banyak bercerita tentang mengapa sekarang mereka memutuskan untuk berpenampilan seperti ini. Yang dapat kusimpulkan dari cerita Indri adalah kalau kita menginginkan kebahagiaan di dunia, maka kita harus berubah secara total menyeluruh, hijrah meninggalkan kehidupan lama kita.

            Semenjak pertemuan itu aku mulai penasaran serta beberapa kali sempat merenungkan perkataan Indri. Aku pun pada akhirnya membuka channel youtube yang disarankan Indri untuk belajar tentang hijrah. Dan sejak saat itulah aku mulai mengajak Abi untuk berubah, untuk berhijrah, meninggalkan kehidupan lama kami. Abi langsung keluar dari pekerjaannya sebagai Satpam di bank, sebab ternyata gaji Abi itu adalah uang haram, riba. Aku pun berhenti menjadi kasir yang memang pemilknya seorang Kristen Cina. Aku dan Abi kemudian mulai membeli baju-baju islami, membeli beberapa bendera tauhid untuk dipasang di ruang tamu, dan menjual semua barang-barang haram yang dapat melalaikan kami dalam beribadah kepada-Nya. Aku mulai berpakaian seperti Indri, dan Abi juga mulai berpenampilan seperti Andri. Alat-alat musik koleksi Abi mulai dijual satu per satu, cd-cd musik juga kami jual termasuk koleksi piringan hitam. Kami pun mulai datang ke kajian-kajian para ustad untuk memperdalam ilmu agama serta untuk memperkuat komitmen kami dalam berhijrah supaya selalu dapat istiqomah dalam menjauhi hal-hal haram yang dilarang agama, dan tidak termasuk golongan kapir.

              Tiga bulan sudah kami berhijrah, menjalankan sunnah-sunnah Rasul, menjalani kehidupan sesuai dengan syariat islam, dan kami merasa bahagia. Tapi, semua kebahagiaan itu terhenti saat malam kemarin, saat Abi sudah tertidur lelap, dan aku memutuskan untuk memotong kemaluan Abi dengan pisau dapur yang biasa aku gunakan untuk memotong daging. Aku tau hal itu akan sangat menyakiti Abi, tapi aku tak pernah menyesalinya, sedikit pun. Sebelum tidur Abi berbicara seperti ini padaku:

“Alhamdulillah ya Umi, sekarang kita sudah hijrah dengan kaffah. Tapi Umi, kata pak ustad, ‘masih belum kaffah hijrah seorang mu’min kalau dirinya masih beristri satu.’ Makanya Umi, Abi berencana untuk berpoligami. Umi pasti setuju, kan?”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sang Juru Selamat

September Sebelum Sirna

Tapi...